A. Asumsi Dasar Pendekatan Kuantitatif
Dalam penelitian ilmu sosial, setidaknya kita mengenal dua pendekatan
yang memengaruhi proses penelitian, mulai dari merumuskan permasalahan hingga
mengambil kesimpulan. Neuman menambahkan satu pendekatan lagi, yakni pendekatan
ciritical. Setiap pendekatan memiliki
asumsi dasar yang berbeda. Asumsi dasar yang ada di dalam pendekatan
kuantitatif bertolak belakang dengan asumsi dasar yang dikembangkan di dalam
pendekatan kualitatif. Asumsi dasar inilah yang memengaruhi pada perbedaan dari
cara pandang peneliti terhadap sebuah fenomena dan juga proses penelitian
secara keseluruhan. Dalam buku ini, kita akan membahas mengenai empat asumsi dasar
yang ada dalam ilmu sosial.
Sebelum kita membahas asumsi dasar dari penelitian kuantitatif, kita
perlu memiliki kesepakatan terlebih dahulu tentang pemakaian konsep
“kuantitatif”. Setidaknya ada tiga penggunaan konsep ini di dalam penelitian,
yaitu pertama, kita bicara mengenai
pendekatan kuantitatif. Ada
beberapa kalangan yang mengatakan bahwa pendekatan sama dengan paradigma,
bahkan sama dengan perspektif. Dalam buku ini, kita sedikit membedakan antara
paradigma dan pendekatan (sekalipun asumsi dasar yang digunakan sedikit banyak
sama). Paradigma dikembangkan di dalam lingkup bidang studi, seperti misalnya
di dalam sosiologi terdapat tiga paradigma, yaitu paradigma fakta sosial,
paradigma definisi sosial, serta paradigma perilaku sosial. Lain lagi dalam
antropologi. Paradigma yang berkembang adalah paradigma idiografis dan
paradigma perilaku. Paradigma bisa diartikan sebagai sudut pandang dalam
melihat suatu fenomena atau gejala sosial. Pendekatan dikembangkan di dalam
lingkup ilmu sosial sehingga di dalam sosiologi antropologi dan ilmu sosial
lainnya dikenal pula pendekatan yang sama, yaitu pendekatan kuantitatif dan
pendekatan kualitatif. Sekali lagi, karena asumsi dasar yang digunakan kurang
lebih sama, memang sulit untuk membedakan antara pendekatan dan paradigma.
Kembali pada pemakaian tentang kuantitatif. Selain pendekatan
kuantitatif, kita juga menggunakan kuantitatif dalam konteks metode
kuantitatif, dan data kuantitatif. Ada satu hal yang perlu ditekankan di sini
karena sering kali terjadi salah kaprah yang berkembang sehingga pemakaian
konsep “pendekatan kuantitatif”, “metode kuantitatif”, serta “data kuantitatif”
disamaratakan. Hal ini mengakibatkan dalam penerapan penelitian pengertian
konsep-konsep tadi menjadi salah. Ambil saja contoh adanya anggapan bahwa dalam
sebuah penelitian kita bisa menggunakan kedua pendekatan yang ada sekaliagus.
Pertanyaan adalah bagaimana mungkin dengan asumsi dasar yang bertolak belakang,
kemudian diterapkan dalam sebuah penelitian? Nanti akan disajikan perbedaan
antara asumsi dasar yang ada di dalam pendekatan kuantitatif dan kualitatif
agat pembaca menyadari bahwa asumsi dasar dari masing-masing pendekatan
bertolak belakang. Kondisi yang memungkinkan adalah dalam satu penelitian kita
hanya bisa menggunakan satu pendekatan, baik pendekatan kuantitatif maupun
pendekatan kualitatif. Namun, dalam satu penelitian yang sama, kita bisa
menerapkan kedua metode yang ada, yaitu metode kuantitatif dan metode
kualitatif, dan akhirnya kita menghasilkan data kuantitatif dan data
kualitatif. Tentunya jika kita menggunakan pendekatan kuantitatif, penekanan
utamanya adalah metode kuantitatif. Metode kualitatif kita gunakan untuk
melengkapi metode kuantitatif yang kita gunakan. Demikian pula dalam pendekatan
kuantitatif. Karena kita menggunakan metode kuantitatif sebagai metode utama,
data yang akan kita hasilkan adalah data kuantitatif sebagai data utama,
sedangkan data kualitatif hanya digunakan sebagai data penunjang. Dengan
demikian, jika ada anggapan bahwa dalam satu penelitian kita bisa menggunakan
kedua pendekatan yang ada, pendapat itu salah atau bisa jadi yang dimaksud
orang tersebut dengan pendekatan adalah metode.
Setelah kita mengenal perbedaan antara paradigma dan pendekatan, serta
penggunaan “kuantitatif” dalam penelitian, kita akan membahas mengenai asumsi
dasar yang ada di dalam pendekatan kuantitatif. Adapun asumsi dasar pendekatan
kualitatif hanya akan disajikan dalam bentuk skema, hanya untuk memperlihatkan
perbedaan antara asumsi dasar dalam pendekatan kuantitatif dan pendekatan
kualitatif.
Gambar
2.1 Hubungan Pendekatan, Metode, dan Data
1.
Asumsi Dasar Ontologi (Hakikat Dasar Gejala Sosial)
Gejala sosial dikatakan sebagai sesuatu gejala yang real, yang dapat diungkap dengan menggunakan indra manusia. Karena
suatu gejala adalah real, bisa terjadi kesepakatan di antara individu-individu
yang ada di sekitarnya, dan suatu ketiga gejala tersebut menjadi sebuah
fenomena yang sifatnya universal dan diakui oleh banyak orang. Gejala sosial
yang real ini dapat dianalogikan dengan permainan anak-anak. Suatu ketiga ada
anak yang sedang bermain dengan teman-temannya. Mereka sedang bermain
perang-perangan. Anak yang satu segera membuat sebuah lingkaran yang besar di
atas pasir, kemudian ia mengatakan bahwa area di dalam lingkaran yang ia buat
merupakan area kedaulatan negaranya. Kemudian, ia mengambil empat buah batu
besar dan meletakkan di sisi pinggir bagian dalam lingkaran dan mengatakan
bahwa keempat batu tersebut adalah benteng pertahanan. Kemudian, ia mengambil
tas sekolahnya dan meletakkan di tengah lingkaran dan mengatakan pada
teman-temannya bahwa tas tersebut adalah pusat pemerintahan negara yang ia
buat. Dengan demikian, konsep negara yang dibat oleh anak tersebut dengan
kesepakatan teman-temannya adalah sebuah lingkaran besar yang didalamnya
terdapat empat batu besar sebagai benteng pertahanan, serta ditengah lingkaran
terdapat tas sekolah sebagai pusat pemerintahan. Fenomena sosial (negara,
benteng pertahanan serta pusat pemerintahan) adalah sesuatu yang real, nyata sehingga jika dalam
permainan ada seseorang anak yang berencana menyerang negara tersebut, ia tahu
bahwa ia harus menghancurkan keempat batu yang ada karena keempat batu itu
merupakan benteng pertahanan. Fenomena ini menjadi suatu yang universal karena
ada pengakuan dan kesepakatan di antara anak-anak yang bermain mengenai negara
yang sudah dibuat. Analogi permainan anak-anak ini ingin menggambarkan bahwa
suatu gejala suatu fenomena adalah nyata.
Ilustrasi 2.1.
2.
Asumsi Dasar Epistemologi (Hakikat Dasar Ilmu
Pengetahuan)
Suatu gejala adalah nyata. Karena gejala itu sifatnya nyata, gejala yang
ada bisa dipelajari. Gejala yang ada bisa ditangkap dengan menggunakan indra.
Dengan demikian, kita bisa membuat perbedaan antara yang satu dengan yang lain.
Kembali ke permainan anak-anak tadi, kita bisa katakan kalau lingkaran yang di
dalamnya terdapat tas sekolah dan empat batu besar sebagai negara si A,
sehingga ketika anak yang lain membuat sebuah kotak dan didalamnya diletakkan
empat sepatu dan sebuah bola, kotak yang dibuat itu bukan negara si A, tetapi
negara si B. Dengan demikian secara epistemologis, kita bisa membuat
tipologi-tipologi untuk membedakan satu gejala dengan gejala yang lain.
Ilustrasi 2.2.
Epistemologi mencakup tiga hal, yaitu sebagai berikut :
- Keterkaitan antara Ilmu dengan Nilai
Individu adalah seorang yang bebas nilai. Bebas nilai dapat diartikan
bahwa individu tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada di antara
orang-orang yang sedang diteliti. Bebas nilai karena individu telah memiliki
seperangkat nilai yang ia gunakan untuk meneliti orang-orang tersebut. Nilai
yang ia bawa dan gunakan adalah nilai-nilai yang sifatnya universal. Dengan
sifat yang universal itu, individu berasumsi bahwa orang-orang yang akan ia teliti
memiliki nilai-nilai yang sama dengan nilai-nilai yang ia bawa. Dalam
praktiknya di lapangan digambarkan sebagai berikut. Kalau ada kesepakatan bahwa
setiap orang dilarang merokok di dalam angkutan umum, nilai-nilai kesepakatan
itu akan diterapkan kepada semua orang. Peneliti bisa mengabaikan seseorang
memiliki penilaian bahwa ia adalah manusia bebas sehingga boleh memutuskan
apakah ia akan merokok atau tidak. Karena nilai yang digunakan adalah nilai
yang universal, peneliti dapat menyatakan bahwa orang yang memiliki penilaian
yang berbeda tentang boleh tidaknya merokok di angkutan umum sebagai orang yang
salah. Dengan bebas nilainya individu (dalam hal ini peneliti), peneliti dapat
lebih objektif.
- Keterkaitan antara Ilmu dengan Akal Sehat
Segala sesuatu yang diperoleh dengan menggunakan cara yang ilmiah atau
yang kita kenal sebagai ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang lebih baik
dibandingkan dengan akal sehat belaka. Dengan demikian, pada saatnya nanti ilmu
pengetahuan akan menggantikan akal sehat.
- Metodologi
Logika pemikiran ilmiah yang mencakup proses pembentukan ide dan gagasan
diberlakukan secara ketat dengan memakai prinsip nomotetik dan menggunakan pola
deduktif. Prinsip nomotetik menggarisbawahi bahwa dalam melihat keterkaitan
antara suatu gejala sosial dengan gejala sosial yang lain, difokuskan kepada
beberapa faktor atau gejala yang krusial saja, dan mengesampingkan gejala atau
faktor sosial yang lalu. Dengan prinsip tersebut, tak jarang dalam penelitian
kita hanya akan melihat hubungan antara satu akibat dengan dua atau tiga sebab
saja. Dua atau tiga sebab ini yang diyakini atau diduga sebagai faktor atau
gejala yang krusial. Pola deduktif menunjukkan bahwa pemikiran yang
dikembangkan di dalam penelitian didasarkan pada pola yang umum atau universal
untuk kemudian mengarah pada pola yang lebih sempit dan spesifik.
3.
Hakikat Dasar Manusia
Dengan adanya pola yang bersifat universal, pada gilirannya manusia
sesungguhnya diatur dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Kalau kembali pada
analogi tentang permainan anak-anak tadi, karena sudah ada kesepakatan tentang
adanya batas kedaulatan negara, seorang anak tidak bisa begitu saja masuk ke
dalam lingkaran yang ada tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada anak yang
sudah membuat lingkaran tersebut. Anak tersebut tidak bisa begitu saja masuk ke
dalam kotak yang dibuat oleh anak yang lain. Di sini terlihat bahwa manusia
pada akhirnya harus tunduk pada pola-pola yang sifatnya universal tadi. Manusia
dipengaruhi oleh lingkungan. Manusia bukan merupakan individu yang bebas. Dalam
kenyataan hidup kita sehari-hari, kita pasti mengalami bahwa dalam setiap
tindakan, perkataan, serta perilaku kita diatur oleh sebuah hukum yang
universal. Kita tidak bisa melepaskan pakaian di tengah keramaian. Kita tidak
bisa datang jam 10 ke sekolah kalau sudah ditetapkan jam masuk sekolah adalah
jam tujuh, dan masih banyak belenggu yang mengikat kita. Kita adalah manusia
yang dipengaruhi oleh lingkungan.
4.
Aksiologi (Tujuan Dilakukannya sebuah Penelitian)
Tujuan dilakukannya sebuah penelitian adalah dalam upaya untuk menemukan
hukum universal dan mencoba menjelaskan mengapa suatu gejala atau fenomena
terjadi, dengan mengaitkan antara gejala atau fenomena yang satu dengan gejala
atau fenomena yang lain.
Dari penjelasan yang ada tentang asumsi dasar pendekatan kuantitatif,
terlihat bahwa antara asumsi yang satu dengan asumsi yang lain saling
berkaitan. Dengan demikian, jika suatu gejala memiliki asumsi dasar bahwa suatu
gejala adalah real, secara epistemologi gejala tersebut bisa dipelajari, secara
aksiologi, penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk mencari
penjelasan-penjelasan antara gejala. Secara skematis, kita bisa lihat perbedaan
antara asumsi dasar dalam pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif.
Tabel 2.1. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif dDilihat dari Berbagai Asmsi yang
Ada
Asumsi Dasar
|
Kuantitatif
|
Kualitatif
|
Ontologi (hakikat dasar gejala
sosial)
Hakikat dasar manusia
Epistemologi (hakikat dasar
ilmu pengetahuan)
-
Kaitan ilmu dengan nilai
-
Kaitan ilmu dengan akal sehat
-
Metodologi
Aksiologi
|
-
Real
-
Berpola
-
Rasional
-
Diatur oleh hukum universal
-
Bebas nilai
-
Ojektif
-
Ilmu adalah cara terbaik memperoleh pengetahuan
-
Deduktif
-
Nomotetik
Menemukan hukum universal,
mencari penjelasan
|
-
Dibuat melalui definisi
-
Hasil makna dan interpretasi
-
Memberi makna
-
Bebas
-
Tidak bebas nilai
-
Subjektif
-
Akal sehat adalah teori orang awam yang perlu
dipahami
-
Induktif
-
Idiografik
Menemukan arti pemahaman
|
B. Contoh Penggunaan Pendekatan dalam
Kehidupan Sehari-hari
1. Bentrokan antara Aparat Keamanan dan
Mahasiswa yang Berdemonstrasi
Akhir-akhir ini frekuensi bentrokan antara aparat keamanan dan mahasiswa
menjadi semakin sering. Mahasiswa melakukan aksi demo di depan gedung DPR.
Sementara mereka berusaha untuk memasuki areal gedung, mereka juga mengatakan
bahwa pemerintahan yang sekarang adalah pemerintah yang berpihak pada penguasa
dan bukan pada rakyat. Ketika mahasiswa diminta untuk membubarkan diri, mereka
justru berteriaka dan memaksa masuk. Bentrokan pun tak terelakkan lagi. Banyak
dari kalangan mahasiswa dan juga aparat keamanan yang terluka. Ketika ditanya
mengapa benturan tersebut sampai terjadi, mahasiswa justru menanyakan
sesungguhnya gedung DPR milik siapa, milik rakyat atau milik penguasa. Jika
milik rakyat, mengapa mereka yang juga rakyat tidak boleh masuk ke gedung
tersebut? Sementara di dalam pagar, aparat keamanan membuat pagar betis dan
tetap melarang mahasiswa masuk. Ketika ditanya tentang terjadinya bentrokan
hingga ada yang terluka, aparat dengan sigap menjawab bahwa segal ayang
dilakukan oleh aparat keamanan sudah sesuai prosedur. Bagaimana kita melihat
fenomena terjadinya bentrokan antara aparat keamanan dan mahasiswa? Kita bisa
menjawabnya dengan memakai kerangka pendekatan penelitian. Masih ingat tentang
pernyataan bahwa dalam sebuah penelitian kita hanya bisa menggunakan satu
pendekatan saja? Apa akibatnya jika dalam sebuah penelitian kita menggunakan
dua pendekatan yang berbeda? Jawaban atas pertanyaan tersebut ada di dalam
kasus tentang bentrokan antara aparat keamanan dan mahasiswa. Aparat keamanan
menggunakan pendekatan kuantitatif. Hal yang paling jelas adalah jawaban aparat
keamanan yang mengatakan segala yang dilakukan “sudah sesuai prosedur”.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa aparat memiliki nilai yang universal, yang
sebuah peraturan. Mereka bukan lagi individu yang bebas, namun tunduk pada pola
yang umum (hukum). Sebaliknya mahasiswa menggunakan pendekatan kualitatif.
Dengan bertemunya antara pendekatan kuantitatif dengan pendekatan kualitatif
dalam satu fenomena, yang terjadi adalah benturan-benturan. Demikian pula dalam
penelitian yang sesungguhnya. Jika peneliti akan menggunakan kedua pendekatan
yang ada dalam satu penelitian, yang terjadi adalah benturan-benturan pemikiran
sehingga penelitian itu tidak akan pernah bisa dilakukan.
2. Perilaku Remaja
Sujono adalah seorang mahasiswa yang berasal dari Solo dan sudah lama
tinggal di Jakarta. Keberadaannya di Jakarta dalam rangka melanjutkan kuliah.
Sudah lama juga ia berpacaran dengan Sujanti, mahasiswi yang juga berasal dari
Solo dan juga sudah lama tinggal di Jakarta. Selama di Jakarta, mereka
berpacaran dengan gaya
yang bebas. Mereka tidak malu untuk saling berpelukan di tengah keramaian.
Mereka tidak malu untuk saling bergandengan tangan, menyusuri mal yang satu ke
mal yang lain. Bahkan mereka tidak malu lagi untuk berciuman di depan umum.
Pada saat liburan semester, mereka berencana pulang ke Solo bersama. Mereka
memilih untuk naik kereta api ke Solo. Sepanjang perjalanan, mereka berperilaku
seperti biasa yang mereka lakukan selama berpacaran. Orang-orang yang berada di
sekitar tempat duduk mereka pun menjadi risih melihat perilaku mereka. Ketika
kereta sampai di Solo, perilaku yang ditampilkan oleh Sujono dan Sujanti
langsung berubah. Mereka tidak lagi jalan berangkulan, dan bahkan mereka
menjaga jarak di antara tubuh mereka. Tidak lagi bergandengan tangan apalagi
berciuman di depan umum. Bisa dikatakan mereka mengubah perilaku mereka 180
derajat. Bagaimana kita bisa mencermati kejadian ini dengan memakai pendekatan
kuantitatif. Mereka dipengaruhi oleh lingkungan. Di Jakarta mereka bisa
berperilaku secara bebas, namun ketika mereka berada di Solo, yang konon
masyarakatnya masih memegang sopan santun yang tinggi, mereka tidak berani lagi
berperilaku seperti di Jakarta.
Perubahan perilaku ini menunjukkan bahwa mereka adalah individu yang tunduk
pada pola yang bersifat universal, yaitu aturan masyarakat Solo.