I. PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Pendidikan pada dasarnya
merupakan suatu usaha pengembangan sumber daya manusia (SDM), sehingga pendidikan
terasa semakin dituntut peranannya, khususnya dalam usaha untuk dapat
menghasilkan manusia Indonesia berkualitas yang dapat memainkan peranannya
sesuai dengan parameter yang tercantum dalam GBHN. Pendidikan nasional harus
dilaksanakan secara merata, adil, relevan, berkualitas dan efisien (Achmady,
1994 : 71).
Pesan yang termaktub dalam UUD 1945 tersebut tentu saja bukan hanya
ditujukan untuk diimplementasikan pada salah satu tingkat pendidikan,
pemerataan pendidikan tidak hanya sekedar sebatas sampai pada pendidikan
sekolah dasar kesempatan pemerataan harusnya diwujudkan mulai Sekolah Dasar
(SD) sampai dengan Perguruan Tinggi (PT). Pemahaman dan penjabaran yang memadai
terhadap pesan-pesan tersebut diperlukan supaya paling tidak ada suatu semangat
kebersamaan membuka kesempatan masyarakat berpartisipasi dalam seluruh tingkat
pendidikan.
Semangat ini menjadi
sumber energi untuk memikirkan dan melakukan upaya-upaya pemerataan pendidikan.
Dengan satu pernyataan, ”.......sekurang-kurangnya setara dengan
pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan tamatan pendidikan dasar”, dalam UU
No. 2 Tahun 1989 mereduksi semangat yang diberikan para pendiri negara RI
tersebut. Inferioritas muncul pada UU No. 2 Tahun 1989 sudah melaksanakan
pesan-pesan yang termaktub dalam UUD 1945. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara
berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Konsekuensi dari hal
tersebut maka pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh
peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/Mts serta satuan
pendidikan yang sederajat). Dalam rangka melaksanakan tekad tersebut di satu
sisi, serta kemampuan masyarakat yang terus mnurun sebagai dampak dari kenaikan
harga BBM, maka Pemerintah menerapkan dan mengembangkan Program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).
Permasalahan
Pada uraian di latar
belakang ternyata diketemukan ada keterkaitan antara aksesibilitas masyarakat
dalam memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan dengan kebijakan pemerintah,
maka beberapa permasalahan yang dapat diangkat disini antara lain adalah :
a.
Bagaimana dampak kebijakan bidang pendidikan
program BOS tersebut terhadap aksesibilitas masyarakat untuk memperoleh
kesempatan mengenyam pendidikan dasar dan menengah?
b.
Bagaimana seharusnya kebijakan bidang
pendidikan di wilayah Gerbangkertosusila melalui Program BOS diterapkan agar
dapat memperluas akses masyarakat dalam memperoleh kesempatan mengenyam
pendidikan dasar dan menengah?
c.
Langkah-langkah apa saja yang seharusnya
ditempuh pemerintah untuk memperluas akses pendidikan bagi masyarakat?
Tujuan Penelitian
Kebijakan pemerintah kiranya
masih perlu di evaluasi, karena walaupun suatu kebijakan itu dirancang untuk
mencapai tujuan tertentu, tetapi seringkali dalam prakteknya telah terjadi
menyimpangan dari tujuan yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu, dengan
evaluasi kebijakan akan ditemukan kegagalan atau keberhasilan dalam proses
implementasinya, sehingga penelitian ini bertujuan untuk menganalisis:
a.
Dampak kebijakan
bidang pendidikan program BOS tersebut terhadap aksesibilitas masyarakat untuk
memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan dasar dan menengah?
b.
Kebijakan bidang
pendidikan di wilayah Gerbangkertosusila melalui Program BOS yang seharusnya
diterapkan agar dapat memperluas akses masyarakat dalam memperoleh kesempatan
mengenyam pendidikan dasar dan menengah?
c.
Langkah-langkah
yang seharusnya ditempuh pemerintah untuk memperluas akses pendidikan bagi
masyarakat?
Manfaat Penelitian
Dari tujuan penelitian maka
hasil dari pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis
dalam pengembangan studi kebijakan publik dan memberikan kontribusi praktis
kepada pembuat dan pelaksana kebijakan, yaitu : tindakan-tindakan apa saja yang
kiranya perlu untuk diambil dalam merumuskan, mengimplementasikan kebijakan
bidang pendidikan yang berwawasan dan berorientasi pada pemerataan serta
berkeadilan.
Ruang Lingkup
a.
Batasan
Kebijakan
pendidikan yang dievaluasi dalam kegiatan ini hanya meliputi kebijakan
pendidikan dasar dan menengah dalam program Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
sebagai sample lokasi penelitian akan diambil beberapa kabupaten/ kota di
wilayah Gerbangkertosusila Jawa Timur.
b.
Lingkup Kegiatan
Kegiatan Analisis Dan Evaluasi
Kebijakan Bidang Pendidikan Terhadap Aksesibilitas Masyarakat Dalam Memperoleh
Kesempatan Pemerataan Pendidikan Dasar Dan Menengah Di Wilayah
Gerbangkertosusila meliputi :
·
Melakukan
inventarisasi dan pendataan terhadap program-program dan kebijakan pemerataan
bidang pendidikan yang telah dilakukan.
·
Melakukan
pendataan kemudian untuk analisis terhadap angka partisipasi murni masyarakat
di daerah penelitian,
·
Melakukan
identifikasi hambatan-hambatan yang ada terhadap penerapan kebijakan bidang
pendidikan tersebut.
·
Melakukan kompilasi dan analisis data dari hasil
inventarisasi dan identifikasi serta dari instrumen-instrumen penelitian yang
telah diterapkan.
·
Merumuskan Analisis Dan Evaluasi Kebijakan Bidang
Pendidikan Terhadap Aksesibilitas Masyarakat Dalam Memperoleh Kesempatan
Pemerataan Pendidikan Dasar Dan Menengah Di Wilayah Gerbangkertosusila.
II. LANDASAN TEORI
2.1 Perspektif Ekonomi
Politik Pendidikan
Dalam mensukseskan pembangunan nasional yang bersifat berkesinambungan (suistainnable),
dan untuk mencapai masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,
maka kiranya perlu mengkaji dan melihat pendidikan dari perspektif ekonomi
politik. Ekonomi dan Pendidikan merupakan dua komponen yang saling
memberikan pengaruh timbal balik. Pendidikan menurut, (Kartono, 1992 : 309),
merupakan komponen ekonomi yang penting, karena dapat memproduksi tenaga kerja
terampil yang dapat memasuki pasaran kerja, disamping membentuk manusia-manusia
ekonomis untuk pembangunan masyarakat demi kelestarian hidup bangsa.
Laju pertumbuhan ekonomi ternyata baru dapat memberikan keuntungan minimal
kepada strata sosial paling miskin, baik yang ada di daerah pedesaan maupun di
daerah-daerah kumuh di pinggiran kota. Keuntungan di sektor industri,
pertambangan, perkebunan belum di distribusikan secara merata sampai kelapisan
bawah. Sebagai akibatnya, strata sosial marginal dan paling miskin (kurang
mampu) tadi juga mendapatkan porsi pendidikan formal (sekolah) paling sedikit
atau minimal.
1.
Sektor primer modern belum mampu menampung serta
memanfaatkan sumber-sumber daya manusia desa, merupakan bagian terbesar
penduduk di Indonesia. Padahal pengelolaan tenaga manusia melalui pendidikan
(edukasi) sehingga menjadi produktif merupakan tujuan ekonomis dan tujuan
sosial dengan laju pertumbuhan dari domistik bruto diatas rata-rata (M.I.
Tuqan, 1979 : 64). Kemudian (Baswir, 1999 : 23) menambahkan, struktur
perekonomian Indonesia masih ditandai dengan terjadinya dualisme ekonomi, yaitu
ekonomi modern yang berorientasi kepada pengakumulasian kapital, dan
perekonomian yang masih tradisional bersifat sub sistem. Tenaga kerja Indonesia
sekitar 70% tamatan Sekolah Dasar, dan hanya 3% yang memperoleh kesempatan
pemerataan pendidikan tinggi.
Dari keadaan dan situasi
perekonomian sebagaimana saat ini, kiranya perlu untuk mengimplementasikan
suatu kebijakan pendidikan berakses pada kemiskinan dan keterbelakangan yang
terdiri dari :
a.
Pendidikan untuk masyarakat kurang mampu, yang jumlahnya
masih cukup besar dapat menjadi lebih ekonomis, sebab dapat digunakan untuk
membangun angkatan kerja terdidik atau terlatih secara teknis;
b.
Menjadi kebutuhan sosial untuk merangsang dinamika serta
pengembangan, yang sesuai dengan sila ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”, juga
asas demokrasi Pancasila.
Selanjutnya, pembangunan dan modernisasi di suatu negara hanya bisa
dilakukan melalui perbaikan dan perluasan bidang pendidikan dengan tujuan untuk
membangkitkan serta mengembangkan individualitas-sosialitas-moralitas
manusianya serta kemampuan ekonominya, (Kartono, 1997 : 98). Sebab itu
pendidikan menjadi kebutuhan mutlak suatu negara yang berkeinginan berupaya
untuk maju, dan berkemauan besar mancapai kemakmuran masyarakatnya. Agar
tercapai tujuan hidup yang lebih baik, maka faktor politis, ekonomis, sosial,
kultural dan keamanan sangat diperlukan oleh para tenaga terdidik.
Pada beberapa argumentasi tersebut, maka pendidikan dalam perspektif
ekonomi, kiranya dapat dijelaskan dengan mengutip pendapat dari (Kartono, 1997
: 101) antara lain :
1.
Mampu menyiapkan tenaga kerja yang handal, baik
(bermutu);
2.
Ikut mempersiapkan dibukanya lahan-lahan kerja baru;
3.
Bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat pada umumnya,
serta untuk pemerataan keadilan dan kesejahteraan pada khususnya.
Sedangkan pada perspektif politik, pendidikan merupakan proses sosial dan
proses sosialisasi manusia. Proses sosial menjadi dimensi utama dari filsafat
pendidikan. Maka dalam relasi sosial yang berbeda dalam wadah suatu negara,
yang bergantung pada renggang-dekatnya relasi sosial antara individu dengan
individu lain menyebabkan munculnya praktek pendidikan yang berbeda. Di negara
demokrasi, orang menghargai perbedaan, karena itu sistem pendidikan biasanya
disusun atas dasar dari pendapat orang banyak. Tetapi pendidikan terasa
dipaksakan bila mana dilaksanakan di negara totaliter. Negara membatasi
kebebasan individu, dengan cara memberikan pendidikan dengan pola yang uniform,
ketat dan keras. Sistem pendidikannya hanya satu, berdasarkan satu macam
filsafat pendidikan. Guru-guru, termasuk juga Dosen sikapnya otokratis dan
mutlak, bila berkuasa atau memerintah (mengajar) memakai tangan besi. Karena
para guru dengan ketat akan melakukan dan meneruskan semua perintah dari
kekuasaan politik (pendidikan) yang juga otoriter sifatnya. Bagi negara totaliter,
edukasi dipandang sebagai kekuatan (force), minimal paling tidak dijadikan
kekuatan politik. Sebab itu pendidikan harus menjadi tanggung jawab negara, dan
negara secara mutlak (absolut) mengatur pendidikan dengan cermat.
2.2 Kebijakan Publik
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, kita tidak
dapat lepas dari apa yang disebut sebagai kebijakan publik. Kebijakan-kebijakan
tersebut dapat ditemukan dalam bidang kesejahteraan sosial (social welfare),
di bidang kesehatan, perumahan rakyat, pertanian, pendidikan dan lain
sebagainya. Oleh karena luasnya dimensi yang dipengaruhi oleh kebijakan publik,
maka apa sebenarnya kebijakan publik itu? Pada dasarnya terdapat banyak batasan
atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik (public policy),
yang masing-masing memberi penekanan yang berbeda. Salah satu definisi yang
dikemukakan oleh Robert Eyestone, kebijakan publik adalah hubungan suatu unit
pemerintah dengan lingkungannya. Thomas R. Dye mengatakan bahwa kebijakan
publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak
dilakukan. Menurut James Anderson, kebijakan publik adalah arah tndakan yang
mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam
mengatasi suatu masalah atau persoalan.
Masalah publik adalah masalah-masalah yang mempunyai
dampak yang luas dan mencakup konsekuensi-konsekuensi bagi orang-orang yang
tidak secara langsung terlibat. Dengan demikian kebijakan publik pada dasarnya
dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, dalam hal ini, memperbaiki masalah
yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau
kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik
telah meraih dampak yang diinginkan.
Evaluasi Kebijakan adalah merupakan suatu aktivitas untuk melakukan
penilaian terhadap akibat-akibat atau dampak kebijakan dari berbagai
program-program pemerintah. Pada studi evaluasi kebijakan telah dibedakan
antara “policy impact/ outcome dan policy output. Policy Impact/ outcome”
adalah akibat-akibat dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dengan
dilaksanakannya suatu kebijakan. Adapun yang dimaksud dengan “policy output”
ialah dari apa yang telah dihasilkan dengan adanya program proses perumusan
kebijakan pemerintah (Islamy, 1986 : 114-115). Dari pengertian tersebut maka
dampak mengacu pada adanya perubahan-perubahan terjadi yang di akibatkan oleh
suatu implementasi kebijakan.
Dampak kebijakan disini tidak lain adalah seluruh dari dampak pada kondisi
”dunia-nyata” (the impact of a policy is all its effect on real – world
conditions), untuk itu masih menurut (Dye, 1981 : 367) yang termasuk dampak
kebijakan adalah :
1.
The impact on the
target situations or group.
2.
The impact on
situations or group other than the target (“spoilover effect”).
3.
Its impact on
future as well as immediate conditions.
4.
Its direct cost,
in term of resources devote to the program.
5.
Its indirect
cost, including loss of opportunities to do other things.
Penggunaan
model untuk mengkaji kebijakan publik akan sangat besar sekali manfaatnya. Ada
beberapa alasan yang dapat dikemukakan dalam hal ini. Pertama, kebijakan
publik merupakan proses yang kompleks, sehingga sifat model yang
menyederhanakan realitas akan sangat membantu dalam memahami realitas yang
kompleks tersebut. Kedua, sifat alamiah manusia yang tidak mampu memahami
realitas yang kompleks tanpa menyederhanakannya terlebih dahulu.
Evaluasi memainkan sejumlah
fungsi utama dalam analisis kebijakan, yang terpenting adalah memberi informasi
yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan: seberapa jauh
tujuan, kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan
publik. Evaluasi mempunyai dua aspek yang saling berhubungan yaitu: Penilaian
sistem dan penilaian program
2.2 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan pada
permasalahan yang telah diuraikan terdahulu dengan landasan teori yang ada,
maka dirumuskan kerangka pemikiran seperti dalam Gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
III. METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif, yang bermaksud memberi gambaran tentang kebijakan bidang pendidikan yang seharusnya diterapkan
di wilayah Gerbangkertosusila agar dapat memperluas akses masyarakat dalam
memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan dasar dan menengah. Lebih jauh
melihat dampak kebijakan bidang pendidikan tersebut terhadap aksesibilitas
masyarakat untuk memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan dasar dan menengah.
Selanjutnya dapat mengambil langkah-langkah saja yang seharusnya ditempuh
pemerintah untuk memperluas akses pendidikan bagi masyarakat
3.2 Operasionalisasi variabel
Identifikasi
masalah dilakukan untuk melihat bagaimana dampak
kebijakan bidang pendidikan tersebut terhadap aksesibilitas masyarakat untuk
memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan dasar dan menengah. Selanjutnya
dapat mengambil langkah-langkah saja yang seharusnya ditempuh pemerintah untuk
memperluas akses pendidikan bagi masyarakat. Evaluasi yang dilakukan untuk
menilai kinerja kebijakan bidang pendidikan dalam program BOS dibagi dalam 2
bagian:
1. Penilaian sistem yaitu metode penilaian terhadap
sistem yang mempengaruhi dilaksanakannya Program BOS. Penilaian sistem diukur dengan
menggunakan parameter sebagai berikut:
a.
lingkungan pengendalian adalah lingkungan dalam arti
kelompok/tim yang bertanggung jawab mengamankan penyaluran dana BOS yang
terdiri dari Tim PKPS BBM.
b.
penilaian risiko adalah penilaian atau verifikasi
terhadap kewajaran data siswa sebagai dasar alokasi dana BOS.
c.
aktivitas pengendalian adalah mekanisme yang diikuti
untuk melakukan pemantauan dengan menerbitkan buku petunjuk pelaksanaan.
d.
komunikasi dan infoman adalah diseminasi informasi
program dan teknis pengelolaan dana BOS
e.
monitoring dan pelaporan adalah rencana kegiatan dan
anggaran yang digunakan untuk melakukan monitoring dan pelaporan.
2. Penilaian program dan aplikasi merupakan metode
penilaian untuk menentukan keluaran akhir (output) dan dampak (outcome)
dari program BOS terhadap masyarakat. Program dan aplikasi diukur dengan
menggunakan parameter berikut:
a.
Ketepatan sasaran adalah realisasi penyaluran dana BOS
adalah tepat sasaran yaitu meringankan beban biaya dan bahkan membebaskan siswa
iuran siswa
b.
Ketepatan jumlah adalah realisasi penyaluran dana BOS
yang diterima masing-masing sekolah sesuai dengan jumlah murid riil
c.
Ketepatan waktu adalah realisasi penyaluran dana BOS
telah diterima sesuai dengan jadual waktu yang telah ditetapkan.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Sekolah
Dasar dan Menengah di wilayah Gerbangkertosusila. Penelitian ini menggunakan purposive
sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan tujuan tertentu yaitu
melihat dampak dari kebijakan bidang pendidikan program BOS di daerah
perkotaan. Hal ini dilakukan mengingat dampak kenaikan BBM lebih banyak
dirasakan oleh penduduk miskin perkotaan dibanding pedesaan. Namun sebagai
perbandingan juga disajikan daerah kabupaten. Dengan demikian diambil 2 sampel,
satu mewakili wilayah perkotaan yaitu Surabaya dan satu mewakili wilayah
kabupaten yaitu Gresik.
3.4 Teknik Analisis
Dalam melaksanakan kegiatan
ini, langkah-langkah yang ditempuh:
a.
Persiapan awal,
berisikan pemahaman terhadap tema, kasus serta kajian-kajian teoritis yang
diperoleh dari pustaka acuan serta studi-studi terdahulu.Dari pemahaman awal
dilakukan fenomologis melibatkan kasus yang ditinjau.
b.
Kajian ini
ditinjau dari sudut pandang keterkaitan antara kebijakan di bidang pendidikan
dengan akses masyarakat pada pendidikan dasar dan menengah.
c.
Selanjutnya dilakukan penyusunan instrument, uji coba
instrument dan validasi instrument.
d.
Setelah instrument sempurna maka dilakukan pengumpulan
data, pengelompokan data, kompilasi data, identifikasi dan validasi data yang
akan ditindak lanjuti dengan analisa data.
e.
Dari analisis diharapkan diperoleh suatu rangkuman yang
dapat memaparkan kondisi pelaksanaan kebijakan bidang pendidikan dan akses
masyarakat pada pendidikan dasar dan menengah.
f.
Dari berbagai rangkuman analisis akan disusun suatu
evaluasi terhadap kebijakan bidang pendidikan tersebut.
g.
Selanjutnya keluaran akhir adalah produk Analisis Dan
Evaluasi Kebijakan Bidang Pendidikan Terhadap Aksesibilitas Masyarakat Dalam
Memperoleh Kesempatan Pemerataan Pendidikan Dasar Dan Menengah Di Wilayah
Gerbangkertosusila.
3.5 Sumber dan Teknik Pengumpulan
Data
3.5.1 Sumber data
Sumber data dalam
penelitian ini adalah data primer dan data sekunder:
-
Data primer adalah data yang diperoleh melalui observasi
langsung dengan cara melakukan wawancara dengan kelompok target.
-
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan
mengumpulkan dokumen-dokumen yang menginformasikan tentang variabel-variabel
penelitian.
3.5.2 Teknik Pengumpulan
Data
Dalam melakukan
pengumpulan data, digunakan teknik sebagai berikut:
1.
Wawancara
Wawancara dilakukan dengan kelompok target yaitu Dinas
Pendidikan dan Sekolah-sekolah.
2.
Studi Pustaka
Studi Pustaka dilakukan dengan mengumpulkan data dari
berbagai sumber seperti perpustakaan, internet dan laporan dari Dinas
Pendidikan.
IV. PROGRAM BOS
Latar Belakang Program BOS adalah adanya Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan
bahwa setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar,
yang dikenal dengan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
Konsekuensi dari hal tersebut maka pemerintah wajib memberikan layanan
pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan
SMP/Mts serta satuan pendidikan yang sederajat).
Namun, kenaikan harga BBM beberapa tahun belakangan menurunkan
kemampuan daya beli penduduk miskin. Hal tersebut dapat menghambat upaya
penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, karena
penduduk miskin akan semakin sulit memenuhi kebutuhan biaya pendidikan.
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dimaksud dalam PKPS BBM
Bidang Pendidikan ini mencakup komponen untuk biaya operasional non personil.
Biaya operasional non personil inilah yang diprioritaskan, bukan biaya
kesejahteraan guru dan bukan biaya untuk investasi.
Pelaksanan penyaluran dan pengelolaan
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dilakukan oleh organisasi pelaksana
yang sebut Tim PKPSBBM serta Sekolah/Madrasah yang memperoleh alokasi dana BOS.
Tim PKPS-BBM dibentuk di tingkat Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota
IV. ANALISIS DAN HASIL
PENELITIAN
4.1 Gambaran Obyek
Penelitian
1. Pelaksanaan Program BOS
a.
Kota Surabaya
Dana pembangunan Dinas Pendidikan Kota
Surabaya pada tahun 2005 dan 2006 menurun dari 169 milyar menjadi 135 milyar.
Hal ini disebabkan karena APBD I (Stimulan pendidikan) tidak dimasukkan, selain
itu juga subsidi dari APBN menurun drastis dari 53 milyar menjadi 1 milyar.
2.
Profil Dinas Pendidikan
Profil Dinas Pendidikan kota Surabaya dapat dilihat
pada tabel berikut
Jumlah Sekolah
|
Jumlah Siswa
|
Rombel
|
Jumlah
Ruang Kelas
|
Jumlah
Guru
|
|||||
Kondisi
|
Layak
|
Tidak
Layak
|
Total
|
||||||
Baik
|
R. Ringan
|
R. Berat
|
Total
|
||||||
1.076
|
284.110
|
10.450
|
7.081
|
1.223
|
575
|
8.879
|
7.370
|
5.344
|
12.714
|
Prosentase
|
79,74%
|
13,77%
|
6,47%
|
100%
|
57,96%
|
42,03%
|
100%
|
Tabel
4.1 Profil Pendidikan Dinas Pendidikan kota Surabaya Tahun 2005
Sumber data : Statistik
Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Tahun 2005/2006
Dari tabel 5.3 diketahui bahwa Dinas Pendidikan Kota Surabaya memiliki
jumlah SD/MI sebanyak 1.076 sekolah yang menampung 284.110 siswa dengan jumlah
rombongan belajar mencapai 10.450 rombongan. Untuk menampung sebanyak 284.110 siswa
tersedia ruang kelas sebanyak 8.879 ruang kelas dengan kondisi baik sebanyak
7.081 ruang (79,74%), kondisi rusak ringan sebanyak 1.223 ruang (13,77%) dan
kondisi rusak berat yang tidak layak digunakan sebanyak 575 ruang (6,47%).
Profil Sekolah Tingkat SMP/MTs dapat dilihat dalam Tabel 5.4 berikut:
Tabel 4.2 Profil Sekolah Tingkat SMP/MTs
Jumlah Sekolah
|
Jumlah Siswa
|
Rombel
|
Jumlah
Ruang Kelas
|
Jumlah
Guru
|
|||||
Kondisi
|
Layak
|
Tidak
Layak
|
Total
|
||||||
Baik
|
R. Ringan
|
R. Berat
|
Total
|
||||||
374
|
114.398
|
2.891
|
2.895
|
109
|
42
|
3.046
|
6.970
|
2.269
|
9.239
|
Prosentase
|
95,04%
|
3,57%
|
1,37%
|
100%
|
75,44%
|
24,55%
|
100%
|
Sumber data : Statistik Sekolah Menengah Pertama Tahun 2005/2006
Dengan kondisi ruang kelas yang
ada pada saat ini, maka Dinas Pendidikan Kota Surabaya masih belum bisa
memenuhi kebutuhan ruang kelas bila dibandingkan dengan jumlah rombongan
belajar yang telah mencapai 10.450 rombongan. Guru yang mengajar di SD/MI
adalah sebanyak 12.714 orang dengan kualifikasi layak mengajar sebanyak 7.370
orang (57,96%) dan selebihnya masuk tidak layak mengajar sebanyak 5.344 orang
(42,03%).
Dari tabel 4.2 diketahui bahwa
Dinas Pendidikan Kota Surabaya memiliki total SMP/MTs sebanyak 374 sekolah yang
menampung 114.398 siswa. Untuk menampung 114.398 siswa tersedia sebanyak 3.046
ruang dengan kondisi baik sebanyak 2.895 ruang (95,04%), kondisi rusak ringan
sebanyak 109 ruang (3,58%) dan kondisi rusak berat sebanyak 42 ruang (1,38%).
Dengan kondisi tersebut maka Dinas Pendidikan Kota Surabaya bisa memenuhi
kebutuhan ruang kelas bila dibandingkan dengan julah rombongan belajar yang
telah mencapai 2.891 rombongan. Guru yang mengajar pada SMP/MTs sebanyak 9.239
orang dengan kualifikasi layak mengajar sebanyak 6.970 orang (75,44%) dan yang
tidak layak mengajar sebanyak 2.269 orang (24,56%).
4. TEMUAN PENELITIAN
Untuk periode Juli-Desember 2005,
Kota Surabaya mendapatkan alokasi dana BOS yang diberikan sekaligus untuk satu
semester sebesar Rp48.672.718.250,00. Dari jumlah tersebut Dinas Pendidikan
Kota Surabaya menerima dana BOS sebesar
Rp 47.152.054.750,00 dan telah disalurkan seluruhnya ke masing-masing
sekolah penerima sehingga tidak terdapat sisa dana BOS yang belum disalurkan.
Sedangkan untuk periode Januari-Desember 2006, Kota Surabaya mendapatkan
alokasi dana BOS sebesar Rp 105.826.037.892,00 yang diberikan per dua bulanan.
Sampai dengan bulan Agustus 2006 dana BOS yang telah diterima sebesar Rp
63.644.521.820,00 dan telah disalurkan ke masing-masing sekolah penerima
sebesar Rp63.202.259.689,00. Hasil pemeriksaan atas pelaksanaan BOS di Kota
Surabaya menunjukkan keadaan sebagai berikut:
4.2 Evaluasi Kinerja Program BOS
1. Penilaian Sistem
a. Lingkungan Pengendalian
Implementasi program BOS banyak melibatkan berbagai pihak (antara lain LSM,
Badan Intelijen Negara, dan masyarakat secara luas) dalam pengawasan pelaksanaannya.
Hal ini dilakukan mengingat sasaran program ini langsung berkaitan dengan
kepentingan masyarakat luas. Dengan memperhatikan variabel-variabel tersebut di
atas, lingkungan pengendalian program BOS dapat dinilai sudah cukup memadai.
b. Penilaian Risiko
Dinas Pendidikan Kota Surabaya telah melakukan verifikasi terhadap
kewajaran data siswa awal yang diusulkan. Proses ini dinilai memiliki risiko
yang cukup tinggi mengingat data siswa merupakan dasar alokasi dana BOS untuk
masing-masing sekolah dan keterbatasan verifikasi data siswa oleh Dinas
Pendidikan Kota Surabaya yang dilakukan berdasarkan data sekolah yang ada di
Dinas Pendidikan Kota Surabaya dan uji petik verifikasi lapangan. Risiko lain
yang dinilai cukup tinggi adalah pemahaman dan pertanggungjawaban penggunaan
dana BOS oleh sekolah mengingat bervariasinya kebutuhan sekolah. pemahaman yang
masih kurang atas pentingnya pertanggungjawaban penggunaan BOS dan pelaporannya
dan efektivitas bimbingan teknis atas pertanggungjawaban penggunaan dana yang
dinilai masih kurang.
c. Aktivitas Pengendalian
Alokasi dana BOS per
masing-masing sekolah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional
berdasarkan usulan data siswa dari masing-masing kabupaten/kota. Setelah
penetapan alokasi tersebut, penyaluran dana BOS dilakukan dengan mekanisme
dekonsentrasi. Mekanisme ini disadari masih memiliki kelemahan terutama dalam
hal validasi data siswa yang berakibat tingginya fluktuasi kekurangan/kelebihan
realisasi penyaluran dana BOS pada beberapa sekolah. Hal ini terlihat dari
banyaknya pengembalian dana BOS oleh sekolah-sekolah yang kelebihan menerima
dana BOS. Informasi data siswa sebagai dasar alokasi dana BOS belum sepenuhnya
dapat diverifikasi kebenarannya mengingat banyaknya jumlah sekolah yang ada dan
sebaran sekolah-sekolah di wilayah Kota Surabaya. Dengan demikian terlihat
bahwa aktivitas pengendalian atas program BOS masih belum sepenuhnya memadai.
d. Komunikasi dan Informasi
Diseminasi informasi program BOS telah dilakukan melalui sosialisasi
melalui media TV dan cetak (oleh Tim PKPS BBM Pusat dan Propinsi), workshop,
pelatihan untuk sekolah-sekolah dan bimbingan teknis oleh Tim PKPS BBM Kota
Surabaya kepada pengelola dana BOS di sekolah-sekolah yang dilakukan melalui
kegiatan monitoring dan evaluasi. Petunjuk pelaksanaan juga mengatur tentang
kewajiban pelaporan pertanggungjawaban penggunaan dana BOS oleh sekolah dan Tim
PKPS BBM Kota Surabaya.
Namun demikian masih dijumpai
pengelola dana BOS di sekolah-sekolah yang masih belum sepenuhnya memahami
teknis pengelolaan dana BOS. Di lain pihak sebagian masyarakat memperoleh
pemahaman bahwa dengan adanya dana BOS maka segala bentuk iuran/pungutan
sekolah ditiadakan, yang berakibat semakin sulit untuk mengumpulkan dana dari
orang tua murid untuk investasi sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa diseminasi
informasi program dan teknis pengelolaan dana BOS masih belum sepenuhnya
efektif.
e. Monitoring dan Pelaporan
Alokasi dana safeguarding untuk kegiatan monitoring dan evaluasi
dinilai masih kurang memadai sehingga tidak seluruh sekolah bisa dilakukan
monev. Namun demikian dalam setiap kegiatan/pertemuan antara Tim PKPS-BBM Kota
Surabaya dan pihak pengelola dana BOS di sekolah-sekolah, selalu dilakukan
tanya jawab dan monitoring administrasi dan pelaporan penggunaan dana BOS oleh
anggota Tim PKPS BBM Kota Surabaya. Di lain pihak, pelaksanaan program BOS ini
mendapat perhatian cukup luas dari masyarakat, LSM, wartawan, kepolisian bahkan
kejaksaan yang turut mengamati dan menindaklanjuti pengaduan-pengaduan
masyarakat atas indikasi penyimpangan penggunaan dana BOS di sekolah-sekolah
maupun Tim PKPS BBM. Dengan demikian sistem monitoring dan evaluasi atas
program BOS dinilai sudah cukup memadai.
2. Penilaian Program dan Aplikasi
a. Ketepatan Sasaran
Penilaian atas ketepatan sasaran penyaluran BOS menunjukkan bahwa sebagian
besar sekolah penerima dana BOS telah melaksanakan penurunan/pembebasan iuran
sekolah. Dengan demikian program BOS telah memberikan manfaat positif bagi orang
tua murid, sekaligus dapat mendorong percepatan program Wajar Dikdas 9 tahun. Kondisi ini merupakan hal
positif yang perlu dipertahankan di masa depan. Dari temuan-temuan pemeriksaan
di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian BOS telah mencapai sasaran yang telah
ditetapkan.
b. Ketepatan Jumlah
Penilaian atas ketepatan jumlah BOS menunjukkan bahwa alokasi dana BOS
untuk Dinas Pendidikan Kota Surabaya belum sepenuhnya berdasarkan data siswa
yang sebenarnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan
dokumen BOS diketahui terdapat selisih antara jumlah dropping dana dari
Bank Jatim ke rekening penampungan di Bank Jatim Cabang Surabaya,
a.
Saldo yang ada
pada rekening penampungan tersebut telah dikembalikan seluruhnya ke rekening
Satker PKPS-BBM Propinsi Jawa Timur (No. Rek.0011189156) pada tanggal 22
Februari 2006 dan 16 Agustus 2006 masing-masing sebesar Rp439.520.894,00 dan
Rp209.580.482,00. Pengembalian dana BOS pada tanggal 22 Februari 2006 merupakan
pengembalian karena adanya kelebihan dropping dana dari Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Jawa Timur periode Januari-Februari 2006. Pengembalian dana BOS
pada tanggal 16 Agustus 2006 merupakan pengembalian karena adanya kelebihan dropping
dana dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur periode
Juli-Agustus 2006, pengembalian dana BOS dari sekolah-sekolah dan dana safeguarding
yang masuk ke rekening tersebut. Hal tersebut tidak sesuai dengan petunjuk
pelaksanaan Bantuan Operasional Sekolah Tahun 2006
b.
Pencairan dana dihitung sesuai dengan jumlah siswa riil
di sekolah, saat dana turun.
c.
Perubahan jumlah siswa saat pengajuan dan pencairan dana
seperti tersebut di atas menyebabkan terjadinya selisih antara jumlah dana yang
ditransfer oleh Satker PKPS BBM Propinsi dengan realisasi ke sekolah.
c. Ketepatan Waktu
Penilaian atas ketepatan waktu
penyaluran menunjukkan bahwa penyaluran dana BOS dilakukan secara tidak
langsung dari Bank Jatim (rekening Tim Satker PKPS BBM Propinsi) ke rekening
masing-masing sekolah penerima, hal tersebut tidak sesuai dengan perjanjian
kerjasama antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur dengan
Bank Jatim yang seharusnya dilakukan secara langsung, sehingga terjadi
keterlambatan antara 1 hari samapi 7 hari.
4.3 Hasil Penelitian
Berdasarkan pada gambaran umum obyek
penelitian dan evaluasi kinerja program BOS yang telah disajikan di atas, maka
hasil penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1.
Dampak kebijakan bidang pendidikan program BOS tersebut
terhadap aksesibilitas masyarakat untuk memperoleh kesempatan mengenyam
pendidikan dasar dan menengah belum dapat dijelaskan di sini. Hal ini mengingat
bahwa selama ini target group hanya memberikan fasilitas dalam arti bantuan
operasional bagi sekolah, sehingga fasilitas ini hanya dinikmati oleh mereka
atau siswa yang sudah bersekolah. Sementara itu anak usia sekolah atau putus
sekolah belum dapat diakses karena di luar wewenang dari Dinas Pendidikan.
2.
Kebijakan bidang pendidikan di wilayah Gerbangkertosusila
melalui Program BOS diterapkan agar dapat memperluas akses masyarakat dalam
memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan dasar dan menengah sebaiknya Kebijakan
bidang pendidikan di wilayah Gerbangkertosusila melalui Program BOS diterapkan
agar dapat memperluas akses masyarakat dalam memperoleh kesempatan mengenyam
pendidikan dasar dan menengah sebaiknya dapat dilihat evaluasi kinerja program
BOS dengan parameter sebagai berikut:
a.
Penilaian sistem
·
Lingkungan pengendalian menunjukkan bahwa program BPS
dapat dinilai sudah cukup memadai.
·
Penilaian risiko menunjukkan kurangnya pemahaman atas
pentingnya pertanggungjawaban penggunaan BOS dan pelaporannya, selain itu
efektivitas bimbingan teknis atas pertanggungjawaban penggunaan dana yang
dinilai masih kurang
·
Aktivitas pengendalian menunjukkan bahwa masih memiliki
kelemahan terutama dalam hal validasi data siswa yang berakibat tingginya
fluktuasi kekurangan/kelebihan realisasi penyaluran dana BOS pada beberapa
sekolah.
·
Komunikasi dan informasi menunjukkan bahwa masih dijumpai
pengelola dana BOS di sekolah-sekolah yang masih belum sepenuhnya memahami
teknis pengelolaan dana BOS.
·
Monitoring dan pelaporan dalam pelaksanaan program BOS
dinilai sudah cukup memadai.
b.
Penilaian program dan aplikasi
·
Ketepatan sasaran, menunjukkan bahwa pemberian dana BOS
berdampak terhadap pencapaian sasaran dan/atau tujuan yang telah ditetapkan,
yaitu : Sebagian besar sekolah penerima dana BOS telah melaksanakan penurunan/pembebasan
iuran sekolah.
·
Ketapatan jumlah, menunjukkan bahwa dana BOS telah
diterima masing-masing sekolah penerima belum sepenuhnya didasarkan data siswa
yang sebenarnya.
·
Ketepatan waktu menunjukkan bahwa dana BOS yang diterima
masing-masing sekolah penerima terlambat dari jadwal waktu yang telah
ditetapkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa sistem belum berjalan optimal mengingat penilaian risiko, aktivitas
pengendalian dan, komunikasi dan informasi belum efektif, walaupun lingkungan
pengendalian, dan monitoring pelaporan cukup memadai. Program dan aplikasi
dinilai memang memberi manfaat positif dalam arti memberi manfaat bagi orang
tua murid, sekaligus dapat mendorong percepatan program Wajar Dikdas 9 tahun,
namun jumlah dan waktu yang kurang tepat menyebabkan belum tercapainya
pemerataan pendidikan yang sebenarnya.
3.
Langkah-langkah yang seharusnya ditempuh pemerintah untuk
memperluas akses pendidikan bagi masyarakat:
a.
Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan Dinas Sosial
untuk memperoleh data mengenai jumlah anak usia sekolah yang tidak bersekolah
dan anak putus sekolah, sehingga dapat menjaring mereka untuk bersekolah.
b.
Melakukan sosialisasi kepada masyarakat sesuai dengan
data dari Dinas Sosial, sehingga dapat mencapai sasaran yang diinginkan.
c.
Memberi mereka kesempatan untuk dapat bersekolah melalui
program Paket A, B dan C.
Dengan
demikian dapat terjaring mereka anak usia sekolah yang tidak bersekolah dan
putus sekolah untuk dapat mengenyam pendidikan dalam arti memperluas akses pendidikan
bagi masyarakat.
4.4 Analisis Preskriptif
1. Pemberian Subsidi Pada
Daerah Minus dan Berdasarkan Keadilan Distributif
Reformasi
pendidikan di Indonesia memiliki peluang keberhasilan yang cukup baik,
setidaknya hal ini dikarenakan adanya semangat bersama untuk
mendesentralisasikan urusan pendidikan menjadi wewenang daerah. Tetapi yang
harus diwaspadai adalah masih banyaknya daerah kabupaten/kota yang pemerintah
daerahnya masih minim anggaran. Pendapatan Asli Daerah nya masih belum mencukupi
untuk bisa meng-cover biaya pendidikan di daerahnya jika tidak disubsidi secara
khusus dari Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat. Sementara itu pada
kasus-kasus subsidi, betapa anggaran subsidi itu cenderung bermasalah. Kalau
tidak bermasalah karena besarnya, maka bermasalah karena peruntukannya, karena
ketidak adilannya, karena korupnya birokrasi dan lain-lain. Termasuk lemahnya
pendataan tentang siapa yang berhak mendapatg subsidi.
Mekanisme
subsidi dengan konsep BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sebenarnya sama sekali
tidak mencerminkan rasa keadilan dan semangat untuk mendidik. Betapa tidak, BOS
diberikan kepada semua murid di semua sekolah SD tanpa kecuali. Murid SD yang
orang tuanya kaya raya dan sekolah di SD favorit yang super mahal pun harus mendapat
jatah BOS yang sama dengan murid SD yang orang tuanya sangat miskin dan sekolah
di SD pinggiran yang sama sekali tidak diperhitungkan. Karena itu penulis
mengusulkan agar kebijakan desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada
pelayanan dengan semangat menciptakan keadilan distributif, bukan keadilan
komulatif.
2. Perlu Reformasi Birokrasi
Pemda
Perlu ada
peraturan perundangan baru yang mengatur tentang pendidikan anak-anak usia
sekolah dari keluarga miskin yang berada di wilayah pemerintah daerah yang
tidak memiliki kemampuan anggaran berlebih. Sedemikian rupa juga diperlukan
perbaikan (reformasi) birokrasi pemerintah (daerah) yang khusus menangani
sector pendidikan. Targetnya adalah menciptakan hubungan yang harmonis dan
solutif antara Birokrasi-Sekolah-Masyarakat. Memang sekarang hubungan itu
sudah dirintis, tetapi cenderung tidak solutif, karena hubungannya bersifat
formalistic. Dewan pendidikan dan komite sekolah tidak memiliki akses yang
besar untuk memecahkan permasalahan-permaslahan besar di wilayah masing-masing.
Bahkan terhadap permasalahan tingginya angka Drop-Out SD dan SMP, lembaga tersebut
tidak cukup bergigi, apalagi berwibawa.
3. Pemda Perlu Menyusun
Master-Plan Pendidikan dan Dipresentasikan ke
Publik
Akhirnya,
perlu juga dipikirkan untuk membuat peraturan yang mengharuskan semua
pemerintah daerah, yang memiliki kewenangan dan otonom, menyusun masterplan
pendidikan di wilayahnya masing-masing dan dipresentasikan di tingkat propinsi
masing-masing, supaya pemerintah propinsi secara dini sudah bisa mengetahui ke
mana arah kebijakan pendidikan pemda di wilayahnya dan kapan serta bagaimana
keterlibatan pemprov pada perencanaan dan kebijakan pendidikan di daerah
tersebut. Juga hal ini bermanfaat bagi pemerintah daerah yang bersangkutan,
karena dengan saling mengetahui presentasi diantara mereka diharapkan mereka
saling menyempurnakan master-plannya. Selanjutnya pemerintah propinsi menyusun
rencana dan mengidentifikasi factor-faktor lingkungan yang seharusnya dapat
diintervensi agar kondusif dengan kebijakan yang direncanakan.
V. Simpulan dan Saran
Berdasarkan latar belakang dan tujuan masalah
serta hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dampak kebijakan bidang
pendidikan program BOS tersebut terhadap aksesibilitas masyarakat untuk
memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan dasar dan menengah belum dapat
dijelaskan di sini. Hal ini mengingat bahwa selama ini target group hanya
memberikan fasilitas dalam arti bantuan operasional bagi sekolah, sehingga
fasilitas ini hanya dinikmati oleh mereka atau siswa yang sudah bersekolah.
Sementara itu anak usia sekolah atau putus sekolah belum dapat diakses karena
di luar wewenang dari Dinas Pendidikan.
2.
Kebijakan bidang pendidikan di wilayah Gerbangkertosusila
melalui Program BOS diterapkan agar dapat memperluas akses masyarakat dalam
memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan dasar dan menengah sebaiknya dapat
dilihat evaluasi kinerja program BOS dengan parameter sebagai berikut:
a.
Penilaian sistem
·
Lingkungan pengendalian menunjukkan bahwa program BPS
dapat dinilai sudah cukup memadai.
·
Penilaian risiko menunjukkan kurangnya pemahaman atas
pentingnya pertanggungjawaban penggunaan BOS dan pelaporannya, selain itu
efektivitas bimbingan teknis atas pertanggungjawaban penggunaan dana yang
dinilai masih kurang
·
Aktivitas pengendalian menunjukkan bahwa masih memiliki
kelemahan terutama dalam hal validasi data siswa yang berakibat tingginya
fluktuasi kekurangan/kelebihan realisasi penyaluran dana BOS pada beberapa
sekolah.
·
Komunikasi dan informasi menunjukkan bahwa masih dijumpai
pengelola dana BOS di sekolah-sekolah yang masih belum sepenuhnya memahami
teknis pengelolaan dana BOS.
·
Monitoring dan pelaporan dalam pelaksanaan program BOS
dinilai sudah cukup memadai.
b.
Penilaian program dan aplikasi
·
Ketepatan sasaran, menunjukkan bahwa pemberian dana BOS
berdampak terhadap pencapaian sasaran dan/atau tujuan yang telah ditetapkan,
yaitu : Sebagian besar sekolah penerima dana BOS telah melaksanakan
penurunan/pembebasan iuran sekolah.
·
Ketapatan jumlah, menunjukkan bahwa dana BOS telah
diterima masing-masing sekolah penerima belum sepenuhnya didasarkan data siswa
yang sebenarnya.
·
Ketepatan waktu menunjukkan bahwa dana BOS yang diterima
masing-masing sekolah penerima terlambat dari jadwal waktu yang telah
ditetapkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa sistem belum berjalan optimal mengingat penilaian risiko, aktivitas
pengendalian dan, komunikasi dan informasi belum efektif, walaupun lingkungan
pengendalian, dan monitoring pelaporan cukup memadai. Program dan aplikasi
dinilai memang memberi manfaat positif dalam arti memberi manfaat bagi orang
tua murid, sekaligus dapat mendorong percepatan program Wajar Dikdas 9 tahun,
namun jumlah dan waktu yang kurang tepat menyebabkan belum tercapainya
pemerataan pendidikan yang sebenarnya.
3.
Langkah-langkah yang seharusnya ditempuh pemerintah untuk
memperluas akses pendidikan bagi masyarakat:
a.
Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan Dinas Sosial
untuk memperoleh data mengenai jumlah anak usia sekolah yang tidak bersekolah
dan anak putus sekolah, sehingga dapat menjaring mereka untuk bersekolah.
b.
Melakukan sosialisasi kepada masyarakat sesuai dengan
data dari Dinas Sosial, sehingga dapat mencapai sasaran yang diinginkan.
c.
Memberi mereka kesempatan untuk dapat bersekolah melalui
program Paket A, B dan C.
Dengan
demikian dapat terjaring mereka anak usia sekolah yang tidak bersekolah dan
putus sekolah untuk dapat mengenyam pendidikan dalam arti memperluas akses
pendidikan bagi masyarakat.
6.2 Saran
1. Pemberian Subsidi Pada Daerah
Minus dan Berdasarkan Keadilan Distributif
2. Perlu Reformasi Birokrasi Pemda,
yang mengatur tentang pendidikan anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin
yang berada di wilayah pemerintah daerah yang tidak memiliki kemampuan anggaran
berlebih.
3. Pemda Perlu Menyusun Master-Plan Pendidikan dan
Dipresentasikan ke Publik, yang memiliki kewenangan dan otonom, agar kondusif
dengan kebijakan yang direncanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Dye, Thomas R., 1975, Understanding
Public Policy, Prentice-Hall, Englewood Cliff, New York.
Dunn, William N., 1998, Pengantar
Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
------------, 1995, Analisis Kebijakan
Publiik, Hanindita, Graha Widya, Yogyakarta.
Eyestone, Robert, The Threads of
policy: A Study in Policy Leadership, Bobbs Merril, Indianapolis
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
Akhir Masa Jabatan Gubernur Jawa Timur tahun 2003-2008
Lester, James P. & Joseph Stewart,
2000, Public Policy: An Evolutionary Approach, Second Edition, Wadsworth,
Australia.
Winarno, Budi, 2004, Teori dan Proses
Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Media Pressindo, Yogyakarta
Nugroho, Riant D., 2003, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi,
danEvaluasi, Elex Media Komputindo.
www.depdiknas.go.id.
Resume Hasil Pemeriksaan BPK atas Program Wajar 9 tahun pada Dinas Pendidikan
Kota Surabaya tahun anggaran 2005 – 2006
www.semeru.or.id. Pelaksanaan Program BOS tahun 2005
www.semeru.or.id. Kajian Cepat PKPS-BBM bidang Pendidikan BOS
tahun 2005