Samsul
Hidayat
Perjalanan hidup manusia penuh misteri.
Ada yang berkelimpahan uang dengan segala kemudahan yang dimiliki, dan
ada yang hidup susah dengan segala beban yang ditanggungnya.
Kita tidak sedang berbicara tentang kegagalan
atau kesuksesan dengan harta sebagai ukuran. Kita sedang menukil dari
sebuah perjalanan hidup anak manusia, dimana ketekunan, semangat, serta kemauan
yang keras akan berujung pada hasil yang membanggakan.
Majalah Wirausaha dan Keuangan (WK) kali ini
mencoba mengangkat sisi lain dari seorang Samsul Hidayat (29). Lelaki kelahiran
Surabaya ini, kini tengah menapaki nasib dan kehidupannya menuju yang lebih
baik.
Samsul mengawali hidupnya sebagai pewirausaha
benar-benar dari nol. Dari ketiadaan. Ayahnya, Achmad Bactiar, dulu pernah
bekerja sebagai sopir di luar negeri, sebagai TKI. Ibunya, Nurhidayati, menjadi
pedagang kaki lima yang pada hari tertentu sering mangkal di seputaran kawasan
Tugu Pahlawan Surabaya. Di kawasan tersebut pada hari Minggu cukup ramai
masyarakat yang datang untuk sekedar jalan-jalan atau olah raga. Samsul kecil
sering membantu ibunya berjualan aneka makanan di lokasi tersebut. Dilihat dari
genetisnya, Samsul bukan terlahir dari keluarga berada.
Cita-citanya untuk menggapai hidup yang lebih
baik dan mandiri, dapat membantu ekonomi keluarga, serta memiliki harapan di
masa mendatang adalah dorongan yang sangat kuat untuk mengubah nasib dirinya.
Pelan, namun pasti. Langkah itu terus ia
bangun. Mindset
kewirausahaannya diubah, cita-citanya diperbaharui, dan langkah-demi langkah
usahanya mulai tumbuh. Dalam waktu yang tidak terlalu lama Samsul muda menjelma
menjadi pewirausaha mandiri. Dalam suatu kesempatan wawancara dengan
Majalah Wirausaha dan Keuangan, Samsul sedang membulatkan tekadnya
untuk belajar menjadi seorang Konglomerat?
Belajar
dan Bekerja Secara Ikhlas
Bagi Samsul, kemauan untuk maju dan hidup
sejahtera adalah impian yang sangat diidamkan. Menjadi anak orang tidak mampu,
memang bukan kemauan dirinya, tetapi apakah menjadi miskin merupakan sebuah
takdir? Ia yakin, nasib dapat diubah. Kesejahteraan dapat diraih jika
orang mau mengupayakannya.
Bukankah Tuhan telah memfirmankan, bahwa
nasib suatu kaum tidak akan berubah jika kaum itu sendiri tidak mau
mengubahnya.
Pesan ini sangat jelas. Bahwa perubahan itu
sendiri adalah kata kerja, bukan kata sifat, sehingga jika seseorang mau
berubah nasibnya ia harus memperjuangkan sendiri, mengupayakan sendiri, dan
mengubah takdirnya dengan berikhtiar dan berdoa.
Ketidakenakan menjadi orang yang tidak mampu,
membuat sekolahnya tak terurus dengan baik. Karena itu di masa kecilnya ia rela
kehilangan waktu untuk bermain karena digunakan untuk membantu kedua
orangtuanya mencari nafkah.
“Sejak duduk di sekolah SMP saya sudah
bekerja. Pagi menjadi loper koran, siangnya sekolah. Kalau malam saya juga
harus membantu ibu menjual martabak. Semua itu saya lakukan hingga kelas 3
SMP,” ujarnya kepada majalah WK.
Ketika beranjak SMA, orangtuanya tidak
memiliki uang untuk membayar sekolah. Sebagai anak kedua dari enam bersaudara,
Samsul rela ngenger (menjadi
anak asuh) di sebuah keluarga di Surabaya. Di keluarga ini, ia dapat tinggal,
mendapatkan makan secara cukup, serta dibayari sekolahnya. Namun sebagai
konsekuensinya, ia juga harus membantu berbagai kegiatan keluarga ini, mulai
dari membersihkan rumah, mengasuh dan memandikan anak-anak orangtua asuhnya,
mencuci mobil setiap hari serta membantu pekerjaan serabutan lainnya. Di
keluarga inilah ia mendapatkan banyak pelajaran. Pelajaran untuk ikhlas belajar
dan bekerja.
Kata-kata orangtua asuhnya sangat membekas di
benaknya. Bahwa jika ingin sukses maka ia harus mau belajar dan bekerja secara
ikhlas.
“Kalau kamu ingin uang, ya kamu harus
bekerja. Mau jadi kuli atau apalah yang penting bekerja. Bekerja yang
sungguh-sungguh, sabar, ikhlas. Kalau kamu mau pasti dapat,” ujarnya.
Samsul menetap di keluarga ini hingga di
semester IV di sebuah fakultas hukum sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Di
usia yang beranjak remaja, Samsul mulai mencoba bisnis kecil-kecilan sendiri.
Ia berbisnis percetakan, dan juga menjual jasa mengurus STNK dan perpanjangan
SIM bagi yang memerlukannya. Bisnis ini relatif tidak memerlukan modal, hanya
perlu waktu dan tenaga untuk melakukannya. Penghasilan dari kerja ini ia
gunakan untuk membayar kuliah, serta membantu biaya sekolah adik-adiknya.
Setelah mengenal Entrepreneur University, dan saat itu dapat
bertemu Purdie Chandra, mindset
kewirausahaan Samsul semakin kuat untuk meraih kesuksesan. Ia juga mulai
mengenal makna ketulusan, dan keikhlasan, kata-kata yang pernah disampaikan
oleh orangtua asuhnya.
“Ikhlas itu berarti belajar dan bekerja
sungguh-sungguh, penuh totalitas dan penuh pengharapan kepada Yang Maha Kuasa.
Jika tidak ikhlas, kita akan selalu berhitung dengan apa yang kita
lakukan dan sulit mencapai tujuan yang kita harapkan,” lanjut Samsul.
Kini
suami dari Elisabeth S Mona ini telah mengembangkan usaha PT Terminal Jasa yang
memiliki 7 cabang, antara lain di Surabaya, Solo, Bandung, Batam, Banjarmasin,
Pontianak, dan di Jakarta sebagai kantor pusatnya. Di Jakarta ia membuka kantor
di Menara BCA, Grand Indonesia Lt50, Jl Jendral Sudirman, Jakarta.
“Di sini saya akan mengikuti jejak para
pebisnis sukses, dan belajar menjadi konglomerat,” ujarnya terkekeh.
Dari
Kost-Kostan ke Grand Indonesia
Berkantor
di kawasan paling elit Jakarta, di Grand Indonesia. Memiliki kantor perwakilan
di Singapura kini bukan mimpi. Untuk mengendalikan usahanya, Samsul juga
tinggal di Apartemen Semanggi, Jl Gatot Subroto, Jakarta. Istrinya, yang biasa
dipanggil Mona, seorang alumnus Sekolah Tinggi Manajemen di Surabaya, menjadi
teman setia di rumah dan teman bepergian keliling ke kantor-kantor cabang PT
Terminal Jasa yang ada di 7 cabang, termasuk anaknya semata wayang, Lidya yang
masih berumur 15 bulan.
“Saya selalu mengajak istri dan anak saya
kemana pun saya pergi. Saya ingin menikmatinya, menikmati bekerja dan menikmati
berkumpul bersama keluarga,” cetusnya pemilik badan tambun yang sudah bekerja
sejak di usia 13 tahun ini.
“Semenjak
Ayah saya pensiun karena sakit, keadaan inilah yang menjadikan saya
terpacu untuk bekerja diusia 13 tahun. Saya harus membantu ekonomi keluarga,”
ujar pegiat Surabaya Entrepreneur Club
ini.
Pada
tahun 2002, semenjak ia mengibarkan usaha kecil-kecilan PT Terminal Jasa
yang didirikannya, kedua orangtuanya diminta untuk berhenti bekerja
berjualan kaki lima. Samsul meminta kedua orangtuanya untuk bertugas
mendoakannya, siang dan malam.
“Saya meminta secara khusus agar Ayah dan Ibu
beribadah sebanyak-banyaknya, dan mendoakan saya. Biarlah saya yang mencari
uang untuk kehidupan Ayah dan Ibu saya dan insya Allah semua keperluannya akan
saya cukupi,” lanjutnya.
Untuk memberi kebahagiaan bagi kedua
orangtuanya yang selama ini tinggal di rumah sempit di Surabaya, Samsul telah
membelikan rumah seluas 150 M2 senilai Rp500juta serta segala perabotan dan
seisinya di Kawasan Surabaya Barat. Duh bahagia rasanya.
Tidak
Takut Gagal
Soal
bisnis yang digeluti Samsul, bukan berarti ia selalu dihampiri kesuksesan
melulu. Usaha demi usaha pernah saya ia jalani. Bangkrut sudah berkali-kali,
dibohongi rekan bisnis adalah makanan sehari-hari.
Namun
ia berkeyakinan disetiap jatuh pasti ada bisnis baru yang lebih besar, setiap
kegagalan selalu ada hikmah yang lebih besar.
“Kalau mau menjadi pewirausaha besar jangan
takut gagal. Jangan takut mencoba. Hanya orang yang berani mencoba dan
berkreasi bisnis yang akan menuai manisnya berbisnis. Bagi yang berangan-angan
saja dan tidak memulai untuk melakukannya, saya yakin mereka hanya akan
benar-benar bermimpi,” cetusnya.
Setelah
kegagalan demi kegagalan itu, pada tahun 2004 ketemulah Samsul dengan usaha outsourcing dengan
awal pengelolaan yang hanya mengelola 8 tenaga kerja.
“Usaha
ini saya kelola dengan tekun dan belajar banyak pada perusahaan outsourcing
lain. Usaha ini semula berawal dari kantor yang saya juga tidur di situ, alias
kamar kos-kosan. Setelah terlihat berkembang saya pindah ke Kantor Graha
Pertamina di Surabaya, kemudian pindah lagi di Wisma BII di Lt 16,
kemudian berkembang lagi dan kini pindah di Menara BCA, Grand Indonesia,
Jl Jendral Sudirman, Jakarta.
Alhamdulillah
akhir tahun ini saya telah memperkerjakan karyawan dengan jumlah
mendekati 50 ribu orang karyawan yang tersebar diseluruh
Indonesia,” cetusnya.