Ahmad Idris
adh.
Abstrak
Alasdair Gray, seorang novelis Scotlandia, pernah mengatakan bahwa
setiap orang melihat kehidupan melalui pekerjaan mereka. Menurut Gray, seorang
dokter melihat dunia sebagai rumah sakit; seorang pialang melihat dunia sebagai
pasar modal, dan bagi pengacara dunia ini adalah lahan pengadilan yang luas.
Pernyataan di atas kurang lebih bisa dianalogikan bahwa bagi sarjan ekonomi
dunia ini diharapkan memberikan lapangan kerja seluas-luasnya di bidang
perbankan, perpajakan, akuntansi, industi, dan marketing. Harapan demikian
tidak sepenuhnya keliru. Tetapi perlu diingat bahwa dunia selalu berubah
sehingga menuntut para sarjana ekonomi dan sarjana lain siap berdaptasi.
I. Sarjana dan
Kesarjanaan
Gelar sarjana (S1) dengan segala kelengkapan berupa
berbagai mata kuliah yang ditempuh selama kurang lebih 4 (empat) tahun (atau 7-10
semester) di perguruan tinggi, pada dasarnya merupakan sebuah kunci untuk membuka
berbagai pintu. Berbagai pintu itu berupa macam-macam bidang pekerjaan yang
bukan saja dapat memberikan penghasilan bagi sarjana itu sendiri, tapi juga
bagi orang lain. Kunci inilah yang tampaknya masih belum bisa difungsikan
secara maksimal oleh para pemegangnya—para sarjana yang sudah melengkapi diri
dengan berbagai materi dari berbagai mata kuliah tersebut.
Saat ini—pada masa sulit seperti ini—banyak sarjana yang
mengatakan bahwa mencari pekerjaan adalah hal yang sangat sulit. Begitu
sulitnya mencari pekerjaan sehingga saat ini sering pula terdengar ungkapan “makin
banyak sarjana di Indonesia, maka semakin meningkat pula jumlah pengangguran”.
Walaupun pernyataan tersebut kurang korelatif, pernyataan tersebut memang ada benarnya
sebab sesorang yang sudah mencapai gelar sarjana biasanya akan merasa malu
menjadi petani di desa atau pedagang mie goreng dorong yang keluar masuk
kampung. Mereka takut orang kampung akan bertanya, “Loh, Mas. Bukannya dulu
pernah kuliah di Universitas sebelah sana?” Belum lagi kalau ada yang
mencemooh dengan nada yang menyakitkan, “Memang dulu belajar di jurusan
marketing mie goreng?” Di sinilah rupanya salah satu dari sekian banyak
fenomena yang ada saat ini: mengapa setelah meraih gelar sarjana, justru
generasi muda kita merasa semakin menjadi bingung oleh kesersajanaan yang dimilikinya.
II. Antara Harapan dan Kompetensi
Sulitnya mencari pekerjaan ini bukan saja disebabkan oleh
keadaan yang memang sulit. Hal yang tak kalah penting yang justru perlu lebih diperhatikan
adalah adanya kekeliruan dalam memahami diri sendiri sebagai seorang sarjana.
Untuk melihat dengan jelas tentang kekeliruan dalam memahami diri sendiri ini,
setiap mahasiswa bisa melihat VISI, MISI, dan FUNGSI universitas masing-masing
di dalam Buku Pedoman Universitas, di mana hampir semua universitas di Surabaya
senada dalam menuliskan tentang standar kompetensi lulusan mereka masing-masing.
Beberapa point standar kompetensi tersebut antara lain terbaca seperti di bawah
ini:
- Menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian di bidang kependidikan atau non-kependidikan pada taraf relatif tinggi dan dapat menerapkannya secara profesional di dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan nasional.
- Menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni di bidang kependidikan atau non-kependidikan dan dapat mengembangkan serta menciptakan iptek baru sesuai dengan bidang keahliannya yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan kebutuhan pembangunan nasional.
- Memiliki mental kewirausahaan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan mampu bersaing di pangsa pasar kerja dalam era globalisasi.
- Memiliki kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi secara aktif dengan berbagai perubahan yang muncul serta mampu memecahkan berbagai masalah yang terkait dengan bidang kependidikan dan non-kependidikan.
Empat
standar kompetensi lulusan di atas merupakan rangkuman yang dirampatkan dari
berbagai standar kompetensi lulusan yang tertulis di berbagai Buku Pedoman
berbagai universitas di Surabaya.
Dari empat standar kompetensi di atas, bisa dipahami bahwa
masih ada beberapa hal yang belum dicapai oleh mahasiswa/wi yang sudah lulus
dengan nilai rata-rata lebih dari tiga koma lima puluh sekalipun. Untuk standar
lulusan nomor 1 dan 2, misalnya, mungkin sarjana—sebagai lulusan S1—sudah
menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni atau kesenian. Tapi bagaimana
dengan menerapkannya sehingga bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan
pembangunan nasional? Kalau menerapkannya saja begitu sulit, bagaimana dengan
menciptakan iptek baru sesuai bidang keahliannya? Dengan kata lain, kalau
standar lulusan nomor 1 dan 2 sulit untuk dicapai, tampaknya standar nomor 3
dan 4 akan lebih jauh panggang dari api.
Bertolak belakang dengan standar nomor 3, di mana lulusan
dikehendaki untuk mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan mampu bersaing di
pangsa pasar, tampaknya lulusan S1 dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia
masih berpikir sebaliknya. Lebih jelasnya, kebanyakan—kalau tidak semua—sarjana
atau lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia masih banyak yang berfikir untuk “mencari”
pekerjaan, bukan “menciptakan” lapangan pekerjaan. Karena masih berpikir
mencari, maka tentu saja mereka mengharapkan pekerjaan itu datang dari pemerintah
atau orang lain. Padahal, yang berpikir demikian ini tidak sedikit. Artinya
sarjana-sarjana yang lain yang juga mencari dan mengharapkan pekerjaan yang
juga diharapkan oleh hampir semua sarjana tersebut. Lebih malang lagi, mereka
mencari pekerjaan yang—kadangkala—harus sesuai dengan latarbelakang
kesarjanaannya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Alasdair Gray, bahwa setiap
orang melihat hidup melalui pekerjaan (Gray dalam Andrews, 2001:167).
III. Menciptakan Lapangan Kerja
Sebenarnya, ketika beribu, atau beratus ribu, bahkan
berjuta sarjana sudah memperebutkan pekerjaan yang jumlahnya sangat terbatas,
di situlah para sarjana dituntut untuk mengandalkan IPK (Imajinasi,
Produktifitas, dan Kreatifitas) mereka masing-masing. IPK yang tinggi inilah
yang seharusnya membuat seorang sarjana mampu menciptakan lapangan kerja, baik
untuk diri sendiri maupun beberapa orang lain atau bahkan sarjana sebayanya. Bayangkan
jika 1 (satu) saja dari 10 (sepuluh) sarjana kita mampu menciptakan lapangan
kerja untuk diri dan beberapa kawan sebagai mitra atau asistennya. Sungguh akan
merupakan prestasi yang luar biasa dan mungkin akan mampu menolong keadaan yang
tak kunjung berubah ini.
Contoh sebuah langkah MENCIPTAKAN lapangan
pekerjaan adalah—misalnya—mendirikan Perusahaan Supply Urug. Perusahaan ini
melaksanakan bisnis angkutan darat, di mana perusahaan ini bekerja dengan cara
mengangkut tanah hasil kerukan pendangkalan sungai dan atau serpihan bangunan
yang direnovasi oleh pemiliknya. Tanah dan serpihan-serpihan tadi diangkut ke
lahan-lahan yang memerlukan urug untuk meninggikan level tanah sebelum
didirikan bangunan di atasnya (perusahaan demikian kadang disebut leveransir).
Dari mengangkut tanah kerukan yang tersedia di tepi sungai yang telah mengering
dan serpihan bangunan (rubble) ini, Perusahaan Supply Urug sebagai pengangkut
mendapat upah dari pemerintah desa atau kecamatan setempat dan dari pemilik
bangunan yaang direnovasi karena telah mengangkat “sampah” dari tempatnya.
Di samping itu, perusahaan ini juga menjual tanah dan
serpihan-serpihan yang diangkut ini kepada pemilik lahan yang perlu meninggikan
lahannya. Upah angkut tanah dan serpihan serta harga jual barang-barang yang
tak dibutuhkan ini relatif tinggi. Untuk sekali angkut, upah plus harga jual
yang diperoleh selalu lebih dari cukup untuk membayar 2-3 kuli yang menaikkan
serta menurunkan barang-barang tersebut di lokasi-lokasi yang ditentukan serta
beaya solar dan sewa truck-truck yang digunakan mengangkut.
Bisnis angkutan darat seperti ini memang
memerlukan investasi utamanya berupa truck-truck sebagai pengangkut. Tapi,
bukankah di tepi-tepi jalan banyak kita temui truck-truck yang diparkir dengan
tulisan “DISEWAKAN?” Nah, truck-truck yang sedang menganggur seperti ini
tentunya bisa dimanfaatkan secara sewa-pakai atau bagi hasil sehingga menjadi lebih
“produktif”. Tentu saja sewa-pakai atau bagi hasil itu dengan kesepakatan
sedemikian rupa dan sebelumnya sudah dilakukan survey lokasi pengambilan tanah
atau serpihan urug dan lokasi pengiriman urug tersebut. Dengan demikian,
pekerjaan ini bukan sekedar “imajinatif”, tapi akan sesuai dengan hasil survey
lapangan di mana pembeli atau konsumen urug sudah bisa dipastikan.
Bisa dibayangkan, jika satu truck
mempekerjakan seorang sopir plus 2 atau 3 kuli yang menaikkan dan menurunkan
urug. Jika 5 truck dikaryakan untuk bisnis angkutan ini, maka bisnis ini akan
mampu menciptakan lapangan kerja untuk 15 – 20 orang. Sebuah prestasi sederhana
tapi cukup untuk membuka lapangan kerja di tengah sulitnya mencari pekerjaan
seperti saat ini. Anehnya, bisnis seperti ini hanya dilakukan oleh segelintir
orang yang sebagian besar “bos-bosnya” hanya lulusan SMP atau SMA sederajat.
Padahal, penghasilan yang mereka dapat bisa mencapai 3 sampai 5 kali gaji
seorang sarjana.
Peluang di atas hanya salah satu
dari sekian banyak contoh peluang yang bisa dicoba oleh seorang saarjana.
Peluang lain cukup banyak. Bisa diyakini bahwa, sebagai sarjana,
peluang-peluang lain sebenarnya sudah ada di benak masing-masing. Hanya saja,
sebagai sarjana biasanya para lulusan perguruan tinggi sering diliputi keraguan
dan rasa malu untuk memulai usaha yang sudah di angan-angan sejak lama sehingga
ketika seorang teman melakukan usaha seperti yang diangani tersebut, mereka
hanya bisa menyesal.
Perlu dicatat bahwa manakala seorang
sarjana sudah berpikir untuk meminta bantuan beberapa orang yang akan membantu
menjadi sopir atau atau kuli, hal itu sudah merupakan usaha untuk MENCIPTAKAN
lapangan pekerjaan bagi orang lain. Dan ketika seorang sarjana sudah membuka
lapangan kerja bagi orang lain, sarjana tersebut sudah berpartisipasi dalam
usaha mengentaskan sebagian—meskipun sebagian kecil—rakyat dari kesulitan yang
masih melilit bangsa ini. Jika diukur dengan standar kompetensi yang
dikemukakan di atas, adalah aneh jika seorang sarjana bingung dalam menentukan
langkahnya. Padahal, kemana seorang sarjana akan melangkah sudah tertulis di
dalam “imajinasi” nya.
References:
Andrews, Roberts. The
New Penguin Dictionary of Modern Quotations. London: The Penguin
Books, 2001.
Ann. Buku
Pedoman Universitas Airlangga 2008 - 2009. Surabaya: Airlangga University
Press, 2008 – 2009.
Ann. Buku
Pedoman Universitas Negeri Surabaya (UNESA) 2007 - 2008. Surabaya: UNESA
Press, 2007.
Jamil, Zamhasari. Kemana
Setelah Menjadi Sarjana? Aligarh: Department of Political
Science, Aligarh Muslim University,
Aligarh, 2006. Retrieved from: