Selamat Datang Pada Web Dr. Priyono, MM yang merupakan terobosan baru untuk kelanjaran dan keberlangsungan sebuah proses pembelajaran bagi Mahasiswa UNIPA Surabaya…!!!! Priyono is The Best Lecturers: Belajar Jadi Konglomerat

Senin, 20 Februari 2012

Belajar Jadi Konglomerat

Selasa, 08 September 2009

Samsul Hidayat
Perjalanan hidup manusia penuh misteri.  Ada yang berkelimpahan uang  dengan segala kemudahan yang dimiliki, dan  ada yang hidup susah dengan segala beban yang ditanggungnya.
Kita tidak sedang berbicara tentang kegagalan atau kesuksesan dengan harta sebagai ukuran.  Kita sedang menukil dari sebuah perjalanan hidup anak manusia, dimana ketekunan, semangat, serta kemauan yang keras akan berujung pada hasil yang membanggakan.
Majalah Wirausaha dan Keuangan (WK) kali ini mencoba mengangkat sisi lain dari seorang Samsul Hidayat (29). Lelaki kelahiran Surabaya ini, kini tengah menapaki nasib dan kehidupannya menuju yang lebih baik.
Samsul mengawali hidupnya sebagai pewirausaha benar-benar dari nol. Dari ketiadaan. Ayahnya, Achmad Bactiar, dulu pernah bekerja sebagai sopir di luar negeri, sebagai TKI. Ibunya, Nurhidayati, menjadi pedagang kaki lima yang pada hari tertentu sering mangkal di seputaran kawasan Tugu Pahlawan Surabaya. Di kawasan tersebut  pada hari Minggu cukup ramai masyarakat yang datang untuk sekedar jalan-jalan atau olah raga. Samsul kecil sering membantu ibunya berjualan aneka makanan di lokasi tersebut. Dilihat dari genetisnya, Samsul bukan terlahir dari keluarga berada.
Cita-citanya untuk menggapai hidup yang lebih baik dan mandiri, dapat membantu ekonomi keluarga, serta memiliki harapan di masa mendatang adalah dorongan yang sangat kuat untuk mengubah nasib dirinya.
Pelan, namun pasti. Langkah itu terus ia bangun. Mindset kewirausahaannya diubah, cita-citanya diperbaharui, dan langkah-demi langkah usahanya mulai tumbuh. Dalam waktu yang tidak terlalu lama Samsul muda menjelma menjadi pewirausaha mandiri. Dalam suatu kesempatan wawancara dengan  Majalah Wirausaha dan Keuangan, Samsul  sedang membulatkan tekadnya untuk  belajar menjadi seorang Konglomerat?
Belajar  dan Bekerja Secara Ikhlas
Bagi Samsul, kemauan untuk maju dan hidup sejahtera adalah impian yang sangat diidamkan. Menjadi anak orang tidak mampu, memang bukan kemauan dirinya, tetapi apakah menjadi miskin merupakan sebuah takdir?  Ia yakin, nasib dapat diubah. Kesejahteraan dapat diraih jika orang mau mengupayakannya.
Bukankah Tuhan telah memfirmankan, bahwa nasib suatu kaum tidak akan berubah jika kaum itu sendiri tidak mau mengubahnya.
Pesan ini sangat jelas. Bahwa perubahan itu sendiri adalah kata kerja, bukan kata sifat, sehingga jika seseorang mau berubah nasibnya ia harus memperjuangkan sendiri, mengupayakan sendiri, dan mengubah takdirnya dengan berikhtiar dan berdoa.  
Ketidakenakan menjadi orang yang tidak mampu, membuat sekolahnya tak terurus dengan baik. Karena itu di masa kecilnya ia rela kehilangan waktu untuk bermain karena digunakan untuk membantu kedua orangtuanya mencari nafkah.
“Sejak duduk di sekolah SMP saya sudah bekerja. Pagi menjadi loper koran, siangnya sekolah. Kalau malam saya juga harus membantu ibu menjual martabak. Semua itu saya lakukan hingga kelas 3 SMP,” ujarnya kepada majalah WK.
Ketika beranjak SMA, orangtuanya tidak memiliki uang untuk membayar sekolah. Sebagai anak kedua dari enam bersaudara, Samsul rela ngenger (menjadi anak asuh) di sebuah keluarga di Surabaya. Di keluarga ini, ia dapat tinggal, mendapatkan makan secara cukup, serta dibayari sekolahnya. Namun sebagai konsekuensinya, ia juga harus membantu berbagai kegiatan keluarga ini, mulai dari membersihkan rumah, mengasuh dan memandikan anak-anak orangtua asuhnya, mencuci mobil setiap hari serta membantu pekerjaan serabutan lainnya.  Di keluarga inilah ia mendapatkan banyak pelajaran. Pelajaran untuk ikhlas belajar dan bekerja.
Kata-kata orangtua asuhnya sangat membekas di benaknya. Bahwa jika ingin sukses maka ia harus mau belajar dan bekerja secara ikhlas.
“Kalau kamu ingin uang, ya kamu harus bekerja. Mau jadi kuli atau apalah yang penting bekerja. Bekerja yang sungguh-sungguh, sabar, ikhlas. Kalau kamu mau pasti dapat,” ujarnya. 
Samsul menetap di keluarga ini hingga di semester IV di sebuah fakultas hukum sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Di usia yang beranjak remaja, Samsul mulai mencoba bisnis kecil-kecilan sendiri. Ia berbisnis percetakan, dan juga menjual jasa mengurus STNK dan perpanjangan SIM bagi yang memerlukannya. Bisnis ini relatif tidak memerlukan modal, hanya perlu waktu dan tenaga untuk melakukannya. Penghasilan dari kerja ini ia gunakan untuk membayar kuliah, serta membantu biaya sekolah adik-adiknya.  
Setelah mengenal Entrepreneur University, dan saat itu dapat bertemu Purdie Chandra, mindset kewirausahaan Samsul semakin kuat untuk  meraih kesuksesan. Ia juga mulai mengenal makna ketulusan, dan keikhlasan, kata-kata yang pernah disampaikan oleh orangtua asuhnya.
“Ikhlas itu berarti belajar dan bekerja sungguh-sungguh, penuh totalitas dan penuh pengharapan kepada Yang Maha Kuasa. Jika tidak ikhlas,  kita akan selalu berhitung dengan apa yang kita lakukan dan sulit mencapai tujuan yang kita harapkan,” lanjut Samsul. 
Kini suami dari Elisabeth S Mona ini telah mengembangkan usaha PT Terminal Jasa yang memiliki 7 cabang, antara lain di Surabaya, Solo, Bandung, Batam, Banjarmasin, Pontianak, dan di Jakarta sebagai kantor pusatnya. Di Jakarta ia membuka kantor di Menara BCA, Grand Indonesia Lt50, Jl Jendral Sudirman, Jakarta.
“Di sini saya akan mengikuti jejak para pebisnis sukses, dan belajar menjadi konglomerat,” ujarnya terkekeh.
Dari Kost-Kostan ke Grand Indonesia
Berkantor di kawasan paling elit Jakarta, di Grand Indonesia. Memiliki kantor perwakilan di Singapura kini bukan mimpi. Untuk mengendalikan usahanya, Samsul juga tinggal di Apartemen Semanggi, Jl Gatot Subroto, Jakarta. Istrinya, yang biasa dipanggil Mona, seorang alumnus Sekolah Tinggi Manajemen di Surabaya, menjadi teman setia di rumah dan teman bepergian keliling ke kantor-kantor cabang PT Terminal Jasa yang ada di 7 cabang, termasuk anaknya semata wayang, Lidya yang masih berumur 15 bulan.
“Saya selalu mengajak istri dan anak saya kemana pun saya pergi. Saya ingin menikmatinya, menikmati bekerja dan menikmati berkumpul bersama keluarga,” cetusnya pemilik badan tambun yang sudah bekerja sejak di usia 13 tahun ini.
“Semenjak Ayah saya pensiun karena sakit,  keadaan inilah yang menjadikan saya terpacu untuk bekerja diusia 13 tahun. Saya harus membantu ekonomi keluarga,” ujar  pegiat Surabaya Entrepreneur Club ini. 
Pada tahun 2002,  semenjak ia mengibarkan usaha kecil-kecilan PT Terminal Jasa yang didirikannya,  kedua orangtuanya diminta untuk berhenti bekerja berjualan kaki lima. Samsul meminta kedua orangtuanya untuk bertugas mendoakannya,  siang dan malam.
“Saya meminta secara khusus agar Ayah dan Ibu beribadah sebanyak-banyaknya, dan mendoakan saya. Biarlah saya yang mencari uang untuk kehidupan Ayah dan Ibu saya dan insya Allah semua keperluannya akan saya cukupi,” lanjutnya.
Untuk memberi kebahagiaan bagi kedua orangtuanya yang selama ini tinggal di rumah sempit di Surabaya, Samsul telah membelikan rumah seluas 150 M2 senilai Rp500juta serta segala perabotan dan seisinya di Kawasan Surabaya Barat. Duh bahagia rasanya.
Tidak Takut Gagal
Soal bisnis yang digeluti Samsul, bukan berarti ia selalu dihampiri kesuksesan melulu. Usaha demi usaha pernah saya ia jalani. Bangkrut sudah berkali-kali, dibohongi rekan bisnis adalah makanan sehari-hari.
Namun ia berkeyakinan disetiap jatuh pasti ada bisnis baru yang lebih besar, setiap kegagalan selalu ada hikmah yang lebih besar.
“Kalau mau menjadi pewirausaha besar jangan takut gagal. Jangan takut mencoba. Hanya orang yang berani mencoba dan berkreasi bisnis yang akan menuai manisnya berbisnis. Bagi yang berangan-angan saja dan tidak  memulai untuk melakukannya, saya yakin mereka hanya akan benar-benar bermimpi,” cetusnya.
Setelah kegagalan demi kegagalan itu, pada tahun 2004 ketemulah Samsul dengan usaha outsourcing dengan awal pengelolaan yang hanya mengelola 8 tenaga kerja.
“Usaha ini saya kelola dengan tekun dan belajar banyak pada perusahaan outsourcing lain. Usaha ini semula berawal dari kantor yang saya juga tidur di situ, alias kamar kos-kosan. Setelah terlihat berkembang saya  pindah ke Kantor Graha Pertamina di Surabaya,  kemudian pindah lagi di Wisma BII di Lt 16, kemudian berkembang lagi  dan kini pindah di Menara BCA, Grand Indonesia, Jl Jendral Sudirman, Jakarta. 
Alhamdulillah akhir tahun ini saya telah memperkerjakan karyawan dengan jumlah mendekati  50 ribu orang karyawan yang  tersebar diseluruh Indonesia,” cetusnya.