KERANGKA AWAL TEORI KEPEMIMPINAN
Kerangka teoritis yang paling awal dalam studi ilmiah
kepemimpinan adalah pendekatan karakteristik pemimpin. Dan perspektif ini,
peneliti memusatkan perhatiannya pada penentuan atribut yang membedakan
pemimpin dan bawahannya atau pemimpin efektif dan pemimpin yang tidak efektif.
Kedua, perkembangan signifikan dalam teori kepemimpinan adalah pendekatan
perilaku. Para peneliti yang tertarik dalam perilaku pemimpin memfokuskan
perhatiannya pada uji-coba untuk menemukan gaya kepemimpinan yang efektif dalam
semua situasi (Steers, Porter, and Bigley, 1996).
1. Pendekatan
Karakteristik Pemimpin
Analisis ilmiah kepemimpinan dimulai dengan memfokuskan
pada pemimpin itu sendiri. Secara lebih spesifik, awal konsentrasi
pendekatannya pada atribut phisik, mental, dan sosial yang nampak untuk
membedakan pemimpin dan bawahannya. Teori karakteristik kepemimpinan didasarkan
pada asumsi bahwa seseorang yang disebut pemimpin memiliki keunggulan
karakteristik tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Berdasarkan
perspektif ini, para peneliti membuat hipotesis bahwa pemimpin dapat dibedakan
dan bawahan berdasarkan pada keunggulan atribut pribadinya seperti kecerdasan,
energi, daya ingat, intuisi, dan daya persuasif yang lebih unggul dan tidak
dimiliki oleh orang lain.
Sejumlah besar studi karakteristik yang telah dilakukan
sepanjang dekade tahun 1930an, dan 1940an secara umum dilakukan secara
sederhana, baik secara teoritis maupun metodologis. Contoh, proses penjelasan
keterkaitan karakteristik terhadap berbagai basil yang pada dasarnya tidak
tepat. Kemudian, penggunaan prosedur penelitian yang utama adalah analisis
korelasi. Hal ini, dapat dikatakan bahwa para peneliti dalam memandang
signifikansi keterkaitan antara karakterstik pemimpin dan berbagai indikator
kesuksesannya terlalu sederhana (Steers, Porter, and Bigley, 1996).
Sebagian besar hasil dan penelitian ini ditinjau ulang oleh
Stogdill (1984) yang menguji lebih dan seratus studi empiris tentang atribut pemimpin
yang mencakup 27 karakteristik, dan berpendapat bahwa usaha penelitian
karakteristik adalah sesuatu yang mengecewakan, karena, sejumlah atribut yang
diuji oleh para peneliti hanyalah tingginya kecerdasan yang nampak membedakan
pemimpin dan bawahannya dengan tingkat konsistensi yang minimal. Berdasarkan
dari semua itu, maka konklusinya adalah semua penelitian itu hanya menunjukkan
bahwa pemimpin hanya sedikit Iebih cerdas dan pandai daripada individu lainnya.
Semenjak karakteristik nilai analitis dan perspektif yang
kecil, para peneliti kepemimpinan menggeser tekanan penelitiannya dalam akhir
dekade tahun 1940an dan awal tahun 1950an dan karakteristik pemimpin ke
perilaku pemimpin sebagai dasar analisisnya. Konsekuensinya, teori
karaktersitik pemimpin mengalami keterpurukan dalam tahun tersebut, meskipun
tidak mati (Steers, Porter, and Bigley, 1996). Bahkan, investigasi
karakteristik pemimpin telah menjadi semakin produktif karena para peneliti
telah membangun teori yang lebih tepat, menggunakan ukuran karakteristik yang
lebih baik (karakteristik yang lebih relevan), dan menggunakan dáta
longitudinal (Yuld, 1994). Akibatnya, berbagai atribut personal sèperti tingkat
enerji dan kedewasaan emosi saat ini telah dikaitkan pada keefektifan
kepemimpinan (Bass, 1990). Dan karakteristik dihubungkan dengan sosialisasl
atau pembelajaran pola motivasional, seperti kebutuhan kekuasaan (the need
for power) dan kebutuhan berprestasi (the needfor achievement),
secara empiris telah dihubungkan dengan keefektifan manajer (McClelland, 1975;
McClefland and Boyatzis, 1982; McCleIland and Bumham, 1976). Di samping itu,
tipe keterampilan yang berbeda (keterampilan interpersonal, keterampilan
tehnikal, dan keterampilan kognitif) tampak menjadi relevan untuk kesuksesan
manajerial, serta karakteristik tampak menjadi suatu hal yang penting dalam
kerangka kepemimpinan karismatik dan transformasional (Bass, 1990).
2. Pendekatan Perilaku
Pemimpin
Sampai dengan akhir tahun dekade 1 940an, tampak kegagalan
pendekatan karakteristik untuk mempelajari kepemimpinan, dan sejak saat itu
para peneliti mengadopsi fokus baru dalam kegiatannya sepanjang dekade tahun
1950an. Para peneliti mulai konsentrasi pada perilaku pemimpin sebagai variabel
penjelasan (explanatory variable). Pendekatan ini membandingkan antara
perilaku pemimpin yang efektif dan yang tidak efektif.
Dua proyek penelitian utama melakukan investigasi perilaku
pemimpin dalam waktu yang bersamaan. Satu penelitian dilakukan oleh Ohio State
University di bawah pengarahan Stogdill, Fleishman, Hemphill, dan koleganya.
Sedangkan yang satunya lagi dilakukan oleh University of Michigan di bawah
pengarahan Likert dan koleganya. Kedua proyek tersebut menghasilkan konklusi
yang sama yaitu perilaku kepemimpinan dapat diklasifikasikan ke dalam dua
kategori. Satu kategori berisi perilaku yang berkaitan dengan hubungan
interpersonal, dan kategori yang lain berisi perilaku yang berkaitan dengan
penyelesaian tugas.
1) Studi Kepemimpinan
Ohio State University
Program Ohio State University dilaksanakan dalam akhir
dekade tahun 1940an. Diawali dengan peneliti membangun kuesioner yang dapat
digunakan oleh bawahan untuk menggambarkan perilaku atasan langsungnya. Untuk
membangun instrument ini, para peneliti mengkompilasi kurang lebih 1800 contoh
perilaku kepemimpinan.
Kemudian dari jumlah tersebut dikurangi menjadi 150 item
yang tampak sebagai contoh yang baik dan paling penting. Item ini digunakan
dalam kuesioner yang diatur secara berbeda untuk sampel personil militer dan
sipil. Bawahan berdasarkan kuesioner tersebut memberikan tanggapan terhadap
perilaku atasan Iangsungnya dalam batasan dua kategori dasar yaitu konsiderasi
(consideration) dan struktur inisiatif (initiating structure).
Konsiderasi (consideration) didefinisikan sebagai
tingkat sejauh mana seorang pemimpin menunjukkan perhatiannya, bertindak dalam
gaya yang ramah, dan memberikan dukungan kepada bawahannya. Pemimpin dengan
gaya ini melakukan hubungan dengan bawahannya berdasarkan saling percaya, dan
mereka menghormati ide serta perasaan karyawannya.
Struktur inisiatif (initiating structure)
didefinisikan sebagai tingkat sejauh mana seorang pemimpin mengorganisasikan
dan menyusun pekerjaannya sendiri serta pekerjaan bawahannya. Pemimpin dengan
gaya ini cenderung mengarahkan kepada kelompok melalui perencanaan aktivitas,
penemuan tugas, penjadwalan dan penetapan batas akhir penyelesaian pekerjaan/
tugas.
Studi ini menghasilkan arah pengembangan dan beberapa
kuesioner, dua diantara kuesioner yang paling penting adalah kuesioner
deskripsi perilaku pemimpin (Leader Behavior Description Questionnaire
/LBDQ) dan kuesioner deskripsi perilaku supervisor (Supervisory Behavior
Description Questionnaire /SBDQ).
|
|
Sumber : James S.F. Stoner dan R. Edward Freeman Withelmus
W. Bakowatun dan Benyamin Molan dalam Hadari (2003)
Gambar 2.1
PERILAKU KEPEMIMPINAN HASIL
PENELITIAN UNIVERSITAS
OHIO
2) Studi Kepemimpinan
University of Michigan
Studi Michigan meneliti hubungan antara perilaku pemimpin
dan kinerja kelompok. Para manajer dikiasifikasikan dalam dua kriteria yaitu
relatif efektif dan tidak efektif berdasarkan pada berbagai ukuran sasaran
kinerja kelompok. Memperbandingkan manajer yang efektif dengan yang tidak
efektif, studi Michigan menemukan bahwa para manajer ini dapat dibedakan satu
sama lain ke dalam dua dimensi perilaku pemimpin (Likert, 1961, 1967). Dimensi
itu sama dengan yang ditemukan dalam studi Ohio State yang diberi nama perilaku
ori hubungan (relationship-oriented) dan orientasi tugas (task-oriented).
Perilaku relationship-oriented menunjukkan perilaku
seperti bertindak akrab terhadap bawahañnya, menunjukkan penghargaan atas
kontribusi bawahannya, mengakui apa yang dicapai bawahannya, dan menunjukkan
perhatian terhadap kesejahteraan dan kebutuhan bawahannya. Perilaku
relationship-oriented ini adalah sama dengan dimensi consideration dalam
studi Ohio State University. Sedangkan perilaku task-oriented menunjukkan
pada perilaku seperti perencanaan dan penjadwalan kerja, mengkoordinasikan
aktivitas bawahan, menyediakan supplies serta perlengkapan, dan bantuan
teknis yang diperlukan. Kategori ini, sama dengan dimensi yang disebut initiating
structure oleh para peneliti Ohio State.
3) Evaluasi Terhadap
Pendekatan Perilaku Pemimpin
Banyak usaha memasukkan pekerjaan dalam kategori orientasi
tugas (atau stmktur inisiatif dan orientasi hubungan (atau konsiderasi)
perilaku pemiinpin telah dihasilkan oleh pam peneliti menggunakan pendekatan
Ohio State. Secara empiris dukungan untuk dampak dan dimensi perilaku
kepemimpinan konsiderasi (consideration) dan struktur inisiatif (initiating
structure) tidak terlalu kuat. Bawahan cenderung lebih puas bila pemimpin
berperilaku konsiderasi (consideration) (Fleishmen and Harris, 1962).
Program riset memberikan terlalu sedikit perhatian terhadap
dampak situasi pada perilaku kepemimpinan dan/atau keefektifan pemimpin.
Meskipun interaksi antara pemimpin dan bawahannya dipertimbangkan secara
hati-hati, perbedaan situasi yang mungkin mempengaruhi keefektifan pemimpin
tidak cukup diuji. Perbedaan situasi, atau contingencies. baru
ditekankan dalam penelitian pada awal tahun 1960.
Setelah pendekatan karakteristik dan perilaku gagal sebagai
teori untuk memahami kompleksitas kepemimpinan, perhatian beralih pada aspek
situasional kepemimpinan. Para peneliti memandang situasi sebagai variabel yang
dapat dimasukkan dalam karaktenstik dan perilaku pemimpin untuk menjadikannya
efektif didalam kelompok kerjanya atau di dalam konteks organisasional.
Beberapa pendekatan contingency pada kepemimpinan dapat
diidentifikasikan. Tiga diantaranya adalah sebagai berikut : (1) Fiedler’s contingency
model, (2) House’s path-goal theory, dan (3) Vroom, Yetton, and
Jago’s normative decision model of leadership.
1. Model Kemungkinan
Fiedler’s (Fiedler’s Contingency Model)
Teori kemungkinan kepemimpinan merupakan teori kepemimpinan
yang berdasar pada anggapan bahwa kepemimpiman seseorang ditentukan oleh
berbagai faktor situasional dan saling bergantungan satu sama lainnya (Nimran,
1997). Model kemungkinan menyeluruh yang pertama untuk kepemimpinan
dikembangkan oleh Fred Fiedler yang mengemukakan bahwa kinerja kelompok yang
efektif tergantung pada pandangan yang tepat antara gaya interaksi dan si
pemimpin dan bawahannya serta sampai tingkat mana situasi memberikan kendali
dan pengaruh pada si pemimpin.
Fiedler (1964, 1967) dan koleganya pertama kali
mengembangkan model kepemimpinan situasional secara jelas. Teorinya berisi tiga
tipe variabel: (1) variabel orientasi pen-limpin yang juga disebut least
preferred coworker (LPC), (2) variabel kompleksitas situasi, yang juga disebut
situation favorability; (3) variabel berbagai kritena hasil kinerja kelompok
atau keefektifan. Fiedler berpendapat bahwa kinerja kelompok tergantung pada
interaksi dan leader orientation dan situation faforability.
Leader orientation, Fiedler (1964, 1967) membedakan dua
dasar orientasi pemimpin: (1) orientasi hubungan (pusat perhatiannya pada
orang), dan (2) orientasi tugas (J)usat perhatiannya pada penyelesaian tugas
sebagai sesuatu yang paling penting). Teknik operasional yang dikembangkan oleh
Fiedler untuk mengukur onientasi kepemimpinan patut diperhatikan. Onientasi
kepemimpinan diukur dengan skala LPC (misalnya: akrab-tidak akrab, dapat
dipercaya-tidak dapat dipercaya, dapat bekerjasama-tidak dapat bekerjasama).
Skor LPC adalah jumlah dan penilaian pada semua skala tersebut. Skor LPC yang
tinggi mengindikasikan relationship-oriented leader, sedangkan bila skor
LPC nya rendah mengidentifakasikan task-oriented leader.
Situation favorability. Keefektifan atau kinerja kelompok
tergantung pada interaksi antara skor LPC pemimpin dan situation favorability.
Fiedler mendefinisikan favorability sebagai situasi tingkat pengendalian
yang dapat dilakukan pemimpin terhadap bawahannya. Favorability dalam
batasan tiga aspek situasi kerja: (1) leader-member relation. Ini
menunjukkan tmgkat loyalitas, kepercayaan, dan rasa hormat yang dimiliki
bawahan terhadap pemimpinnya; (2) task structure. Ini menunjukkan sejauh
mana hubungan tugas dan tujuan dapat dispesifikasikan, permasalahan dapat
diatasi dengan prosedur, keputusan yang baik dapat dibuktikan, dan seterusnya.
Semakin terstrukturnya tugas, semakin mudah bagi pemimpin mengatakari kepada
anggota kelompok bagamiana melaksanakan tugas tersebut; 3) postion power. Ini
menunjukkan tingkat wewenang yang dimiliki pemimipin untuk mengevaluasi kinerja
bawahannya dan untuk mengatur reward dan panishment. Semakin
besar reward dan panishment yang dapat digunakan oleh pemimpin,
semakin besar pengaruh yang dimiliki pemimpin.
Kombinasi dari ketiga faktor tersebut, menentukan tingkat
pengendalian pemimpin terhadap situasi kerja. Perbedaan dan ketiga faktor ini,
menghasilkan delapan situasi kepemimpinan (Gambar 2.2). Gambar tersebut
menunjukkan bahwa leader-member relation adalah baik pada situasi 1
sampai dengan 4 atau buruk pada situasi 5 sampai dengan 8; task structure
diklasifikasikan tinggi pada situasi 1, 2, 5, 6 atau rendah pada situasi 3, 4,
7, 8; dan leader position power dinilai kuat pada situasi 1, 3, 5, 7
atau Iemah pada posisi 2, 4, 6, 8.
Situasi yang favorableness dan sudut pandang
pemimpin, adalah tinggi dalam situasi 1 (saat leader-member relation
baik, saat task structure tinggi, dan saat position power-nya
kuat) dan rendah dalam situasi 8 (saat leader-member relation buruk,
saat task structure rendah, dan saat position power nya Iemah).
Situasi 1 menunjukkan pemimpin dalam posisi superior untuk mempengaruhi
kelompok, dan sebaliknya pada situasi 8.
Mengkombinasikan situation favorableness dengan skor
LPC, Fiedler melakukan pengujian korelasi antara skor LPC dan kinerja kelompok
pada setiap situasi. Hasil analisisnya menujukkan bahwa pemimpin dengan LPC
yang rendah (task-oriented) akan lebih efektif dalam memfasilitasi
kinerja kelompok bila situasinya berada pada posisi highly favorable
atau highly unfavorable (berada di salah satu ujung kontinum yang tampak
pada gambar 2.2). Mengacu pada pendapat Fiedler, jika situasinya adalah highly
favorable (setiap orang di dalamnya menerima tugas yang je!as, dan pemimpin
memiliki power), maka kelompok tersebut hanya membutuhkan seseorang untuk
mengarahkannya (dalam hal ini pemimpin dengan LPC yang rendah). Sedangkan, jika
situasinya adalah highly unfavorable, maka kelompok tersebut memerlukan
pemimpin dengan LPC yang rendah untuk mengimbangi power dan kelompok dan
memberikan pengarahan dalam lingkungan tugas yang ambigu.
Pemimpin dengan LPC Yang tinggi akan lebih efektif dalam
memfasilitasi kinerja kelompok bila situasinya moderately unfavorable
atau
moderately
unfavorable (berada di antara ke dua ujung kotinum).
Sumber : Mode!
Fiedler (dalam Stephen P. Robbins, 1998: 48).
Gambar 2.2
MODEL KEPEMIMPINAN FIEDLER
2) Evaluasi Model
Fiedler’s
Teori dan penelitian Fiedler, mendapatkan beberapa kritik
hingga lebih dari tiga dekade. Beberapa kritik yang paling penting adalah
sebagai berikut: (1) Graen et a!. (1971) berpendapat bahwa penelitian
pendukung model tersebut adalah lemah, studi-studi empiris yang dilakukan oleh
para peneliti tidak berkaitan dengan pengujian Fiedler. Di dalam banyak kasus,
meskipun korelasinya mungkin dalam arah yang benar, tetapi gagal mencapai
signifikansi secara statistik; (2) Skala LPC dikritik sebagai instrumen yang
tidak valid untuk mengukur orientasi kepemimpinan atau gaya (Schriesheim and
Kerr, 1977; Scbriesheim, Bannister and Money, 1979). Sebagai buktinya, para
mahasiswa melihat kenyataan bahwa Fiedler telah mengubah interpretasinya
terhadap skor LPC dalam gaya yang sedikit sewenang-wenang. Meskipun para
peneliti masih tetap memperdebatkan pengertiannya. Mengacu pada Fiedler’s
(1978) yang menginterpretasikan bahwa skor LPC mengindikasikan hirarkhi motif
pemimpin. Rice’s (1978) melakukan review riset pada skor LPC berpendapat
bahwa data Iebih baik sebagai pendukung interpretasi value-affitude
daripada interpretasi hirarkhi motif orientasi kepemimpinan (Yukl, 1994); (3)
pengukuran situasi mendapatkan kritik karena tidak diperlakukan sebagai
variabel independen dalam skor LPC pemimpin (Kerr and Harlan, 1973). Di dalam
banyak kasus, pemimpin diberikan skor LPC dan leader-member relation.
Meskipun keduanya mungkin dapat saling mengaburkan penilaian; (4) Di dalam
banyak situasi keija, tugas mungkin dapat diganti oleh pemimpin. OIeh karena
itu, tugas tidak secara. keseluruhan merupakan independen variabel di dalam
model.
Sebagai hasil dan kritik tersebut adalah menurunnya
perhatian dan minat pada teori kepemimpinan situasi (contingency) dan
Fiedler ini. Meskipun demikian, teori ini menjadi pusat ide bahwa dampak
pemimpin pada kinerja kelompok tergantung pada sejauh mana daya tahannya
terhadap pengaruh dan faktor-faktor situational contingency. Walaupun,
saat ini banyak pendekatan kepemimpinan yang lebih populer dan mungkin lebih sophisticated
daripada model Fiedler (pendekatan tersebut terdiri dan variabel-variabel yang
lebih relevan, atau mencakup komponen-komponen pengukuran model yang lebih
baik), tetapi hampir semuanya mengakui perannya untuk menganalis secara
sistematis elemen-elemen situasional dalam menentukan penyebab keefektifan
pemimpin.
House’s (1971; House and Dessler, 1974) mengatakan bahwa
teori kepemimpinan path goal dibangun secara kuat pada model motivasi
kerja harapan/valensi (ecpectancy/valency model of work motivation) dan
menekankan pada cara pemimpin dapat memfasilitasi kinerja pelaksanaan tugas
dengan menunjukkan kepada bawahan bagaimana kinerja dapat digunakan sebagai
instrumen dalam mencapai penghargaan (reward) yang diingirikan. Secara
lebih spesifik, teori House berpendapat bahwa kepuasan dan kinerja bawahan
tergantung pada harapan dan valensinya yang ditentukan oleh perilaku atau gaya
pemimpinnya. Selanjutnya, harapan dan valensi bawahan juga dipengaruhi oleh dua
variabel situasi (contingency) dasar yaitu: karaktersitik bawahan dan
karaktersitik lingkungan yang dihadapi oleh bawahan. Kedua variabel situasi ini
memoderatkan hubungan antara perilaku pemimpin dan kepuasan serta kinerja
bawahan. Hubungan diantara variabel tersebut tampak dalam Gambar 2- 1.
Perilaku pemimpin atau, gaya kepemimpinan. Versi onsinil
teori path-goal dari House (1971) hanya berisi dua fungsi pemimpin: (1)
pemimpin membantu bawahan memahami tipe perilaku yang diperlukan untuk mencapai
tujuan dan menghasilkan reward, (2) meningkatkan ketersediaan reward
untuk bawahan melalui dukungan dan perhatiannya pada kesejahteraan bawahannya.
Didalam teori versi yang baru (House and Dessler, 1974),
model path-goal mengidentifikasikan secara jelas empat tipe perilaku
pemimpin: (1) supportive leadership. Pemimpin dengan gaya ini
menunjukkan perhatiannya pada kesejahteraan dan kebutuhan pnbadi bawahannya.
Pemimpin ini berusaha untuk mengembangkan kepuasan hubungan interpersonal
diantara anggota kelompok dan menciptakan iklim keakraban didalam kelompok
keija. Perilaku kategori ini adalah sama dengan dimensi consideration dalam
program penelitian Ohio State; (2) directive Leadership. Pemimpin dengan
gaya ini menyediakan pedoman spesifik untuk bawahannya melalui penentuan
standar kinerja, enjadwalan dan koordinasi pelaksanaan pekerjaan, dan
mengatakan kepada bawahannya untuk mengikuti prinsip-prinsip dan peraturan,
yang telah ditetapkan. Pemimpin dengan gaya ini membiarkan bawahan mengetahui
tentang apa yang diharapkan darinya. Perilaku kategori ini sama dengan dimensi initiating
structure dalam program penelitian Ohio State; (3) achievement-oriented
leadership. Gaya kepemimpinan ini melibatkan penetapan tujuan yang
menantang, mencari perbaikan kinerja, menekankan pada kinerja yang baik (excellence),
dan menunjukkan kepercaaannya bahwa bawahan akan dapat mencapai kinerja pada
tingkat yang tinggi; (4) participative leadership. Pemimpin dengan gaya
ini mencari pendapat dan saran dan bawahannya serta mengambil informasi ini
sebagai salah satu pertimbangannya saat mengambil keputusan.
Harapan dan valensi bawahan. Sebagaimana diindikasikan di
atas, komponen sentral dan House path-goal theory adalah expectaney
theory of work motivation. Mengacu pada expectancy models, karyawan
membuat keputusan secara sadar dan rasional tentang perilaku kerja mereka.
Mereka akan memilih tugas yang menarik bagi dirinya dan yakin dapat
melaksanakan. Daya tank suatu tugas tergantung pada sejauh mana karyawan
berfikir tentang pencapaian tujuan dan tugas tersebut akan mengarahkannya pada
hasil yang bernilai bagi dirinya. Pengaruh perilaku pemimpin adalah pada
modifikasi persepsi bawahan dalam menghargai nilai hasil yang dapat dicapai dan
pada probabilitas untuk mencapainya.
Karakteristik bawahan. Karaktenstik bawahan adalah satu set
variabel situasi yang mempengaruhi hubungan antara perilaku pemimpin dan
variabel hasil berupa kepuasan (satisfacfion) dan upaya (effort)
bawahan. Dengan kata lain, karakteristik pribadi karyawan itu sendiri
menentukan bagaimana mereka akan bereaksi terhadap perilaku pemimpin. Contoh,
karyawan yang memiliki internal locus of control (misalnya, percaya
bahwa keseluruhan reward yang akan diterima ditentukan oleh usahanya
sendiri) mungkin akan Iebih puas dengan gaya kepemimpinan partisipatif, sedangkan
karyawan yang memiliki external locus of control (misalnya, percaya
bahwa reward yang akan diterima adalah di luar kontrolnya) mungkin akan
lebih puas dengan gaya kepemimpinan directive. Contoh lainnya, karyawan
dengan kebutuhan untuk dapat diterima dan afiliasi yang kuat akan mendapatkan
kepuasan atas kebutuhannya tersebut dari gaya kepemimpinan supportive,
sedangkan karyawan dengan kebutuhan otonomi yang kuat akan lebih termotivasi
oleh gaya kepemimpinan participative daripada supportive. Pada
individu yang merasa bahwa ia memiliki kemampuan yang sangat sesuai dengan
tugasnya, maka ia tidak akan menanggapi secara baik terhadap perilaku gaya
kepemimpinan directive; dan ia akan lebih menyukai gaya kepemimpinan achievement-oriented.
Faktor-faktor lingkungan. Faktor-faktor lingkungan
adalah variabel situasi lainnya yang mempengruhi hubungan antara gaya pemimpin
dan hasil. Di dalam teori mi, terdapat tiga kategori faktor: tugas, sistem
wewenang formal organisasi, dan kelompok kerja. Variabel-variabel dalam
kategori ini dapat berfungsi memotivasi atau mendesak bawahan. Contoh,
pekerjaan yang secara intrinsik memuaskan mungkin dapat memotivasi bawahan.
Tetapi disisi yang lain, karakteristik teknologi dan tugas, seperti bagian
perakitan, mungkin mendesak variabilitas perilaku, atau kelompok kerja mungkin
memotivasi bawahan dengan memberikan penghargaan kepada individu yang paling
besar membantu kelompok tersebut mencapai sasaran pelaksanaan tugas.
Mengacu pada teori path-goal, variabel-variabel yang
digambarkan diatas berinteraksi untuk menentukan kepuasan dan usaha karyawan.
Contoh, jika tugasnya tidak terstruktur, jika bawahan tidak berpengalaman, dan
jika hanya terdapat sedikit peraturan dan prosedur formal untuk pedoman
pelaksanaan kerja, maka penggunaan gaya kepemimpinan directive dalam
situasi yang demikian itu mungkin yang paling efektif untuk memotivasi
karyawan, dan menghasilkan kepuasan serta usaha bawahan yang tinggi.
Sebaliknya, jika tugas itu merupakan tugas rutin dan membosankan, jika bawahan
telah berpengalaman, dan jika terdapat banyak aturan dan prosedur formal yang
ada untuk mengarahkan pelaksanaan kerja, maka penggunaan gaya kepemimpinan supportive
mungkin yang paling efektif.
Sumber : Debra L. Nelson Nelson & James Cambell
Quick, Organinizalional Behavior: Foundations, Realities, and Challenges
(New York. West Publishing Company, 1997)
Gambar 2.3
KOMPONEN-KOMPONEN MODEL PATH-GOAL
1. Evaluasi Teori
Path-Goal
Penelitian empiris yang didesain untuk menguji teori path-goal
menunjukkan kencenderungan untuk fokus pada dimensi kepemimpinan supportive
dan directive (Szilagyi and Wallace, 1990). Penelitian secara umum
mendukung bahwa posisi perilaku kepemimpinan directive lebih efektif
pada tugas-tugas yang ambigu dan tidak terstruktur (House and Dessler, 1974;
House and Nlitchell, 1974; Filley, House, and Kerr, 1976). Lebih jauh lagi,
fakta-fakta yang ada tampak juga mendukung hipotesis bahwa perilaku supportive
lebih memberikan manfaat untuk tugas-tugas yang tidak terstruktur (1-louse and
Dessler, 1974; House and Mitchell, 1974; Filley, House, and Kerr, 1976).
Sejumlah kecil studi telah dilakukan untuk menguji hipotesis tentang
kepemimpinan participative dan achievement-oriented, dan beberapa
hasilnya mendukung hipotesis (lndvik, 1986).
Meskipun hasil dan penelitian empiris pengujian teori path-goal
telah menunjukkan sebagai sesuatu yang menjanjikan, tetapi banyak dari
penemuannya menimbulkan pertanyaan karena teori itu sendiri mengandung beberapa
kekurangan. Contoh, teori tersebut tidak menunjukkan bagaimana pengaruhnya jika
variabel situasi yang berbeda saling berinteraksi (Osborn, 1974). Tambahan
pula, teori tersebut mempertimbangkan pengaruh empat perilaku kepemimpinan
secara sendiri-sendiri, meskipun terdapat kemungkinan terjadinya interaksi di
antaranya (Yukl, 1994). Model path-goal dibatasi oleh kekuarangan secara
teoritis dan expectancy model of work inotivation yang mendasarinya
(Scbriesheim and Kerr, 1977). Teori expectancy telah mendapatkan kecaman
dan selain model penelitian rasional (rational choice model), untuk
mempresentasikan keterlibatan faktor-faktor yang tidak realistik dalam proses
pengambilan keputusan oleh manusia. Beberapa studi yang berusaha menguji teori
tersebut berpendapat bahwa teori tersebut mengandung berbagai masalah
metodologi.
Walaupun dikritik, bagaimanapun teori path-goal
dan House telah memberikan kontribusi yang signifikan pada topik
kepemimpinan karena pendapatnya tentang pentingnya variabel perilaku
kepemimpinan dan situasi yang hams dipertimbangkan didalam setiap organisasi.
Lebih lanjut, sebagaimana teori Fiedler, model House ini menekankan
bahwa hubungan antara pemimpin dan bawahannya tidak terjadi di ruang hampa.
Para peneliti dan manajer jelas perlu untuk mempertimbangkan faktor- faktor
situasional sebelum mereka dapat memprediksi pengaruh spesifik perilaku
pemimpin pada kepuasan dan kinerja bawahannya.
Vroom, Yetton, and Jago (dalam Heru, 2002: 39)
mengembangkan model kepemimpinan yang menekankan pada peran yang dimainkan
pemimpin dalam mengambil keputusan. Pada dasarnya, model ini memfokuskan pada
sejauh mana karyawan diijinkan untuk berpartisipasi dalam mengambilan
keputusan. Mengacu pada model ini, prosedur pengambilan keputusan yang digunakan
oleh pemimpin mempengaruhi keefektifan keputusan melewati semua variabel intervening.
Tiga diantaranya adalah decision quality, decision acceptance, dan decision
timeliness.
1) Decision
quality.
Kualitas keputusan akan tinggi bila
dipilih alternatif yang terbaik, apapun dampaknya yang mungkin berkaitan dengan
diterimanya keputusan tersebut oleh bawahan. Dimensi kualitas merupakan
pertimbangan utama saat suatu keputusan adalah penting untuk memfasilitasi
kinerja kelompok dan saat adanya variasi yang signifikan di antara alternatif,
contoh; keputusan tentang di mana akan ditempatkan pendingin air di pabrik
tidaklah memerlukan kualitas keputusan yang tinggi, sedangkan keputusan yang
bertujuan pada kinerja memerlukan kualitas keputusan yang tinggi.
2) Decision
acceptance.
Decision
acceptance adalah penting bila keputusan memiliki implikasi bagi motivasi keda
bawahan dan bila keputusan akan diimplementasikan oleh bawahan. Beberapa
keputusan tidak perlu persetujuan kelompok untuk dapat sukses dalam
mengiimplementasikan (misalnya, keputusan mengenai apa warna karpet yang akan
digunakan pada lantai kantor), sedangkan yang lain harus dapat
diterima/disetujui oleh anggota kelompok untuk sukses dalam pelaksanaannya
(misalnya, penelitian strategi untuk meningkatkan penjualan).
3) Decision
fimeliness.
Decision
fimeliness adalah penting untuk dipertimbangkan kapan saja ada keterbatasan waktu
dalam pengambilan keputusan. Contoh, beberapa keputusan dapat dibuat pada
pertimbangan kelompok kerja (misalnya, apakah yang perlu diubah berkaitan
dengan laporan sekretaris ), sedangkan yang lain dapat menuntut segera adanya
tindakan (misalnya, apakah untuk memperkenalkan produk baru dilakukan dalam
kuartal berikutnya).
Gaya pemimpin mengambil keputusan. Model Vroom, Yetton, and
Jago berpendapat bahwa pemimpin dengan banyak bawahan memiliki lima gaya utama
pengambilan keputusan atau prosedur yang tersedia untuk dirinya. Lebih jauh,
pendekatan ini berpendapat bahwa lima gaya itu dapat ditempatkan pada kontinum
disatu sisi prosedur yang sangat otokratik (disebut “AI”) dan disisi lainnya
prosedur yang sangat partisipatif (disebut “All”). Mengacu pada Vroorn and
Yatton (1973), lima gaya pengambilan keputusan itu adalah sebagai berikut: (1)
manajer mengambil keputusan atau mengatasi masalah sendiri dan hanya
menggunakan informasi yang tersedia untuknya pada saat itu (Al), (2) manajer
meminta informasi dan bawahannya tetapi mengambil keputusan sendiri, bawahan
hanya berfungsi sebagai sumber informasi (All); (3) manajer berbagai masalah
dengan bawahan yang relevant secara individual, menerima ide dan
pendapatnya, tanpa mendudukannya menjadi satu kelompok, kemudian manajer
mengambil keputusan sendiri. Keputusannya mungkin mencerminkan atau tidak
mencerminkan pengaruh dan bawahannya (CI); (4) manajer dan bawaban bertentu
sebagai kelompok untuk mendiskusikan masalah, tetapi manajer yang mengambil
keputusan. Keputusannya mungkin menceminkan atau tidak mencerminkan pengaruh
dan bawahannya (CII); (5) manajer dan bawahan bertemu sebagai kelompok untuk
mendiskusikan masalah, dan kelompok yang mengambil keputusan. Manajer dan
bawahannya mencari dan mengevaluasi altematif secara bersama. Kemudian mereka
berusaha untuk mencapai kesepakatan (konsensus) tentang solusinya. Manajer
menerima, dan melaksanakan setiap solusi yang didukung oleh seluruh
kelompoknya.
1. Menggunakan Model
Normatif
Model kepemimpinan keputusan normatif dan Vroom, Yetton,
and Jago menyediakan alat untuk membantu pemimpin untuk memilih gaya
pengambilan keputusan yang efektif yang disebut dicision three. Proses
pengambilan keputusan memerlukan jawaban dan serangkaian pertanyaan tentang
karakteristik dan suatu permasalahan. Setelah seorang pemimpin bekerja dengan
menggunakan. decision three, kemudian memilih gaya yang paling tepat
untuk situasi yang ada.
OR (Quality Requiriment) Sejauh
mana arti pentingnya kualitas tehnis keputusan
CR (Commitment Requirimentt) Sejauh
mana arti pentingnya komitmen bawahan
pada keputusan
LI (Leader’s
Information): Apakah
anda memiliki cukup informasi untuk mengambil keputusan yang berkualitas
tinggi?
ST (Problemi
Structure) Apakah
masalahnya terstruktur dengan baik?
CP (Commitmentt
Probability): Jika
anda mengambil keputusan sendiri, apakah pasti layak bagi anda yang akan
menjalankan keputusan tersebut?
GC (Goal
Congurence): Apakah
bawahan memberikan andil pada tujuan organisasional yang akan dicapai dalam
mengatasi masalah?
CO (Subordinate
Conflict): Is
conflict among subordinate over prefered solution likely
SI (Subordinate
Information): Apakah
bawahan memiliki cukup informasi untuk mengambil keputusan berkultas tinggi?
2. Evaluasi Model Vroom,
Yetton, Jago
Sejak pertama kali model kepemimpinan pengambilan keputusan
normative diperkenalkan oleh Vroom and Yetton dalam tahun 1973, sejumlah
studi telah dilakukan untuk mengujinya. Secara umum, hasil dan penelitian
empiris adalah mendukung (Field, Read and Louviere, 1990; Fieald, Wedly and
Hayward, 1989). Meskipun demikian, revisi versi model tetap dilakukan (Vroom
and Jago, 1988)
Model tersebut memiliki beberapa keterbatasan yang harus
dicatat. Contoh, model menganggap proses pengambilan keputusan sebagai hasil
dan sesuatu yang tunggal, discrete episode. Meskipun banyak keputusan
penting biasanya memerlukan pertemuan yang lebih dan satu kali dengan berbagai
ke!ompok yang sama pada waktu yang berbeda dan dengan perubahan lingkungan yang
mengelilinginya (Yuld, 1994). Bahkan, model menggunakan asumsi yang salah bahwa
semua pemimpin cukup terampil untuk menggunakan setiap prosedur pengambilan
keputusan (Crouch and Yetton, 1987; Field, 1979).
Menurut Steers (1996), kerangka karakteristik pemimpin,
perilaku pemimpin, dan contigency, atau teori-teori kepemimpinan tersebut
telah mendapatkan kritikan yang serius. Hal ini, termasuk sebagian besar
teori-teori kepemimpinan lainnya yang secara konsep dan metodologinya sangat
kurang, dan semuanya secara empiris sangat kurang mendapatkan dukungan yang
konsisten. Bahkan, setelah Iebih dari setengah abad para peneliti ilmiah tetap
tidak menemukan kesepakatan berkenaan dengan konsep umum dan keseluruhan proses
kepemimpinan. Meskipun demikian, karena pentingnya kepemimpinan bagi organisasi
untuk menanggulangi peningkatan pergolakan lingkungan yang terjadi, para
peneliti tetap berusaha keras untuk menciptakan pendekatan yang mantap.
Munculnya pendekatan baru pada kepemimpinan merepresentasikan pergeseran
paradigma dan pendekatan transaksional ke pendekatan pertukaran pemimpin-anggota
(leader member exchange/LMX), karismatik, dan transformasional (Metcalfe
and Metcalfe,2000).
Leader-member exchange (LMX) sebelumnya disebut sebagai “vertical
dyad linkage theory” (Dansereau, Graen, and Hage, 1975). Menurut Dansereau,
Graen, and Hage (1975), model ini fokus pada proses saling mempengaruhi dalam
hubungan antara pemimpin dan bawahan. Menurut teori ini, pemimpin tidak
memperlakukan semua bawahannya secara sama. Pada waktu tertentu, pemimpin
menciptakan hubungan interpersonal yang dekat dengan beberapa bawahannya
(disebut “in-group” tetapi pada waktu yang sama membiarkan dirinya jauh
dan bawahannya yang lain (disebut “out-group”). Para anggota in-group
melakukan hubungan dengan atasannya didasari oleh rasa percaya, setia, dan
senasib. Individu-individu ini berfungsi sebagai asisten atau penasehat
pimpinannya. Para anggota out-group tidak memiliki hubungan seperti itu
terhadap pemimpinnya. Konsekuensinya, mereka cenderung keluar dan pengambilan
keputusan atau aktivitas-aktivitas penting. Meskipun hal itu tidak selalu jelas
mengapa terjadi hubungan yang berbeda, tetapi mereka tampak jelas keberadaannya
dalam hubungan pemimpin dan bawahannya.
1. Evaluasi Teori LMX
Yukl (1994) mengatakan bahwa teori LMX perlu pengembangan
lebih lanjut, terutama yang berkaitan dengan keefektifan kepemimpinan karena
teori ini tetap saja lebih merupakan deskriptif daripada perspektif. Teori ini
menggambarkan spesifikasi tipe peran yang diambil dalam proses hubungan antara
pemimpin dan bawahannya, tetapi teori ini tidak memberikan pendapat tentang
seperti apa pola pertukaran yang optimal antara pemimpin dan bawahannya bagi
keefektifan kepemimpinannya. Selanjutnya, teori ini tidak melihat adanya
potensi pemimpin yang dapat menciptakan hubungan pertukaran khusus dengan semua
anggota kelompok bawahannya dan semua hubungan tersebut masing-masing berbeda.
Contoh, pemimpin mungkin mendelegasikan kepada beberapa bawahannya sementara
tetap memelihara hubungan, perhatian, dan kepercayaan yang sama dengan
bawahannya yang lain.
Karisma dalam pengertian bahasa Yunani adalah divinely
inspired gift, seperti kemampuan untuk melakukan keajaiban (Steers, Porter,
and Bigly, 1996). Weber (1947), menggunakan pengertian tersebut untuk
menggambarkan kekuatan atau pengaruh yang mendasari persepsi bawahan bahwa
seorang pemimpin diberkahi dengan kualitas kepribadian yang istimewa. Dua
diantara teori-teori kepemimpinan karismatik adalah teori kepemimpinan karismatik
House (1977), dan teori kepemimpinan karismatik Conger and Kanungo (1987).
1. Teori Kepemimpinan
Karismatik House
Teori kepemimpinan karismatik House (1977) mengembangkan
proposisi pengujian yang berkenaan dengan pengidentifikasian karakteristik
pemimpin karismatik, perilaku yang dijalankan oleh pemimpin karismatik, dan
kondisi yang muncul di bawah kepemimpman karismatik. Berkenaan dengan
karakteristiknya, House berpendapat bahwa pemimpin karismatik memiliki need
for power yang kuat, percaya diri yang tinggi, dan strong conviction in
their own beliefs. Dan berkenaan dengan perilakunya, House berpendapat
bahwa memimpin karismatik menggunakan manajemen pengaruh (impression)
untuk meningkatkan dukungan bawahannya terhadap keputusan yang dibuatnya, untuk
mengartikulasikan visinya, untuk membuat model perilaku yang diinginkan dan
membuat bawahannya kagum serta mengidentikkan dengannya, untuk
mengkomunikasikan harapannya yang tinggi mendorong bawahannya menetapkan tujuan
kinerja yang tinggi dan menjadikannya lebih bertanggung-jawab kepada
pimpinannya, dan untuk bertindak dalam cara yang dapat menimbulkan motif yang
relevan dengan misi kelompok. Serta yang berkenaan dengan kondisi, pemimpin
karismatik mampu untuk merumuskan peran tugas sebagai suatu ideologi bagi bawahannya.
House (1977) berpendapat bahwa identifikasi
karakteristik pemimpin, perilaku pemimpin dan karakteristik situasi yang ada
dalam kepemimpinan karismatik adalah penting karena, tipe pemimpin ini memiliki
pengaruh yang luar biasa pada bawahannya. Bawahan dan pemimpin karismatik
umumnya menerima pemimpin dan pandangan-pandangannya tanpa mempertanyakan.
Mereka menyayangi dan mematuhinya, dan mereka merasa terlibat dalam misi
kelompok atau organisasi secara emosional. Mereka yakin bahwa mereka memiliki kemampuan
untuk memberikan kontribusi pada tujuan organisasi, dan mereka menetapkan
tujuan kinerja yang tinggi untuk dirinya sendiri.
2. Teori Kepemimpinan
Karismatik Conger dan Kanungo
Conger dan Knungo (1987) berpendapat bahwa kepemimpinan
karismatik esensinya adalah atribusi dan bawahan. Oleh karena itu, teoritisi
ini menekankan perhatiannya pada pengidentifikasian variabel-variabel yang
dihasilkan dalam atribusi. Mengacu pada teori ini, pemimpin yang memiliki visi
ke depan yang radikal (tetapi tetap di dalam bidang yang dapat diterima oleh
bawahan) Iebih diterima, sebagai karismatik. Dan pemimpin yang bertindak tidak
konvensional atau tidak ortodoks dalam mencapai visinya Iebih dipandang sebagai
karismatik oleh bawahannya. Bawahan lebih suka memberikan atribut karisma
kepada pemimpin yang mau mengorbankan dirinya dan mengambil risiko pribadi
daripada pemimpin yang tidak mau melakukannya. Karisma lebih suka diberikan
sebagai atribut pada pemimpin yang menggunakan persuasi pribadi untuk
mendapatkan komitmen dan bawahan dalam pelaksanaan pekerjaan baru daripada
pemimpin yang menggunakan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan atau
wewenang formal. Pemimpin yang mengajukan proposalnya dengan penuh keyakinan
lebih dipandang sebagai karismatik daripada pemimpin yang tampak tidak yakin.
Teori ini berpendapat bahwa perilaku pemimpin mempengaruhi atribusi bawahan
melalui pengaruh proses pengidentifikasian pribadi (berdasarkan pada keinginan
bawahan yang menyenangi dan mengagumi pemimpin) dan internalisasi (memasukan
nilai-nilai ke dalam jiwa atau hati bawahan), khususnya jika bawahan tidak puas
dengan status quo.
1) Evaluasi kepeminipinan
karismatik
Pendekatan ini sepertinya merupakan teori yang tidak mudah
diuji dengan metoda riset konvensional. Meskipun demikian, teori ini tampak
memberikan kontribusi pada pemahaman kita tentang kepemimpinan dalam lingkungan
kerja, teori ini secara keseluruhan berusaha menggambarkan tingkat
pengaruh/kinerja, teori ini melibatkan atribut emosional individu (Steers,
Porter, and Bigley, 1996).
Pada dasarnya kepemimpinan transaksional merupakan
dasar dari sebuah kepemimpinan. Demikian pula kepemimpinan transformasional
yang pada beberapa dekade terakhir muncul sebagai fenomena dan dirasakan
memiliki dampak positif terhadap beberapa aspek yang dapat meningkatkan
efektivitas organisasi. Berbagai temuan dan bukti empiris mendukung bahwa
praktek tranformasional mampu membawa perubahan yang mendasar (Avolio, el a!.,
1988 path Muchiri, 2001). Hal ini dikarenakan prakrek transformasional
dirasakan mampu meningkatkan komunikasi antar pimpinan dan bawahan, sehingga
dengan demikian kebutuhan bawahan akan Iebih banyak dapat terpenuhi melalui
praktek kepemimpinan transfonnasional.
Kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan
transformasional merupakan dua konsep kepemimpinan yang muncul sebagai
altematif kepemimpinan untuk mengadakan perubahan setelah ketiga teori
kepemimpinan (teori sifat, perilaku dan kontingensi) dianggap tidak lagi sesuai
dengan kondisi yang terjadi pada saat ini. Gagasan awal munculnya kedua konsep
kepemimpinan ini dikembangkan oleh Burn yang menerapkannya dalam konteks
politik dan selanjutnya disempurnakan dan diperkenalkan dalam konteks organisasional
oleh Bernard Bass (Elsenbech, el aL, 1999)
Sesuai dengan topik utama dalam penelitian ini, maka
pembahasan lebih lanjut mengenal kepemimpinan transaksional dan
transformasional serta pengaruhnya terhadap kepuasan dan kinerja bawahan.
Kepemimpinan transaksional adalah hubungan antara pemimpin
dan bawahan yang berlandaskan pada adanya pertukaran atau adanya tawar menawar
antara pemimpin dan bawahan, serta ditetapkan dengan jelas peran dan tugasnya.
Sampai
dengan akhir tahun 1970, banyak penelitian kepemimpinan yang fokus pada
rasional, berorientasi pertukaran atau hubungan transaksional antara pemimpin
dan bawahannya (Kudish, Poteet, Dobbins, Rush, and Russel, 1995). Kepemimpinan
transformasional pertama kali dibedakan oleh Downton (1973) dalam membahas
perbedaan antara pemimpin revolusi, dan pemimpin pemberontak, pemimpin
reformasi, dan pemimpin sebagaimana Iazimnya. Kemudian Zaleznik (1977)
melakukan pembahasan terhadap perbedaan antara pemimpin transaksional dan
pemimpin transformasional melakukan survei kebutuhan bawahannya dan menetapkan
untuk bawahannya tersebut berdasarkan apa yang dapat ia harapkan dan bawahannya
tersebut secara rasional. Konsepsi tersebut kemudian digunakan oleh Burns
(1978) (dalam Jung, and Avolio, 1999), pada saat ia melakukan pembahasan
tentang pemimpin politik, pemimpin politik transaksional memotivasi pengikutnya
dengan mempertukarkan penghargaan (reward) untuk jasa yang diberikan.
Burns menggambarkan pemimpin transaksional sebagai seseorang yang mengetahui
apa yang diinginkan dan bawahannya tersebut dalam melaksanakan pekerjaan, dan
berusaha untuk mengetahui apa yang dihasilkan oleh bawahannya dalam
melaksanakan pekerjaan; jika kinerja bawahannya sesuai dengan yang
diinginkannya, akan ditukarnya dengan penghargaan yang sesuai seperti yang
dijanjikan; memberikan tanggapan terhadap kebutuhan dan keinginan bawahan hanya
pada saat setelah bawahannya selesai melaksanakan tugasnya. Kemudian Bass
(1985) memperluas definisi pemimpin transaksional pada sektor-sektor, militer,
industri, publik, dan pendidikan. Cardona (2000) mendefinisikan kepemimpinan
transaksional sebagai hubungan pertukaran yang saling menguntungkan antara
pemimpin dan bawahannya, pemimpin menunjukkan kesetaraan penghargaan ekstrinsik
(extrinsic reward) positif atau negatif kepada pihak yang bekerjasama
dengannya.
Menurut Avolio, Waldman, and
Einstein (1988); Masi and Robert (2000), kepemimpinan transaksional digambarkan
sebagai mempertukarkan sesuatu yang berharga bagi yang lain antara pemimpin dan
bawahannya (contingent reward), intervensi yang dilakukan oleh pemimpin dalam
proses organisasional dimaksudkan untuk mengendalikan dan memperbaiki kesalahan
yang melibatkan interaksi antara pemimpin dan bawahannya bersifat proaktif (active
management by exception), contoh, memberikan penghargaan yang tepat saat
bawahannya mampu mencapai standar yang ditetapkan atau di atasnya, dan
intervensi yang dilakukan oleh pemimpin dalam proses organisasional dimaksudkan
sebagai reaksi dan tidak tercapainya standar yang telah ditetapkan atau
mengikuti cara yang sebelumnya sudah ada, sepanjang cara tersebut bekerja baik
dan pemimpin baru akan melakukan tindakan perbaikan bila terjadi penyimpangan (pasive
management by exception).
Kepemimpinan transaksional aktif menekankan
pemberian penghargaan kepada bawahan untuk mencapai kinerja yang diharapkan.
Oleh karena itu, secara proaktif seorang pemimpin memerlukan informasi untuk
menentukan apa yang saat ini dibutuhkan bawahannya, dan pemimpin harus membantu
mengarahkan bawahannya pada peran dan tugas yang diperlukan untuk mencapai
hasil yang diinginkannya melalui penetapan tujuan yang jelas, penjelasan
keterkaitan antara kinerja penghargaan, serta memberikan balikan yang
konstruktif untuk mempertahankan bawahan pada tugasnya (Jung and Avolio, 1999).
Atau seorang pemimpin harus melakukan identifikasi kebutuhan bawahannya dan
kemudian menukarkannya sebagai penghargaan atas tingkat kinerja yang sesuai
(Bycio, Allen, and Hacket, 1995).
Berdasarkan dan uraian tersebut diatas, maka dapat
dikatakan bahwa prinsip utama dari kepemimpinan transaksional adalah
mengkaitkan kebutuhan individu pada apa yang diinginkan pemimpin untuk dicapai
dengan apa penghargaan yang diinginkan oleh bawahannya memungkinkan adanya
peningkatan motivasi bawahan (Steers, Porter, and Biglev, 1996). Oleh karena
itu, maka kepemimpinan transaksional aktif sama dengan path-goal theory
(Evans, 1974), dan mencakup semua pendekatan situasional (contingency)
yang antara lain dikemukakan oleh Fiedler (1967), Vroom and Yetton (1973), dan
Yukl (1989) (Metcalfe and Metcalife, 2000). Serta memiliki empat karakteristik
utama yaitu: 1) contingent reward; 2) active management by exception;
3) pasive management by exception; dan 4) laissez-faire (Bass,
1990). Di samping itu, kepemimpinan transaksional menekankan pada legitimasi
wewenang dan birokrasi didalam organisasi, menekankan pada penyelesaian
pekerjaan (penugasan), dan task-oriented goal, serta cenderung fokus
pada penyelesaian penggunaan penghargaan dan hukuman (punishment) untuk
mempengaruhi kinerja bawahan (Tracey and Hinkin, 1998).
Menurut Bass (1990), meskipun
dalam hubungan transaksional, pemimpin menjanjikan dan membedakan penghargaan
kepada bawahannya yang berkinerja baik, serta mengancam dan mendisiplinkan bawahannya
yang berkinerja buruk. Tetapi apakah penghargaan yang dijanjikan atau
terhindarnya dan hukuman itu memotivasi bawahan untuk meningkatkan kinerjanya,
tergantung pada apakah pemimpin mampu mengontrol penghargaan dan hukuman
tersebut ? Disamping itu, tidak sedikit pendukung yang ada dalam literatur
kepemimpinan mencemaskan keefektifan kepemimpinan transaksional aktif (komaki,
1986, Luthan, Paul and Baker, 1981; Podsakoff, Todor, and Skov, 1982), karena
saat diimplementaslkan, kepemimpinan transaksional aktif justru membentuk dasar
lower-order change yang efektif(Avolio and Bass, 1987).
Dengan kepemimpinan transaksional, maka pemimpin
mendorong bawahannya mencapai tingkat kinerja yang disepakati bersama dan
keduanya bersama-sama menepati kesepakatan tersebut.
Teori ini mengacu pada kemampuan seseorang pemimpin untuk
memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang di individukan, dan
yang memiliki karisma. Dengan kata lain pemimpin transfomasional adalah pemimpin
yang mampu memperhatikan keprihatinan dan kebutuhan pengembangan diri pengikut,
menggairahkan, membangkitkan, dan mengilhami pengikut untuk mengeluarkan upaya
ekstra untuk mencapai tujuan kelompok (Bowel and Frort dalam Podsakoffel al.,
1996)
Dalam kepemimpinan transformasional pertukaran yang terjadi
antara bawahan dan pimpinan tidak sekedar pertukaran seperti yang terjadi pada
kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional juga melibatkan
pengembangan hubungan yang Iebih dekat antara pemimpin dengan bawahan. Dengan
kepemimpinan transformasional, pemimpin membantu bawahan untuk melihat
kepentingan yang lebih penting daripada kepentingan mereka sendiri demi misi
dan visi organisasi atau kelompok. Dengan mengembangkan kepercayaan diri, keefektifan
diri dan harga diri bawahan, diharapkan pemimpin mempunyai pengaruh yang kuat
pada tingkat identifikasi, motivasi dan pencapaian tujuan pengikut.
Saat ini, sebagian besar hubungan antara pemimpin dan
bawahannya telah berubah sama sekali, bergeser fokusnya pada pendekatan
transformasional, pendekatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi bawahan tidak
hanya melalui penggunaan alasan logis tetapi juga melalui penggunaan emosi
(Bass, 1985). Pendekatan transformasional pada kepemimpinan berusaha memperbaiki
teori-teori yang telah ada dengan menekankan pada rasionalitas dan emosi
sebagai dasar motivasi dan perilaku bawahan (Koh, Steers and Terborg, 1995).
Kepemimpinan transformasional berbeda dan kepemimpinan transaksional,
kepemimpinan transformasional tidak hanya mengetahui kebutuhan bawahan tetapi
juga berusaha mengungkit kebutuhan tersebut dan tingkat yang rendah ke tingkat
yang lebih tinggi. Burns (1978), dan Bass (1985) menggambarkan pemimpin
transformàsional sebagai seseorang yang meningkatkan kesadaran bawahan tentang
arti pentingnya pencapaian hasil yang bernilai dan strategi untuk mencapainya,
mendorong, bawahan untuk lebih mementingkan kepentingan kelompok daripada
kepentingan pnibadi, mengembangkan kebutuhan bawahan ke tingkat yang lebih
tinggi dibidang achievement, autonomy, dan affiliation baik
yang berkaitan dengan pekerjaan maupun yang tidak berkaitan dengan
pekerjaannya. Pemimpin transformasional mendorong bawahan pada pengembangan dan
kinerja melebihi yang diharapkan (Avolio and Bass, 1988).
Kepemimpinan transformasional berbeda dan kepemimpinan
transaksional aktif (active managemet by exception) dalam dua hal
(Avolio, Waidman and Einstein, 1988). Pertama, meskipun pemimpin
transformasional yang efektif juga memerlukan pemahaman terhadap kebutuhan dan
tujuan bawahan saat ini, ia berbeda dengan pemimpin transaksional aktif pada
tingkat usahanya mengungkit kebutuhan bawahan, mempertinggi tingkat motivasi
yang dilakukan melalui memperbesar harapan bawahan terhadap kebutuhan dan
kinerjanya sendiri. Kedua, kepemimpinan transformasional aktif pada tingkat
usaha pemimpin memperbaiki dan mengembangkan kemampuan bawahan untuk mengatasi
permasalahannya sendiri dan orang lain di dalam organisasi. Di samping itu,
kepemimpinan transformasional berbeda dengan kepemimpinan karismatik, pemimpin
transfonnasional mentransformasikan bawahan dengan membuatnya lebih menyadari
betapa penting dan bernilainya keberhasilan pelaksanaan tugas melalui
penggiatan higher order need mereka dan mendorongnya untuk melebihkan perhatian
pribadi demi organisasi, sehingga bawahan merasa hormat dan percaya kepada
pemimpinnya dan termotivasi untuk bekerja lebih dan yang sebenarnya mereka
harapkan. Sedangkan, kepemimpinan karismatik mentransformasikan bawahan hanya
dengan menimbulkan emosi dan kedekatan yang kuat kepada pemimpinnya, sehingga
karisma memang dibutuhkan tetapi tidak cukup sebagai syarat dalam kepemimpinan
transformasional (Bass, 1985).
Bass and Avolio
(1994) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki empat dimensi
karaktersitik (the Four l’s) yang berbeda dengan karakteristik
kepemimpinan transaksional, yakni : idealized, inspiration, intellectual
stimulaion, dan individualized consideration. Masing masing dapat
dijelaskan sebagal berikut :
1) Charisma : Kharisma menggambarkan
perilaku pemimpin yang menimbulkan perasaan kagum, rasa hormat, dan kepercayaan
bawahan yang mencakup pembagian risiko dan pihak pemimpin, mempertimbangkan
kebutuhan bawahan melebihi kebutuhan pribadi, serta tingkah-laku yang
didasarkan pada etika dan moral.
2) Inspiration : Inspirasi, mencerminkan
perilaku pemimpin dalam memberikan pengertian dan tantangan, tentang tugas
bawahan yang mencakup perilaku mengartikulasikan harapan secara jelas dan
menunjukkan komitmen semuanya untuk tujuan organisasional, serta semangat
kelompok ditimbulkan memalui antusiasme dan optimisme.
3) Intellectual
Stimulation : Stimulasi Intelektual, adalah perilaku pemimpin dalam mencari
ide pemecahan masalah yang kreatif dari bawahannya, serta mendorong munculnya
hal baru dan pendekatan baru dalam melaksanakan pekerjaan.
4) Individualized Consideration :
Konsiderasi Individualisme, mencerminkan perilaku pemimpin dalam mendengarkan
dengan penuh perhatian pribadi apa yang disampaikan bawahannya dan memberikan
perhatian khusus pada pencapaian dan pengembangan kebutuhan bawahannya.
Perbedaan karakteristik kepemimpinan transaksional dan transformasional
tersebut telah dikembangkan secara ringkas oleh Bass (1990) dalam tabel 2.21
Tabel 2.1
KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL
DAN
TRANSFORMASIONAL
Sumber : Bernard
M. Bass, 1990, From Transactional to Transformational leadership. Learning to
share the vision. Journal of Organization Dynamics
Tabel 2.1 menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional
menekankan pendekatan rasional dan emosi dalam mempengaruhi motivasi dan
perilaku bawahannya. Pendekatan tersebut akan mampu menciptakan tingginya
komitmen, upaya (commitment, effort), dan kesediaan untuk mengambil
risiko dalam mendukung organisasi atau misinya pada tingkat di atas minimal
yang diharapkan (Behling &andMcFillen, 1996). Disamping itu, penggunaan
pendekatan tersebut dalam perumusan visi dan model yang konsisten dengan
visinya, menekankan pada upaya penerimaan tujuan kelompok, dan memberikan
dukungan secara individual akan manipu mengubah nilai dasar (basic values),
keyakinan, dan sikap bawahan sehingga bersedia dengan kesadarannya sendiri
melaksanakan pekerjaan melebihi tingkat minimal dan yang ditentukan oleh
organisasi (Padsakoff, MacKenzie and Bommer, 1996)
Kontroversi mengenai adanya dimensi perilaku kepemimpinan
transaksional dan transformasional pada diri seorang pemimpin telah berlangsung
beberapa waktu yang lalu. Burns (dalam Sosik, 1997) memandang kepemimpinan
transformasional dan kepemimpinan transaksional sebagai ujung dan satu continuum
(rangkaian kesatuan) yang berseberangan. Sejumlah penulis menyatakan bahwa
banyak pemimpin melakukan kedua perilaku tersebut tetapi dalam tingkat
komposisi yang berbeda dimana pada posisi senior manajemen kepemimpinan
transformasional lebih terpola dibandingkan dengan posisi dibawahnya dalam
hirarkhi organisasional. Sejalan dengan pendapat tersebut, Bass (dalam Al
Fajar, 202: 47) juga menyatakan bahwa kepemimpinan transaksional merupakan
bagian dari kepemimpinan transformasional. Beberapa ahli berpendapat bahwa
konsep kepemimpinan transaksional akan mengarah pada upaya mempertahankan atau
melanjutkan status quo.
Pada perkembangan selanjutnya, hubungan yang
terjalin antara pemimpin dengan bawahan telah mengalami perubahan. Bass (1985)
mengemukakan bahwa hubungan antara pemimpin dengan bawahan telah bergeser
fokusnya pada pendekatan transformasional dimana pendekatan ini dimaksudkan
untuk mempengaruhi bawahan tidak hanya melalui penggunaan logika dan alasan,
namun juga melalui penggunaan emosi. Kepemimpinan transformasional dipandang
memiliki perspektif jangka panjang, dimana pendekatan ini tidak hanya
menekankan perhatian pada situasi saat ini namun juga mempertimbangkan dan
memperhatikan situasi dimasa mendatang. Kepemimpinan transformasional memandang
faktor internal dan ekstrenal organisasi sebagai satu kesatuan sistem yang
tidak terpisah. Pendekatan konsep kepemimpinan ini didasarkan pergeseran nilai,
kepercayaan dan kebutuhan pimpinan terhadap bawahannya.
Essensi dan kepemimpinan transformasional adalah
meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan bawahan dalam aktivitas organisasi,
dimana kepemimpinan transformasional berupaya untuk melakukan perubahan ke arah
yang lebih baik. Model kepemimpinan ini diyakini akan mengarah pada kinerja
superior dalam organisasi yang sedang menghadapi tuntutan pembaharuan dan
perubahan. Dubinsky, Yammarino and Jelson (1995) mengemukakan bahwa
kepemimpinan transformasional berdampak terhadap hasil kerja karyawan yang
lebih menyenangkan dibandingkan dengan pendekatan kepemimpinan yang lainnya.
Dalam pendekatan ini, pemimpin menciptakan visi dan Iingkungan yang dapat
memotivasi bawahan untuk memberikan inspirasi dan motivasi bagi bawahan untuk
mencapai hasil yang lebih besar dan yang direncanakan.
1. The model of the full range of ledership dan the
augmentation model of transactional and tranformational leadership
Kepemimpinan transaksional dan transfor