Selamat Datang Pada Web Dr. Priyono, MM yang merupakan terobosan baru untuk kelanjaran dan keberlangsungan sebuah proses pembelajaran bagi Mahasiswa UNIPA Surabaya…!!!! Priyono is The Best Lecturers: Model Pemberdayaan Masyarakat

Rabu, 15 Februari 2012

Model Pemberdayaan Masyarakat

MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN  KAWASAN SENTRA PRODUKSI PERIKANAN DI PANTAI SELATAN KABUPATEN MALANG. (priyono & Rudi pratono)
2011
1.1 Latar Belakang
saat ini sebagian besar masyarakat pesisir masih dililit kemiskinan.  Berbagai fenomena kerusakan lingkungan pesisir dan lautan bukan hanya disebabkan oleh industrialisasi, tetapi juga seringkali diakibatkan oleh kemiskinan penduduk.  Penduduk yang miskin akan menyeret kepada keterpaksaan untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan lautan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan racun atau pestisida dengan tidak melihat keberlanjutan (sustainibility) sumberdaya alam yang ada.
Secara umum, permasalahan yang dialami para nelayan Indonesia yang bergantung hidup dari perikanan tangkap terdiri dari dua bagian besar, yaitu permasalahan internal dan permasalahan eksternal. Permasalahan internal berasal dari ruang lingkup perikanan tangkap sendiri, khususnya dari stakeholder yang terlibat. Sedangkan permasalahan eksternal berasal dari kebijakan pemerintah, atau sektor di luar perikanan tangkap yang terkait.
Permasalahan internal yang dihadapi diadapi para nelayan Indonesia umumnya adalah:
  1. Terjadi ketidakseimbangan dalam pemanfaatan SDI laut di Wilayah Pengelolaan Perikanan. Sebagian WPP, misalnya Selat Malaka) dan Laut Jawa telah mengalami overfishing, sementara WPP lain sudah mengalami padat tangkap dan  ada pula yang  masih underfishing.
  2. Lemahnya usaha perikanan tangkap skala kecil akibat minimnya kemampuan untuk meningkatkan produktifitas. Kemampuan yang rendah disebabkan penguasaan teknologi pengolahan yang rendah, keterbatasan akses permodalan, minimnya kemampuan manajemen, dan masih bersifat padat karya. Orientasi pengelolaan yang bersifat sistem kemitraan, seperti pola Grameen Bank perlu diadopsi.
  3. Sebaran pelabuhan perikanan masih belum merata. Pelabuhan yang terletak di WPP yang dekat dengan samudera masih berstatus pelabuhan perikanan pantai atau pelabuhan perikanan nusantara. Demikian juga dengan fasilitas pelabuhan perikanan di WPP yang masih underfishing belum ditingkatkan statusnya.
  4. Struktur armada perikanan nasional masih didominasi kapal skala kecil (tanpa motor). Jumlah kapal motor memang mengalami peningkatan terus-menerus, namun tidak sebanding dengan potensi lestari sumberdaya ikan. Hal yang juga harus diperhatikan adalah peningkatan kemampuan nelayan dan penggunaan alat tangkap yang efisien dan efektif.
  5. Skema perizinan yang masih birokratis dan implementasinya menuju skema pelayanan satu atap masih jauh dari harapan. Penyederhanaan izin bagi kapal perikanan Indonesia perlu dilakukan. Kapal perikanan Indonesia juga harus dikaji benar-benar mengingat keberpihakan terhadap nelayan lokal harus kuat.
  6. Masih terjadi konflik antar nelayan, baik itu konflik yang merupakan kelanjutan dari konflik tahun sebelumnya maupun konflik baru. Khususnya antara nelayan modern dengan nelayan tradisional. Upaya mengatasi konflik harus dilakukan secara sinergitas dan menggunakan skenario tertentu.
  7. Penetapan pungutan di bidang perikanan adalah produktivitas suatu kapal ikan tidak hanya ditentukan dari besar kecilnya ukuran GT kapal, namun jenis dan banyaknya hasil tangkapan yang mampu diproduksi oleh kapal ikan dalam setiap kali operasi penangkapan. Hal ini tergantung pada jenis alat tangkap dan lamanya waktu operasi penangkapan serta kapasitas palka dari kapal ikan itu sendiri.
  8. Perbedaan ukuran GT kapal pada dokumen kapal dengan ukuran GT kapal yang sesungguhnya. Permasalahan ukuran GT juga akan timbul pada kasus penanganan kapal-kapal ikan asing yang memiliki cara pengukuran GT yang berbeda dengan yang diterapkan di Indonesia atau internasional. Cek fisik atau pengukuran ulang GT kapal merupakan suatu langkah yang tepat untuk mengantisipasi penyimpangan ukuran GT atau keraguan terhadap ukuran GT kapal.
Sedangkan permasalahan eksternal yang umumnya mereka hadapi adalah:
1.      Kenaikan harga BBM terhadap usaha perikanan tangkap menyebabkan beban biaya operasional penangkapan bagi nelayan kecil bertambah. Hal yang sama terjadi pada usaha perikanan tangkap skala besar. Rasio biaya BBM dan biaya operasional kapal mengalami peningkatan yang signifikan yaitu 67 persen. Kenaikan harga BBM merupakan ihwal yang sulit untuk dicegah mengingat harga minyak di pasaran dunia terus mengalami peningkatan. Sehingga harus dicari alternatif pemecahannya dalam jangka panjang. Dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 9 tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 55 tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri yang mulai berlaku sejak 11 April 2006 merupakan langkah jangka pendek dan tidak mungkin diandalkan untuk mewujudkan visi 2020.
2.      Merebaknya IUU Fishing yang telah banyak merugikan negara menyebabkan pemikiran untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan harus dimulai. Kapal asing yang melakukan IUU Fishing harus ditenggelamkan agar tidak mungkin lagi mencuri ikan di perairan Indonesia.
Berbagai permasalahan diatas menyebabkan timbulnya kemiskinan Kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan, yang terutama ditimbulkan oleh enam penyebab utama:
a.    Hasil tangkap per satuan upaya (catch per unit of effort), yang dicerminkan dalam bentuk hasil tangkap per hari per perahu/nelayan, relatif kecil dan daerah-daerah yang telah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing), seperti Pantai Utara dan selatan Jawa dan Selatan Sulawesi, cenderung menurun.  Hasil tangkapan juga bersifat fluktuatif, terkadang dapat hasil tangkapan baik, tetapi seringkali hanya dapat hasil sedikit, bergantung ada, musim.  Bergantung pada lokasi, dalam satu tahun musim tangkapan yang baik berkisar antara empat sampai delapan bulan saja.  Selain karena kondisi biofisik laut dan sumberdaya ikan yang bersifat musiman tersebut, hasil tangkap yang rendah juga disebabkan karena teknologi penangkapan (parahu/kapal penangkapan atau alat tangkap) ikan yang digunakan oleh sebahagian besar nelayan Indonesia masih bersifat tradisional.  Sampai saat ini sekitar 85% dari nelayan Indonesia (yang berjumlah 2,8 juta) adalah nelayan tradisional.
b.    Dalam rantai tata niaga nelayan memiliki posisi tawar (bargaining posistion) yang sangat rendah ketika menjual hasil tangkapan (produk) maupun pada saat membeli input produksi (seperti bahan bakar, jaring, es, dan bahan serta peralatan lainnya).  Hal ini disebabkan karena nelayan menjual hasil tangkapnya tidak langsung kepada konsumen (pasar) akhir, tetapi melalui beberapa pedagang perantara (midleman).  Keuntungan terbesar (profit margin) bukan dinikmati oleh nelayan, tetapi sebagian besar jatuh ke tangan para pedagang perantara (tengkulak).  Misalnya, harga ikan kembung di tempat pendaratan ikan di tempat pendaratan ikan di desa Gebang Mekar, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon saat ini adalah Rp 2.000/kg, padahal harga jenis ikan yang sama di Kota Cirebon sekitar Rp 5.000/kg, dan di Bogor Rp 8.0000/kg.  Selain itu, harga jual ikan para nelayan juga sering mengalami kondisi “market glut”, suatu kondisi di mana pada saat hasil tangkapan nelayan baik (melimpah) harga jual ikan turun secara drastis, sebaliknya ketika hasil tangkapan berkurang (paceklik) harga jual ikan menjadi mahal.  Sebaliknya, ketika para nelayan membeli input produksi, mereka harus membayar kepada pedagang perantara di desanya dengan harga yang jauh lebih mahal dari pada harga barang tersebut di tingkat produsen (pabrik).  Dengan perkataan lain, nelayan dalam konteks tata niaga terjebak dalam kemiskinan struktural (structural poverty).
c.    Penguasaan dan penerapan teknologi pasca panen (penanganan/handling dan pengolahan/processing) untuk hasil perikanan di Indonesia masih sangat lemah.  Padahal teknologi pasca panen memegang peran yang sangat penting dalam memelihara kesegaran produk perikanan, karena jenis produk ini sangat mudah busuk (highly perishable), dan dalam meningkatkan harga jual (nilai tambah) produk.  Harga ikan segar jauh lebih mahal ketimbang harga ikan yang sudah busuk, bahkan ikan busuk biasanya tidak ada harganya karena tidak sehat dikonsumsi oleh manusia.  Contoh lain adalah dalam hal ekspor rumput laut.  Hampir semua ekspor rumput laut Indonesia berupa rumput laut kering, tanpa diolah lebih dulu menjadi produk semi-jadi atau produk jadi, seperti agar-agar, alginat, dan kareginan; sehingga nilai tambah produk ini bukan Indonesia yang menikmati, tetapi negara pengimpor yang banyak memperoleh nilai tambah nya melalui produk makanan sehat, kosmetika, dan obat-obatan.
d.    Akses nelayan terhadap informasi, teknologi, pasar, permodalan (kapital), dan manajamen usaha sejauh ini masih sangat rendah.  Oleh karena itu wajar, jika menurut data BPS (1998) bahwa sebagian masyarakat peisir (nelayan) Indonesia tergolong kelompok masyarakat termiskin dalam struktur sosial masyarakat Indonesia.
e.    Budaya dan pola pikir (mindset) sebagian besar masyarakat pesisir belum responsif dan kondusif tehadap kemajuan dan pembangunan.  Misalnya, mereka sebagian besar belum mampu mengelola ekonomi keluarga (pendapatan-pengeluaran) secara efisien dan optimal, mereka cenderung boros dan enggan menabung.
f.     Kondisi prasarana dan sarana (fasilitas sosial dan fasilitas umum), berupa pendidikan, air bersih, tempat ibadah, jalan, listrik, komunikasi, dan lainnya; serta sanitasi lingkungan hampir semua perkampungan pesisir (nelayan) di Indonesia tergolong buruk dan kumuh.  Wajar bila kondisi kesehatan para nelayan juga relatif kurang baik.
Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan sektor kelautan Indonesia memiliki tiga ciri strategis yaitu,
a.    Harus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi berupa devisa, sumbengan terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja dan beberapa indikator dasar perekonomian lainnya. 
b.    Harus mampu memberikan keuntungan yang berarti bagi semua pelaku usaha dan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan serta petani ikan tradisional yang masih terbelakang. Dengan kata lain bidang kelautan dan perikanan harus dapat memberikan pemerataan (equality) kesejahteraan bagi semua pelaku usaha secara proposional.
c.    Pembangunan kelautan dan perikanan  harus mampu memelihara kualitas dan daya dukung lingkungannya, sehingga pembangunan  ekonomi kelautan dan perikanan dapat berlangsung secara berkesinambungan.
Untuk mewujudkan kondisi tersebut diatas maka perlu dipertimbangkan bahwa wilayah pesisir dan laut memiliki potensi yang sangat besar dimana terbuka peluang yang besar pula untuk memanfaatkannya, akan tetapi kendala terbesar bagi pemanfaatan potensi dan peluang tersebut terletak pada kemampuan domestik, serta tatanan kelembagaan yang tersedia. Oleh kerana itu peluang tersebut harus dimanfaatakan seoptimal mungkin oleh para pelaku usaha demi kepentingan pembangunan masyarakat seluas-luasnya. Perlu disadari pula bahwa peran pemerintah dalam hal ini bahwa peran pemerintah dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut hanya terbatas sebagai fasilitator, dinamisator dan regulator. Oleh karena itu pemerintah harus memberikan dukungan dan kesempatan seluas-luasnya pada setiap kelompok masyarakat.
Dengan memperhatikan potensi sumberdaya alam, prospek perkembangan usaha, sarana dan prasarana serta kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan di Kawasan Sentra Produksi (KSP) Perikanan Laut Pantai Selatan Jawa Timur, khususnya Kabupaten Malang serta dengan mempertimbangkan visi pembangunan kelautan dan perikanan Nasional, maka dipandang perlu untuk melakukan studi terapan (action research).


1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok sebagai berikut:
a.    Bagaimana potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh komunitas nelayan di KSP Perikanan Laut di Pantai Selatan Kabupaten Malang.
b.    Bagaimana konsep pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang propinsi Jawa Timur dalam upaya pemerataan pembangunan perikanan dan pengembangan wilayah.
c.    Apa kebutuhan sarana pokok dan pendukung yang dapat merealisasikan program pengembangan yang dibuat di KSP Perikanan di Kabupaten Malang.
d.    Bagaimana rancangan model pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang yang dapat menjamin keberlanjutan usaha.
e.    Bagaimana bentuk atau model pendekatan yang sesuai untuk memberdayakan komunitas masyarakat nelayan.
f.     Program diversifikasi apa yang dapat dikembangkan berdasarkan potensi yang ada di setiap KSP Perikanan laut Pantai Kabupaten Malang.


1.3. Tujuan dan manfaat Penelitian
1.3.1.   Tujuan Penelitian
a.    Mengidentifikasi lokasi potensi dan permasalahan di Kawasan Sentra Produksi Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang.
b.    Mengklasifikasikan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang berdasarkan potensi produksi, teknologi pengolahan pasca panen, dan pemasaran.
c.    Menyusun konsep pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang dalam upaya pemerataan pembangunan perikanan dan pengembangan wilayah.
d.   Menyusun model pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang berwawasan lingkungan.
e.    Menyusun dan mengembangkan model pemberdayaan masyarakat nelayan Kabupaten Malang dengan melibatkan seluruh pelaku usaha perikanan laut.
f.     Menyusun strategi pengembangan agroindustri perikanan laut Pantai Kabupaten Malang.


1.3.2 Manfaat Penelitian
a.   Diperoleh suatu model pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang sehingga dapat digunakan sebagai sebagai dasar pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan wilayah.
b.   Dapat dirumuskan suatu kebijakan pengembangan di setiap KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang sesuai dengan karakteristik potensi sumberdaya, perkembangan teknologi, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat.
c.   Model dapat diadopsi untuk program pengembangan di KSP Perikanan Laut di wilayah yang lain.