Selamat Datang Pada Web Dr. Priyono, MM yang merupakan terobosan baru untuk kelanjaran dan keberlangsungan sebuah proses pembelajaran bagi Mahasiswa UNIPA Surabaya…!!!! Priyono is The Best Lecturers: Peran Lulusan Fakultas Ekonomi dalam Dunia Kerja

Senin, 20 Februari 2012

Peran Lulusan Fakultas Ekonomi dalam Dunia Kerja

Ahmad Idris adh.
Abstrak
Alasdair Gray, seorang novelis Scotlandia, pernah mengatakan bahwa setiap orang melihat kehidupan melalui pekerjaan mereka. Menurut Gray, seorang dokter melihat dunia sebagai rumah sakit; seorang pialang melihat dunia sebagai pasar modal, dan bagi pengacara dunia ini adalah lahan pengadilan yang luas. Pernyataan di atas kurang lebih bisa dianalogikan bahwa bagi sarjan ekonomi dunia ini diharapkan memberikan lapangan kerja seluas-luasnya di bidang perbankan, perpajakan, akuntansi, industi, dan marketing. Harapan demikian tidak sepenuhnya keliru. Tetapi perlu diingat bahwa dunia selalu berubah sehingga menuntut para sarjana ekonomi dan sarjana lain siap berdaptasi.
I. Sarjana dan Kesarjanaan
Gelar sarjana (S1) dengan segala kelengkapan berupa berbagai mata kuliah yang ditempuh selama kurang lebih 4 (empat) tahun (atau 7-10 semester) di perguruan tinggi, pada dasarnya merupakan sebuah kunci untuk membuka berbagai pintu. Berbagai pintu itu berupa macam-macam bidang pekerjaan yang bukan saja dapat memberikan penghasilan bagi sarjana itu sendiri, tapi juga bagi orang lain. Kunci inilah yang tampaknya masih belum bisa difungsikan secara maksimal oleh para pemegangnya—para sarjana yang sudah melengkapi diri dengan berbagai materi dari berbagai mata kuliah tersebut.
Saat ini—pada masa sulit seperti ini—banyak sarjana yang mengatakan bahwa mencari pekerjaan adalah hal yang sangat sulit. Begitu sulitnya mencari pekerjaan sehingga saat ini sering pula terdengar ungkapan “makin banyak sarjana di Indonesia, maka semakin meningkat pula jumlah pengangguran”. Walaupun pernyataan tersebut kurang korelatif, pernyataan tersebut memang ada benarnya sebab sesorang yang sudah mencapai gelar sarjana biasanya akan merasa malu menjadi petani di desa atau pedagang mie goreng dorong yang keluar masuk kampung. Mereka takut orang kampung akan bertanya, “Loh, Mas. Bukannya dulu pernah kuliah di Universitas sebelah sana?” Belum lagi kalau ada yang mencemooh dengan nada yang menyakitkan, “Memang dulu belajar di jurusan marketing mie goreng?” Di sinilah rupanya salah satu dari sekian banyak fenomena yang ada saat ini: mengapa setelah meraih gelar sarjana, justru generasi muda kita merasa semakin menjadi bingung oleh kesersajanaan yang dimilikinya.
II. Antara Harapan dan Kompetensi
Sulitnya mencari pekerjaan ini bukan saja disebabkan oleh keadaan yang memang sulit. Hal yang tak kalah penting yang justru perlu lebih diperhatikan adalah adanya kekeliruan dalam memahami diri sendiri sebagai seorang sarjana. Untuk melihat dengan jelas tentang kekeliruan dalam memahami diri sendiri ini, setiap mahasiswa bisa melihat VISI, MISI, dan FUNGSI universitas masing-masing di dalam Buku Pedoman Universitas, di mana hampir semua universitas di Surabaya senada dalam menuliskan tentang standar kompetensi lulusan mereka masing-masing. Beberapa point standar kompetensi tersebut antara lain terbaca seperti di bawah ini:
  1. Menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian di bidang kependidikan atau non-kependidikan pada taraf relatif tinggi dan dapat menerapkannya secara profesional di dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan nasional.
  1. Menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni di bidang kependidikan atau non-kependidikan dan dapat mengembangkan serta menciptakan iptek baru sesuai dengan bidang keahliannya yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan kebutuhan pembangunan nasional.
  1. Memiliki mental kewirausahaan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan mampu bersaing di pangsa pasar kerja dalam era globalisasi.
  1. Memiliki kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi secara aktif dengan berbagai perubahan yang muncul serta mampu memecahkan berbagai masalah yang terkait dengan bidang kependidikan dan non-kependidikan.
Empat standar kompetensi lulusan di atas merupakan rangkuman yang dirampatkan dari berbagai standar kompetensi lulusan yang tertulis di berbagai Buku Pedoman berbagai universitas di Surabaya.
Dari empat standar kompetensi di atas, bisa dipahami bahwa masih ada beberapa hal yang belum dicapai oleh mahasiswa/wi yang sudah lulus dengan nilai rata-rata lebih dari tiga koma lima puluh sekalipun. Untuk standar lulusan nomor 1 dan 2, misalnya, mungkin sarjana—sebagai lulusan S1—sudah menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni atau kesenian. Tapi bagaimana dengan menerapkannya sehingga bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan pembangunan nasional? Kalau menerapkannya saja begitu sulit, bagaimana dengan menciptakan iptek baru sesuai bidang keahliannya? Dengan kata lain, kalau standar lulusan nomor 1 dan 2 sulit untuk dicapai, tampaknya standar nomor 3 dan 4 akan lebih jauh panggang dari api.
Bertolak belakang dengan standar nomor 3, di mana lulusan dikehendaki untuk mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan mampu bersaing di pangsa pasar, tampaknya lulusan S1 dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia masih berpikir sebaliknya. Lebih jelasnya, kebanyakan—kalau tidak semua—sarjana atau lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia masih banyak yang berfikir untuk “mencari” pekerjaan, bukan “menciptakan” lapangan pekerjaan. Karena masih berpikir mencari, maka tentu saja mereka mengharapkan pekerjaan itu datang dari pemerintah atau orang lain. Padahal, yang berpikir demikian ini tidak sedikit. Artinya sarjana-sarjana yang lain yang juga mencari dan mengharapkan pekerjaan yang juga diharapkan oleh hampir semua sarjana tersebut. Lebih malang lagi, mereka mencari pekerjaan yang—kadangkala—harus sesuai dengan latarbelakang kesarjanaannya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Alasdair Gray, bahwa setiap orang melihat hidup melalui pekerjaan (Gray dalam Andrews, 2001:167).
III. Menciptakan Lapangan Kerja
Sebenarnya, ketika beribu, atau beratus ribu, bahkan berjuta sarjana sudah memperebutkan pekerjaan yang jumlahnya sangat terbatas, di situlah para sarjana dituntut untuk mengandalkan IPK (Imajinasi, Produktifitas, dan Kreatifitas) mereka masing-masing. IPK yang tinggi inilah yang seharusnya membuat seorang sarjana mampu menciptakan lapangan kerja, baik untuk diri sendiri maupun beberapa orang lain atau bahkan sarjana sebayanya. Bayangkan jika 1 (satu) saja dari 10 (sepuluh) sarjana kita mampu menciptakan lapangan kerja untuk diri dan beberapa kawan sebagai mitra atau asistennya. Sungguh akan merupakan prestasi yang luar biasa dan mungkin akan mampu menolong keadaan yang tak kunjung berubah ini.
            Contoh sebuah langkah MENCIPTAKAN lapangan pekerjaan adalah—misalnya—mendirikan Perusahaan Supply Urug. Perusahaan ini melaksanakan bisnis angkutan darat, di mana perusahaan ini bekerja dengan cara mengangkut tanah hasil kerukan pendangkalan sungai dan atau serpihan bangunan yang direnovasi oleh pemiliknya. Tanah dan serpihan-serpihan tadi diangkut ke lahan-lahan yang memerlukan urug untuk meninggikan level tanah sebelum didirikan bangunan di atasnya (perusahaan demikian kadang disebut leveransir). Dari mengangkut tanah kerukan yang tersedia di tepi sungai yang telah mengering dan serpihan bangunan (rubble) ini, Perusahaan Supply Urug sebagai pengangkut mendapat upah dari pemerintah desa atau kecamatan setempat dan dari pemilik bangunan yaang direnovasi karena telah mengangkat “sampah” dari tempatnya.
Di samping itu, perusahaan ini juga menjual tanah dan serpihan-serpihan yang diangkut ini kepada pemilik lahan yang perlu meninggikan lahannya. Upah angkut tanah dan serpihan serta harga jual barang-barang yang tak dibutuhkan ini relatif tinggi. Untuk sekali angkut, upah plus harga jual yang diperoleh selalu lebih dari cukup untuk membayar 2-3 kuli yang menaikkan serta menurunkan barang-barang tersebut di lokasi-lokasi yang ditentukan serta beaya solar dan sewa truck-truck yang digunakan mengangkut.
            Bisnis angkutan darat seperti ini memang memerlukan investasi utamanya berupa truck-truck sebagai pengangkut. Tapi, bukankah di tepi-tepi jalan banyak kita temui truck-truck yang diparkir dengan tulisan “DISEWAKAN?” Nah, truck-truck yang sedang menganggur seperti ini tentunya bisa dimanfaatkan secara sewa-pakai atau bagi hasil sehingga menjadi lebih “produktif”. Tentu saja sewa-pakai atau bagi hasil itu dengan kesepakatan sedemikian rupa dan sebelumnya sudah dilakukan survey lokasi pengambilan tanah atau serpihan urug dan lokasi pengiriman urug tersebut. Dengan demikian, pekerjaan ini bukan sekedar “imajinatif”, tapi akan sesuai dengan hasil survey lapangan di mana pembeli atau konsumen urug sudah bisa dipastikan.
            Bisa dibayangkan, jika satu truck mempekerjakan seorang sopir plus 2 atau 3 kuli yang menaikkan dan menurunkan urug. Jika 5 truck dikaryakan untuk bisnis angkutan ini, maka bisnis ini akan mampu menciptakan lapangan kerja untuk 15 – 20 orang. Sebuah prestasi sederhana tapi cukup untuk membuka lapangan kerja di tengah sulitnya mencari pekerjaan seperti saat ini. Anehnya, bisnis seperti ini hanya dilakukan oleh segelintir orang yang sebagian besar “bos-bosnya” hanya lulusan SMP atau SMA sederajat. Padahal, penghasilan yang mereka dapat bisa mencapai 3 sampai 5 kali gaji seorang sarjana.    
            Peluang di atas hanya salah satu dari sekian banyak contoh peluang yang bisa dicoba oleh seorang saarjana. Peluang lain cukup banyak. Bisa diyakini bahwa, sebagai sarjana, peluang-peluang lain sebenarnya sudah ada di benak masing-masing. Hanya saja, sebagai sarjana biasanya para lulusan perguruan tinggi sering diliputi keraguan dan rasa malu untuk memulai usaha yang sudah di angan-angan sejak lama sehingga ketika seorang teman melakukan usaha seperti yang diangani tersebut, mereka hanya bisa menyesal.
            Perlu dicatat bahwa manakala seorang sarjana sudah berpikir untuk meminta bantuan beberapa orang yang akan membantu menjadi sopir atau atau kuli, hal itu sudah merupakan usaha untuk MENCIPTAKAN lapangan pekerjaan bagi orang lain. Dan ketika seorang sarjana sudah membuka lapangan kerja bagi orang lain, sarjana tersebut sudah berpartisipasi dalam usaha mengentaskan sebagian—meskipun sebagian kecil—rakyat dari kesulitan yang masih melilit bangsa ini. Jika diukur dengan standar kompetensi yang dikemukakan di atas, adalah aneh jika seorang sarjana bingung dalam menentukan langkahnya. Padahal, kemana seorang sarjana akan melangkah sudah tertulis di dalam “imajinasi” nya.
References:
Andrews, Roberts. The New Penguin Dictionary of Modern Quotations. London: The Penguin
         Books, 2001.
Ann. Buku Pedoman Universitas Airlangga 2008 - 2009. Surabaya: Airlangga University
         Press, 2008 – 2009.
Ann. Buku Pedoman Universitas Negeri Surabaya (UNESA) 2007 - 2008. Surabaya: UNESA
         Press, 2007. 
Jamil, Zamhasari. Kemana Setelah Menjadi Sarjana? Aligarh: Department of Political
         Science, Aligarh Muslim University, Aligarh, 2006. Retrieved from: