MODEL PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT NELAYAN KAWASAN SENTRA
PRODUKSI PERIKANAN DI PANTAI SELATAN KABUPATEN MALANG. (priyono & Rudi pratono)
|
2011
|
1.1 Latar Belakang
saat ini sebagian besar masyarakat pesisir masih dililit
kemiskinan. Berbagai fenomena kerusakan
lingkungan pesisir dan lautan bukan hanya disebabkan oleh industrialisasi,
tetapi juga seringkali diakibatkan oleh kemiskinan penduduk. Penduduk yang miskin akan menyeret kepada
keterpaksaan untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan lautan dengan
cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan
racun atau pestisida dengan tidak melihat keberlanjutan (sustainibility) sumberdaya alam yang ada.
Secara umum, permasalahan yang dialami para nelayan Indonesia
yang bergantung hidup dari perikanan tangkap terdiri dari dua bagian besar,
yaitu permasalahan internal dan permasalahan eksternal. Permasalahan internal
berasal dari ruang lingkup perikanan tangkap sendiri, khususnya dari stakeholder yang terlibat. Sedangkan
permasalahan eksternal berasal dari kebijakan pemerintah, atau sektor di luar
perikanan tangkap yang terkait.
Permasalahan
internal yang dihadapi diadapi para nelayan Indonesia umumnya adalah:
- Terjadi ketidakseimbangan dalam pemanfaatan SDI laut di Wilayah Pengelolaan Perikanan. Sebagian WPP, misalnya Selat Malaka) dan Laut Jawa telah mengalami overfishing, sementara WPP lain sudah mengalami padat tangkap dan ada pula yang masih underfishing.
- Lemahnya usaha perikanan tangkap skala kecil akibat minimnya kemampuan untuk meningkatkan produktifitas. Kemampuan yang rendah disebabkan penguasaan teknologi pengolahan yang rendah, keterbatasan akses permodalan, minimnya kemampuan manajemen, dan masih bersifat padat karya. Orientasi pengelolaan yang bersifat sistem kemitraan, seperti pola Grameen Bank perlu diadopsi.
- Sebaran pelabuhan perikanan masih belum merata. Pelabuhan yang terletak di WPP yang dekat dengan samudera masih berstatus pelabuhan perikanan pantai atau pelabuhan perikanan nusantara. Demikian juga dengan fasilitas pelabuhan perikanan di WPP yang masih underfishing belum ditingkatkan statusnya.
- Struktur armada perikanan nasional masih didominasi kapal skala kecil (tanpa motor). Jumlah kapal motor memang mengalami peningkatan terus-menerus, namun tidak sebanding dengan potensi lestari sumberdaya ikan. Hal yang juga harus diperhatikan adalah peningkatan kemampuan nelayan dan penggunaan alat tangkap yang efisien dan efektif.
- Skema perizinan yang masih birokratis dan implementasinya menuju skema pelayanan satu atap masih jauh dari harapan. Penyederhanaan izin bagi kapal perikanan Indonesia perlu dilakukan. Kapal perikanan Indonesia juga harus dikaji benar-benar mengingat keberpihakan terhadap nelayan lokal harus kuat.
- Masih terjadi konflik antar nelayan, baik itu konflik yang merupakan kelanjutan dari konflik tahun sebelumnya maupun konflik baru. Khususnya antara nelayan modern dengan nelayan tradisional. Upaya mengatasi konflik harus dilakukan secara sinergitas dan menggunakan skenario tertentu.
- Penetapan pungutan di bidang perikanan adalah produktivitas suatu kapal ikan tidak hanya ditentukan dari besar kecilnya ukuran GT kapal, namun jenis dan banyaknya hasil tangkapan yang mampu diproduksi oleh kapal ikan dalam setiap kali operasi penangkapan. Hal ini tergantung pada jenis alat tangkap dan lamanya waktu operasi penangkapan serta kapasitas palka dari kapal ikan itu sendiri.
- Perbedaan ukuran GT kapal pada dokumen kapal dengan ukuran GT kapal yang sesungguhnya. Permasalahan ukuran GT juga akan timbul pada kasus penanganan kapal-kapal ikan asing yang memiliki cara pengukuran GT yang berbeda dengan yang diterapkan di Indonesia atau internasional. Cek fisik atau pengukuran ulang GT kapal merupakan suatu langkah yang tepat untuk mengantisipasi penyimpangan ukuran GT atau keraguan terhadap ukuran GT kapal.
Sedangkan permasalahan
eksternal yang umumnya mereka hadapi adalah:
1. Kenaikan harga BBM terhadap usaha
perikanan tangkap menyebabkan beban biaya operasional penangkapan bagi nelayan
kecil bertambah. Hal yang sama terjadi pada usaha perikanan tangkap skala
besar. Rasio biaya BBM dan biaya operasional kapal mengalami peningkatan yang
signifikan yaitu 67 persen. Kenaikan harga BBM merupakan ihwal yang sulit untuk
dicegah mengingat harga minyak di pasaran dunia terus mengalami peningkatan.
Sehingga harus dicari alternatif pemecahannya dalam jangka panjang.
Dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 9 tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden No. 55 tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar
Minyak Dalam Negeri yang mulai berlaku sejak 11 April 2006 merupakan langkah
jangka pendek dan tidak mungkin diandalkan untuk mewujudkan visi 2020.
2. Merebaknya IUU Fishing yang telah banyak merugikan negara menyebabkan
pemikiran untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
harus dimulai. Kapal asing yang melakukan IUU Fishing harus ditenggelamkan agar tidak mungkin lagi mencuri ikan
di perairan Indonesia.
Berbagai
permasalahan diatas menyebabkan timbulnya kemiskinan Kemiskinan masyarakat
pesisir, khususnya nelayan, yang terutama ditimbulkan oleh enam penyebab utama:
a.
Hasil tangkap per satuan upaya (catch per unit of effort), yang dicerminkan
dalam bentuk hasil tangkap per hari per perahu/nelayan, relatif kecil dan
daerah-daerah yang telah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing), seperti Pantai Utara dan selatan Jawa dan Selatan
Sulawesi, cenderung menurun. Hasil
tangkapan juga bersifat fluktuatif, terkadang dapat hasil tangkapan baik,
tetapi seringkali hanya dapat hasil sedikit, bergantung ada, musim. Bergantung pada lokasi, dalam satu tahun
musim tangkapan yang baik berkisar antara empat sampai delapan bulan saja. Selain karena kondisi biofisik laut dan
sumberdaya ikan yang bersifat musiman tersebut, hasil tangkap yang rendah juga
disebabkan karena teknologi penangkapan (parahu/kapal penangkapan atau alat
tangkap) ikan yang digunakan oleh sebahagian besar nelayan Indonesia masih
bersifat tradisional. Sampai saat ini
sekitar 85% dari nelayan Indonesia
(yang berjumlah 2,8 juta) adalah nelayan tradisional.
b.
Dalam rantai tata niaga nelayan memiliki posisi
tawar (bargaining posistion) yang
sangat rendah ketika menjual hasil tangkapan (produk) maupun pada saat membeli
input produksi (seperti bahan bakar, jaring, es, dan bahan serta peralatan
lainnya). Hal ini disebabkan karena
nelayan menjual hasil tangkapnya tidak langsung kepada konsumen (pasar) akhir,
tetapi melalui beberapa pedagang perantara (midleman). Keuntungan terbesar (profit margin) bukan dinikmati oleh nelayan, tetapi sebagian besar
jatuh ke tangan para pedagang perantara (tengkulak). Misalnya, harga ikan kembung di tempat
pendaratan ikan di tempat pendaratan ikan di desa Gebang Mekar, Kecamatan
Babakan, Kabupaten Cirebon saat ini adalah Rp 2.000/kg, padahal harga jenis
ikan yang sama di Kota Cirebon sekitar Rp 5.000/kg, dan di Bogor Rp
8.0000/kg. Selain itu, harga jual ikan
para nelayan juga sering mengalami kondisi “market
glut”, suatu kondisi di mana pada saat hasil tangkapan nelayan baik
(melimpah) harga jual ikan turun secara drastis, sebaliknya ketika hasil
tangkapan berkurang (paceklik) harga jual ikan menjadi mahal. Sebaliknya, ketika para nelayan membeli input
produksi, mereka harus membayar kepada pedagang perantara di desanya dengan
harga yang jauh lebih mahal dari pada harga barang tersebut di tingkat produsen
(pabrik). Dengan perkataan lain, nelayan
dalam konteks tata niaga terjebak dalam kemiskinan struktural (structural poverty).
c.
Penguasaan dan penerapan teknologi pasca panen
(penanganan/handling dan pengolahan/processing) untuk hasil perikanan di Indonesia masih
sangat lemah. Padahal teknologi pasca
panen memegang peran yang sangat penting dalam memelihara kesegaran produk
perikanan, karena jenis produk ini sangat mudah busuk (highly perishable), dan dalam meningkatkan harga jual (nilai
tambah) produk. Harga ikan segar jauh
lebih mahal ketimbang harga ikan yang sudah busuk, bahkan ikan busuk biasanya
tidak ada harganya karena tidak sehat dikonsumsi oleh manusia. Contoh lain adalah dalam hal ekspor rumput
laut. Hampir semua ekspor rumput laut
Indonesia berupa rumput laut kering, tanpa diolah lebih dulu menjadi produk
semi-jadi atau produk jadi, seperti agar-agar, alginat, dan kareginan; sehingga
nilai tambah produk ini bukan Indonesia yang menikmati, tetapi negara pengimpor
yang banyak memperoleh nilai tambah nya melalui produk makanan sehat,
kosmetika, dan obat-obatan.
d.
Akses nelayan terhadap informasi, teknologi,
pasar, permodalan (kapital), dan manajamen usaha sejauh ini masih sangat
rendah. Oleh karena itu wajar, jika
menurut data BPS (1998) bahwa sebagian masyarakat peisir (nelayan) Indonesia tergolong kelompok masyarakat
termiskin dalam struktur sosial masyarakat Indonesia.
e.
Budaya dan pola pikir (mindset) sebagian besar masyarakat pesisir belum responsif dan
kondusif tehadap kemajuan dan pembangunan.
Misalnya, mereka sebagian besar belum mampu mengelola ekonomi keluarga
(pendapatan-pengeluaran) secara efisien dan optimal, mereka cenderung boros dan
enggan menabung.
f.
Kondisi prasarana dan sarana (fasilitas sosial
dan fasilitas umum), berupa pendidikan, air bersih, tempat ibadah, jalan,
listrik, komunikasi, dan lainnya; serta sanitasi lingkungan hampir semua perkampungan
pesisir (nelayan) di Indonesia
tergolong buruk dan kumuh. Wajar bila
kondisi kesehatan para nelayan juga relatif kurang baik.
Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan sektor kelautan Indonesia
memiliki tiga ciri strategis yaitu,
a. Harus
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi berupa devisa, sumbengan terhadap PDB,
penyerapan tenaga kerja dan beberapa indikator dasar perekonomian lainnya.
b. Harus
mampu memberikan keuntungan yang berarti bagi semua pelaku usaha dan mampu
meningkatkan kesejahteraan nelayan serta petani ikan tradisional yang masih
terbelakang. Dengan kata lain bidang kelautan dan perikanan harus dapat
memberikan pemerataan (equality) kesejahteraan bagi semua pelaku usaha secara
proposional.
c. Pembangunan
kelautan dan perikanan harus mampu
memelihara kualitas dan daya dukung lingkungannya, sehingga pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan dapat
berlangsung secara berkesinambungan.
Untuk mewujudkan kondisi tersebut diatas maka perlu
dipertimbangkan bahwa wilayah pesisir dan laut memiliki potensi yang sangat
besar dimana terbuka peluang yang besar pula untuk memanfaatkannya, akan tetapi
kendala terbesar bagi pemanfaatan potensi dan peluang tersebut terletak pada
kemampuan domestik, serta tatanan kelembagaan yang tersedia. Oleh kerana itu
peluang tersebut harus dimanfaatakan seoptimal mungkin oleh para pelaku usaha
demi kepentingan pembangunan masyarakat seluas-luasnya. Perlu disadari pula
bahwa peran pemerintah dalam hal ini bahwa peran pemerintah dalam pemanfaatan
sumberdaya tersebut hanya terbatas sebagai fasilitator, dinamisator dan
regulator. Oleh karena itu pemerintah harus memberikan dukungan dan kesempatan
seluas-luasnya pada setiap kelompok masyarakat.
Dengan memperhatikan potensi sumberdaya alam, prospek
perkembangan usaha, sarana dan prasarana serta kondisi sosial-ekonomi
masyarakat nelayan di Kawasan Sentra Produksi (KSP) Perikanan Laut Pantai
Selatan Jawa Timur, khususnya Kabupaten Malang serta dengan mempertimbangkan
visi pembangunan kelautan dan perikanan Nasional, maka dipandang perlu untuk
melakukan studi terapan (action research).
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok sebagai
berikut:
a.
Bagaimana
potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh komunitas nelayan di KSP Perikanan
Laut di Pantai Selatan Kabupaten Malang.
b. Bagaimana
konsep pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang propinsi
Jawa Timur dalam upaya pemerataan pembangunan perikanan dan pengembangan
wilayah.
c. Apa
kebutuhan sarana pokok dan pendukung yang dapat merealisasikan program
pengembangan yang dibuat di KSP Perikanan di Kabupaten Malang.
d. Bagaimana
rancangan model pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang
yang dapat menjamin keberlanjutan usaha.
e. Bagaimana
bentuk atau model pendekatan yang sesuai untuk memberdayakan komunitas
masyarakat nelayan.
f. Program
diversifikasi apa yang dapat dikembangkan berdasarkan potensi yang ada di
setiap KSP Perikanan laut Pantai Kabupaten Malang.
1.3. Tujuan dan manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
a. Mengidentifikasi lokasi potensi dan
permasalahan di Kawasan Sentra Produksi Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten
Malang.
b. Mengklasifikasikan KSP Perikanan Laut
Pantai Selatan Kabupaten Malang berdasarkan potensi produksi, teknologi
pengolahan pasca panen, dan pemasaran.
c. Menyusun konsep pengembangan KSP Perikanan
Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang dalam upaya pemerataan pembangunan
perikanan dan pengembangan wilayah.
d. Menyusun
model pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang berwawasan
lingkungan.
e. Menyusun dan mengembangkan model
pemberdayaan masyarakat nelayan Kabupaten Malang dengan melibatkan seluruh
pelaku usaha perikanan laut.
f. Menyusun
strategi pengembangan agroindustri perikanan laut Pantai Kabupaten Malang.
1.3.2 Manfaat Penelitian
a. Diperoleh
suatu model pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang sehingga
dapat digunakan sebagai sebagai dasar pengambilan keputusan dalam perencanaan
pembangunan wilayah.
b. Dapat
dirumuskan suatu kebijakan pengembangan di setiap KSP Perikanan Laut Pantai
Selatan Kabupaten Malang sesuai dengan karakteristik potensi sumberdaya,
perkembangan teknologi, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat.
c. Model
dapat diadopsi untuk program pengembangan di KSP Perikanan Laut di wilayah yang
lain.