Selamat Datang Pada Web Dr. Priyono, MM yang merupakan terobosan baru untuk kelanjaran dan keberlangsungan sebuah proses pembelajaran bagi Mahasiswa UNIPA Surabaya…!!!! Priyono is The Best Lecturers: PENDEKATAN PENELITIAN KUANTITATIF

Senin, 20 Februari 2012

PENDEKATAN PENELITIAN KUANTITATIF

A.    Asumsi Dasar Pendekatan Kuantitatif
Dalam penelitian ilmu sosial, setidaknya kita mengenal dua pendekatan yang memengaruhi proses penelitian, mulai dari merumuskan permasalahan hingga mengambil kesimpulan. Neuman menambahkan satu pendekatan lagi, yakni pendekatan ciritical. Setiap pendekatan memiliki asumsi dasar yang berbeda. Asumsi dasar yang ada di dalam pendekatan kuantitatif bertolak belakang dengan asumsi dasar yang dikembangkan di dalam pendekatan kualitatif. Asumsi dasar inilah yang memengaruhi pada perbedaan dari cara pandang peneliti terhadap sebuah fenomena dan juga proses penelitian secara keseluruhan. Dalam buku ini, kita akan membahas mengenai empat asumsi dasar yang ada dalam ilmu sosial.
Sebelum kita membahas asumsi dasar dari penelitian kuantitatif, kita perlu memiliki kesepakatan terlebih dahulu tentang pemakaian konsep “kuantitatif”. Setidaknya ada tiga penggunaan konsep ini di dalam penelitian, yaitu pertama, kita bicara mengenai pendekatan kuantitatif. Ada beberapa kalangan yang mengatakan bahwa pendekatan sama dengan paradigma, bahkan sama dengan perspektif. Dalam buku ini, kita sedikit membedakan antara paradigma dan pendekatan (sekalipun asumsi dasar yang digunakan sedikit banyak sama). Paradigma dikembangkan di dalam lingkup bidang studi, seperti misalnya di dalam sosiologi terdapat tiga paradigma, yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, serta paradigma perilaku sosial. Lain lagi dalam antropologi. Paradigma yang berkembang adalah paradigma idiografis dan paradigma perilaku. Paradigma bisa diartikan sebagai sudut pandang dalam melihat suatu fenomena atau gejala sosial. Pendekatan dikembangkan di dalam lingkup ilmu sosial sehingga di dalam sosiologi antropologi dan ilmu sosial lainnya dikenal pula pendekatan yang sama, yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Sekali lagi, karena asumsi dasar yang digunakan kurang lebih sama, memang sulit untuk membedakan antara pendekatan dan paradigma.
Kembali pada pemakaian tentang kuantitatif. Selain pendekatan kuantitatif, kita juga menggunakan kuantitatif dalam konteks metode kuantitatif, dan data kuantitatif. Ada satu hal yang perlu ditekankan di sini karena sering kali terjadi salah kaprah yang berkembang sehingga pemakaian konsep “pendekatan kuantitatif”, “metode kuantitatif”, serta “data kuantitatif” disamaratakan. Hal ini mengakibatkan dalam penerapan penelitian pengertian konsep-konsep tadi menjadi salah. Ambil saja contoh adanya anggapan bahwa dalam sebuah penelitian kita bisa menggunakan kedua pendekatan yang ada sekaliagus. Pertanyaan adalah bagaimana mungkin dengan asumsi dasar yang bertolak belakang, kemudian diterapkan dalam sebuah penelitian? Nanti akan disajikan perbedaan antara asumsi dasar yang ada di dalam pendekatan kuantitatif dan kualitatif agat pembaca menyadari bahwa asumsi dasar dari masing-masing pendekatan bertolak belakang. Kondisi yang memungkinkan adalah dalam satu penelitian kita hanya bisa menggunakan satu pendekatan, baik pendekatan kuantitatif maupun pendekatan kualitatif. Namun, dalam satu penelitian yang sama, kita bisa menerapkan kedua metode yang ada, yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif, dan akhirnya kita menghasilkan data kuantitatif dan data kualitatif. Tentunya jika kita menggunakan pendekatan kuantitatif, penekanan utamanya adalah metode kuantitatif. Metode kualitatif kita gunakan untuk melengkapi metode kuantitatif yang kita gunakan. Demikian pula dalam pendekatan kuantitatif. Karena kita menggunakan metode kuantitatif sebagai metode utama, data yang akan kita hasilkan adalah data kuantitatif sebagai data utama, sedangkan data kualitatif hanya digunakan sebagai data penunjang. Dengan demikian, jika ada anggapan bahwa dalam satu penelitian kita bisa menggunakan kedua pendekatan yang ada, pendapat itu salah atau bisa jadi yang dimaksud orang tersebut dengan pendekatan adalah metode.
Setelah kita mengenal perbedaan antara paradigma dan pendekatan, serta penggunaan “kuantitatif” dalam penelitian, kita akan membahas mengenai asumsi dasar yang ada di dalam pendekatan kuantitatif. Adapun asumsi dasar pendekatan kualitatif hanya akan disajikan dalam bentuk skema, hanya untuk memperlihatkan perbedaan antara asumsi dasar dalam pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif.







 


Gambar 2.1 Hubungan Pendekatan, Metode, dan Data
1.      Asumsi Dasar Ontologi (Hakikat Dasar Gejala Sosial)
Gejala sosial dikatakan sebagai sesuatu gejala yang real, yang dapat diungkap dengan menggunakan indra manusia. Karena suatu gejala adalah real, bisa terjadi kesepakatan di antara individu-individu yang ada di sekitarnya, dan suatu ketiga gejala tersebut menjadi sebuah fenomena yang sifatnya universal dan diakui oleh banyak orang. Gejala sosial yang real ini dapat dianalogikan dengan permainan anak-anak. Suatu ketiga ada anak yang sedang bermain dengan teman-temannya. Mereka sedang bermain perang-perangan. Anak yang satu segera membuat sebuah lingkaran yang besar di atas pasir, kemudian ia mengatakan bahwa area di dalam lingkaran yang ia buat merupakan area kedaulatan negaranya. Kemudian, ia mengambil empat buah batu besar dan meletakkan di sisi pinggir bagian dalam lingkaran dan mengatakan bahwa keempat batu tersebut adalah benteng pertahanan. Kemudian, ia mengambil tas sekolahnya dan meletakkan di tengah lingkaran dan mengatakan pada teman-temannya bahwa tas tersebut adalah pusat pemerintahan negara yang ia buat. Dengan demikian, konsep negara yang dibat oleh anak tersebut dengan kesepakatan teman-temannya adalah sebuah lingkaran besar yang didalamnya terdapat empat batu besar sebagai benteng pertahanan, serta ditengah lingkaran terdapat tas sekolah sebagai pusat pemerintahan. Fenomena sosial (negara, benteng pertahanan serta pusat pemerintahan) adalah sesuatu yang real, nyata sehingga jika dalam permainan ada seseorang anak yang berencana menyerang negara tersebut, ia tahu bahwa ia harus menghancurkan keempat batu yang ada karena keempat batu itu merupakan benteng pertahanan. Fenomena ini menjadi suatu yang universal karena ada pengakuan dan kesepakatan di antara anak-anak yang bermain mengenai negara yang sudah dibuat. Analogi permainan anak-anak ini ingin menggambarkan bahwa suatu gejala suatu fenomena adalah nyata.
Ilustrasi 2.1.
2.      Asumsi Dasar Epistemologi (Hakikat Dasar Ilmu Pengetahuan)
Suatu gejala adalah nyata. Karena gejala itu sifatnya nyata, gejala yang ada bisa dipelajari. Gejala yang ada bisa ditangkap dengan menggunakan indra. Dengan demikian, kita bisa membuat perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Kembali ke permainan anak-anak tadi, kita bisa katakan kalau lingkaran yang di dalamnya terdapat tas sekolah dan empat batu besar sebagai negara si A, sehingga ketika anak yang lain membuat sebuah kotak dan didalamnya diletakkan empat sepatu dan sebuah bola, kotak yang dibuat itu bukan negara si A, tetapi negara si B. Dengan demikian secara epistemologis, kita bisa membuat tipologi-tipologi untuk membedakan satu gejala dengan gejala yang lain.
Ilustrasi 2.2.



 


Epistemologi mencakup tiga hal, yaitu sebagai berikut :
  1. Keterkaitan antara Ilmu dengan Nilai
Individu adalah seorang yang bebas nilai. Bebas nilai dapat diartikan bahwa individu tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada di antara orang-orang yang sedang diteliti. Bebas nilai karena individu telah memiliki seperangkat nilai yang ia gunakan untuk meneliti orang-orang tersebut. Nilai yang ia bawa dan gunakan adalah nilai-nilai yang sifatnya universal. Dengan sifat yang universal itu, individu berasumsi bahwa orang-orang yang akan ia teliti memiliki nilai-nilai yang sama dengan nilai-nilai yang ia bawa. Dalam praktiknya di lapangan digambarkan sebagai berikut. Kalau ada kesepakatan bahwa setiap orang dilarang merokok di dalam angkutan umum, nilai-nilai kesepakatan itu akan diterapkan kepada semua orang. Peneliti bisa mengabaikan seseorang memiliki penilaian bahwa ia adalah manusia bebas sehingga boleh memutuskan apakah ia akan merokok atau tidak. Karena nilai yang digunakan adalah nilai yang universal, peneliti dapat menyatakan bahwa orang yang memiliki penilaian yang berbeda tentang boleh tidaknya merokok di angkutan umum sebagai orang yang salah. Dengan bebas nilainya individu (dalam hal ini peneliti), peneliti dapat lebih objektif.
  1. Keterkaitan antara Ilmu dengan Akal Sehat
Segala sesuatu yang diperoleh dengan menggunakan cara yang ilmiah atau yang kita kenal sebagai ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang lebih baik dibandingkan dengan akal sehat belaka. Dengan demikian, pada saatnya nanti ilmu pengetahuan akan menggantikan akal sehat.
  1. Metodologi
Logika pemikiran ilmiah yang mencakup proses pembentukan ide dan gagasan diberlakukan secara ketat dengan memakai prinsip nomotetik dan menggunakan pola deduktif. Prinsip nomotetik menggarisbawahi bahwa dalam melihat keterkaitan antara suatu gejala sosial dengan gejala sosial yang lain, difokuskan kepada beberapa faktor atau gejala yang krusial saja, dan mengesampingkan gejala atau faktor sosial yang lalu. Dengan prinsip tersebut, tak jarang dalam penelitian kita hanya akan melihat hubungan antara satu akibat dengan dua atau tiga sebab saja. Dua atau tiga sebab ini yang diyakini atau diduga sebagai faktor atau gejala yang krusial. Pola deduktif menunjukkan bahwa pemikiran yang dikembangkan di dalam penelitian didasarkan pada pola yang umum atau universal untuk kemudian mengarah pada pola yang lebih sempit dan spesifik.
3.      Hakikat Dasar Manusia
Dengan adanya pola yang bersifat universal, pada gilirannya manusia sesungguhnya diatur dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Kalau kembali pada analogi tentang permainan anak-anak tadi, karena sudah ada kesepakatan tentang adanya batas kedaulatan negara, seorang anak tidak bisa begitu saja masuk ke dalam lingkaran yang ada tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada anak yang sudah membuat lingkaran tersebut. Anak tersebut tidak bisa begitu saja masuk ke dalam kotak yang dibuat oleh anak yang lain. Di sini terlihat bahwa manusia pada akhirnya harus tunduk pada pola-pola yang sifatnya universal tadi. Manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Manusia bukan merupakan individu yang bebas. Dalam kenyataan hidup kita sehari-hari, kita pasti mengalami bahwa dalam setiap tindakan, perkataan, serta perilaku kita diatur oleh sebuah hukum yang universal. Kita tidak bisa melepaskan pakaian di tengah keramaian. Kita tidak bisa datang jam 10 ke sekolah kalau sudah ditetapkan jam masuk sekolah adalah jam tujuh, dan masih banyak belenggu yang mengikat kita. Kita adalah manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan.
4.      Aksiologi (Tujuan Dilakukannya sebuah Penelitian)
Tujuan dilakukannya sebuah penelitian adalah dalam upaya untuk menemukan hukum universal dan mencoba menjelaskan mengapa suatu gejala atau fenomena terjadi, dengan mengaitkan antara gejala atau fenomena yang satu dengan gejala atau fenomena yang lain.
Dari penjelasan yang ada tentang asumsi dasar pendekatan kuantitatif, terlihat bahwa antara asumsi yang satu dengan asumsi yang lain saling berkaitan. Dengan demikian, jika suatu gejala memiliki asumsi dasar bahwa suatu gejala adalah real, secara epistemologi gejala tersebut bisa dipelajari, secara aksiologi, penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk mencari penjelasan-penjelasan antara gejala. Secara skematis, kita bisa lihat perbedaan antara asumsi dasar dalam pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif.
Tabel 2.1.  Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif dDilihat dari Berbagai Asmsi yang Ada
Asumsi Dasar
Kuantitatif
Kualitatif
Ontologi (hakikat dasar gejala sosial)
Hakikat dasar manusia
Epistemologi (hakikat dasar ilmu pengetahuan)
-        Kaitan ilmu dengan nilai
-        Kaitan ilmu dengan akal sehat
-        Metodologi
Aksiologi
-        Real
-        Berpola
-        Rasional
-        Diatur oleh hukum universal
-        Bebas nilai
-        Ojektif
-        Ilmu adalah cara terbaik memperoleh pengetahuan
-        Deduktif
-        Nomotetik
Menemukan hukum universal, mencari penjelasan
-        Dibuat melalui definisi
-        Hasil makna dan interpretasi
-        Memberi makna
-        Bebas
-        Tidak bebas nilai
-        Subjektif
-        Akal sehat adalah teori orang awam yang perlu dipahami
-        Induktif
-        Idiografik
Menemukan arti pemahaman
B.     Contoh Penggunaan Pendekatan dalam Kehidupan Sehari-hari
1.      Bentrokan antara Aparat Keamanan dan Mahasiswa yang Berdemonstrasi
Akhir-akhir ini frekuensi bentrokan antara aparat keamanan dan mahasiswa menjadi semakin sering. Mahasiswa melakukan aksi demo di depan gedung DPR. Sementara mereka berusaha untuk memasuki areal gedung, mereka juga mengatakan bahwa pemerintahan yang sekarang adalah pemerintah yang berpihak pada penguasa dan bukan pada rakyat. Ketika mahasiswa diminta untuk membubarkan diri, mereka justru berteriaka dan memaksa masuk. Bentrokan pun tak terelakkan lagi. Banyak dari kalangan mahasiswa dan juga aparat keamanan yang terluka. Ketika ditanya mengapa benturan tersebut sampai terjadi, mahasiswa justru menanyakan sesungguhnya gedung DPR milik siapa, milik rakyat atau milik penguasa. Jika milik rakyat, mengapa mereka yang juga rakyat tidak boleh masuk ke gedung tersebut? Sementara di dalam pagar, aparat keamanan membuat pagar betis dan tetap melarang mahasiswa masuk. Ketika ditanya tentang terjadinya bentrokan hingga ada yang terluka, aparat dengan sigap menjawab bahwa segal ayang dilakukan oleh aparat keamanan sudah sesuai prosedur. Bagaimana kita melihat fenomena terjadinya bentrokan antara aparat keamanan dan mahasiswa? Kita bisa menjawabnya dengan memakai kerangka pendekatan penelitian. Masih ingat tentang pernyataan bahwa dalam sebuah penelitian kita hanya bisa menggunakan satu pendekatan saja? Apa akibatnya jika dalam sebuah penelitian kita menggunakan dua pendekatan yang berbeda? Jawaban atas pertanyaan tersebut ada di dalam kasus tentang bentrokan antara aparat keamanan dan mahasiswa. Aparat keamanan menggunakan pendekatan kuantitatif. Hal yang paling jelas adalah jawaban aparat keamanan yang mengatakan segala yang dilakukan “sudah sesuai prosedur”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa aparat memiliki nilai yang universal, yang sebuah peraturan. Mereka bukan lagi individu yang bebas, namun tunduk pada pola yang umum (hukum). Sebaliknya mahasiswa menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan bertemunya antara pendekatan kuantitatif dengan pendekatan kualitatif dalam satu fenomena, yang terjadi adalah benturan-benturan. Demikian pula dalam penelitian yang sesungguhnya. Jika peneliti akan menggunakan kedua pendekatan yang ada dalam satu penelitian, yang terjadi adalah benturan-benturan pemikiran sehingga penelitian itu tidak akan pernah bisa dilakukan.
2.      Perilaku Remaja
Sujono adalah seorang mahasiswa yang berasal dari Solo dan sudah lama tinggal di Jakarta. Keberadaannya di Jakarta dalam rangka melanjutkan kuliah. Sudah lama juga ia berpacaran dengan Sujanti, mahasiswi yang juga berasal dari Solo dan juga sudah lama tinggal di Jakarta. Selama di Jakarta, mereka berpacaran dengan gaya yang bebas. Mereka tidak malu untuk saling berpelukan di tengah keramaian. Mereka tidak malu untuk saling bergandengan tangan, menyusuri mal yang satu ke mal yang lain. Bahkan mereka tidak malu lagi untuk berciuman di depan umum. Pada saat liburan semester, mereka berencana pulang ke Solo bersama. Mereka memilih untuk naik kereta api ke Solo. Sepanjang perjalanan, mereka berperilaku seperti biasa yang mereka lakukan selama berpacaran. Orang-orang yang berada di sekitar tempat duduk mereka pun menjadi risih melihat perilaku mereka. Ketika kereta sampai di Solo, perilaku yang ditampilkan oleh Sujono dan Sujanti langsung berubah. Mereka tidak lagi jalan berangkulan, dan bahkan mereka menjaga jarak di antara tubuh mereka. Tidak lagi bergandengan tangan apalagi berciuman di depan umum. Bisa dikatakan mereka mengubah perilaku mereka 180 derajat. Bagaimana kita bisa mencermati kejadian ini dengan memakai pendekatan kuantitatif. Mereka dipengaruhi oleh lingkungan. Di Jakarta mereka bisa berperilaku secara bebas, namun ketika mereka berada di Solo, yang konon masyarakatnya masih memegang sopan santun yang tinggi, mereka tidak berani lagi berperilaku seperti di Jakarta. Perubahan perilaku ini menunjukkan bahwa mereka adalah individu yang tunduk pada pola yang bersifat universal, yaitu aturan masyarakat Solo.