SIFAT
MASALAH-MASALAH KEBIJAKAN
Masalah-masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai, atau kesempatan-kesempatan
yang tidak terealisir tetapi yang dapat dicapai melalui tindakan publik.
Sebagaimana yang kita lihat dalam Bab 3, informasi mengenai sifat, cakupan, dan
kepelikan/keruwetan suatu masalah dihasilkan dengan menerapkan prosedur
analisis-kebijakan dalam memahami masalah. Perumusan masalah, yang merupakan
fase penelitian kebijakan di mana para analis menelaah berbagai formulasi masalah
yang saling berbeda dari para pelaku kebijakan, tidak dapat dipungkiri
merupakan kegiatan yang paling penting dari para analis kebijakan. Perumusan
masalah merupakan sistem petunjuk pokok atau mekanisme pendorong yang
mempengaruhi keberhasilan semua fase analisis kebijakan dewasa ini. Memahami
masalah kebijakan adalah sangat penting, karena para analis kebijakan
kelihatannya lebih sering gagal karena mereka memecahkan masalah yang salah
daripada karena memperoleh solusi yang salah terhadap masalah yang tepat.
Di luar
Perumusan Masalah
Analisis kebijakan sering diterangkan sebagai suatu metodologi pemecahan-masalah.
Meskipun hal ini untuk sebagian benar dan para analis berhasil memecahkan
masalah-masalah publik—citra pemecahan-masalah dari analis, kebijakan dapat
menyesatkan. Citra pemecahan-masalah secara salah menggambarkan bahwa para
analis dapat berhasil mengidentifikasi, mengevaluasi, dan membuat rekomendasi
pemecahan masalah tanpa perlu menghabiskan waktu dan usaha yang berharga untuk
merumuskan masalah itu. Dalam kenyataannya, analisis kebijakan adalah proses berjenjang
yang dinamis di mana mtode-metode perumusan masalah mendahului metode-metode pemecahan
masalah (lihat Gambar 5-1).
Gambar 5-1 memperlihatkan bahwa metode-metode perumusan masalah mendahului
dan mengambil prioritas terhadap metode-metode pemecahan masalah dalam analisis
kebijakan. Metode-metode pada satu tingkat tidak cukup dan tidak efektif pada
tingkat berikutnya, karena pertanyaan-pertanyaannya berbeda pada kedua tingkat
tersebut. Sebagai contoh, pertanyaan-pertanyaan yang lebih rendah tingkatnya
mengenai keuntungan bersih (keuntungan dikurangi biaya) dari beberapa solusi untuk
mengontrol polusi industri telah mengasumsikan bahwa polusi industri adalah
merupakan masalahnya. Pada pertanyaan berikutnya yang tingkatnya lebih tinggi
yang harus dijawab adalah menyangkut cakupan dan kerumitan polusi, kondisi yang
memberi kontribusi pada polusi, dan solusi-solusi yang potensial untuk
memindahkan dan menghilangkan polusi. Di sini analis dapat menemukan dengan
baik bahwa formulasi yang paling layak terhadap masalah dihubungkan secara dekat
dengan kebiasaan mengemudi orang-orang Amerika di mana gas dan bahan bakar
lebih murah dan disubsidi secara besar-besaran oleh pemerintah. Hal ini
merupakan pertanyaan tentang rumusan masalah; sementara yang tersebut pertama
adalah pertanyaan tentang pemecahan masalah. Pendeknya, adalah merupakan suatu
hal yang penting untuk mengenali perbedaan di antara proses yang berhubungan
dengan masalah seperti yang dilunjukkan oleh kartu dalam Gambar 5-1:
Gambar 1. Prioritas
perumusan amsalah dalam analisis kebijakan
·
Pengenalan Masalah vs. Perumusan Masalah.
Proses analisis kebijakan tidak berawal dengan masalah yang terartikulasi
dengan jelas, tetapi suatu perasaan khawatir yang kacau dan tanda-tanda awal
dari stres. Rasa kekhawatiran yang kacau dan tanda-tanda awal dari stres ini
bukan masalah, tetapi situasi masalah yang dikenal atau dirasakan oleh
para analis kebijakan, pembuat kebijakan, dan pelaku kebijakan. Masalah-masalah
kebijakan "adalah produk pemikiran yang dibuat pada suatu lingkungan, suatu
elemen situasi masalah yang diabstraksikan dari situasi ini oleh para analis.
Dengan begitu, apa yang kita alami merupakan situasi masalah, bukan masalah itu
sendiri, yang seperti atom atau sel, merupakan suatu konstruksi
konseptual".
·
Perumusan masalah vs. Pemecahan Masalah.
Anahsis kebijakan merupakan proses yang berlapis-lapis yang mencakup metode
perumusan masalah pada urutan yang lebih tinggi dan metode pemecahan masalah
pada urutan yang lebih rendah. Metode yang lebih tinggi dan pertanyaan-pertanyaan
yang layak adalah apa yang akhir-akhir ini disebut sebagai rancangan kebijakan,
atau rancangan ilmu. Metode pemahaman masalah dalam urutan yang lebih tinggi
adalah metametode yaitu, metode-metode "mengenai" dan "ada
sebelum" metode pemecahan masalah yang berada pada urutan yang lebih
rendah. Ketika para analis menggunakan metode dalam urutan yang lebih rendah
untuk memecahkan masalah-masalah yang rumit, mereka beresiko melakukan
kesalahan tipe ketiga yang oleh Raiffa disebut: memecahkan masalah yang salah.
·
Pemecahan Kembali Masalah vs. Pementahan
Solusi Masalah dan Pementahan Masalah. Istilah-istilah misaslinya: problem
resolving, problem unsolving, dan problem dissolving) menunjuk pada
tiga macam proses pengoreksian kesalahan. Meskipun ketiga istilah itu berasal
dari sumber yang sama, (Latin: solvere, to solve atau dissolve), proses
pengoreksian kesalahan terhadap obyek yang dikoreksi berlangsung pada tingkat
yang berbeda (lihat dalam Gambar 5.1). “Pemecahan kembali masalah” (problem
resolving) mencakup analisis ulang terhadap masalah yang dipahami secara
benar untuk mengurangi kesalahan yang bersifat kalibrasional. Sebagai contoh,
mengurangi probabilitas kesalahan tipe I atau tipe II dalam menguji hipotesis
nul bahwa suatu kebijakan tidak mempengaruhi hasil kebijakan tertentu.
Sebaliknya pementahan solusi masalah (problem unsolving), berupa
pembuangan solusi dikarenakan kesalahan dalam perumusan masalah—sebagai contoh,
kebijakan perbaikan daerah perkotaan yang diimplementasikan di kota-kota besar
selama tahun 1960-an—dan kembali ke perumusan masalah dengan maksud untuk
memformulasikan masalah secara tepat. Akhirnya, penientahan masalah (problem
dissolving) meliputi pembuangan masalah yang dirumuskan secara tidak tepat
dan kembali kepada perumusan masalah sebelum terjadi suatu usaha untuk memecahkan
masalah yang tidak tepat itu.
Ciri-ciri
Masalah
Contoh-contoh berikut ini akan membuat kita berhati-hati untuk tidak menerima
begatu saja masalah kebijakan, karena pemahaman atau akal sehat sehari-hari
acapkali menyesatkan ketika kita berurusan dengan hal-hal rumit seperti
masalah-masalah kebijakan. Uraian berikut ini menjelaskan beberapa ciri penting
dari masalah kebijakan:
1.
Saling ketergantungan dari masalah kebijakan.
Masalah-masalah kebijakan di dalam satu bidang (misalnya, energi) kadang-kadang
mempengaruhi masalah-masalah kebijakan di dalam bidang lain (misalnypa,
pelayanan kesehatan dan pengangguran). Dalam kenyataan masalah-masalah kebijalan
bukan merupakan kesatuan yang berdiri sendiri; mereka merupakan bagian dari seluruh
sistem masalah yang paling baik diterangkan
sebagai messes, yaitu, suatu sistem kondisi ekstenal yang menghasilkan
ketidakpuasan di antara segmen-segmen masyarakat yang berbeda. Sistem masalah
atau messes sulit atau bahkan tidak mungkin dipecahkan dengan
menggunakan pendekatan analitis—yaitu, pendekatan yang memecahkan
masalah ke dalam elemen-elemen atau bagian-bagian yang menyusunnya—karena
jarang masalah-masalah dapat didefinisikan dan dipecahkan secara sendiri-sendiri.
Kadang-kadang merupakan hal yang mudah "untuk memecahkan sepuluh masalah
yang saling terkait, daripada memecahkan satu masalah secara sendiri. Sistem
masalah yang saling tergantung mengharuskan suatu pendekatan holistik, suatu
pendekatan yang memandang bagian-bagian sebagai tak terpisahkan dari
keseluruhan sistem yang mengikatnya.
2.
Subyektivitas dari Masalah Kebijakan. Kondisi
eksternal yang menimbulkan suatu permasalahan didefinisikan,
diklasifikasikan, dijelaskan, dan
dievaluasi secara selektif. Meskipun terdapatr suatu anggapan bahwa masalah
bersifat obyektif—misalnya, polusi udara dapat didefinisikan sebagai tingkat
gas dan partikel-partikel di dalam atmosfer—data yang sama mangenai polusi
dapat diinterpretasikan secara berbeda. Masalah kebijakan “adalah suatu hasil pemikiran yang dibuat pada suatu lingkungan
tertentu; Masalah tersebut merupakan elemen dari suatu situasi masalah yang
diabstrakskan dari situasi tersebut oleh analis. Dengan begitu, apa yang kita
alami sesungguhnya adalah merupakan adalah suatu situasi masalah, bukan masalah
itu sendiri, seperti halnya atom atau sel, merupakan suatu konstruksi
konseptual. Dalam analisis kebijakan merupakan hal yang sangat penting untuk tidak
mengacaukan antara situasi masalah dengan masalah kebijakan, karena masalah
adalah barang abstrak yang timbul dengan mentransformasikan pengalaman ke dalam
penilaian manusia.
3.
Sifat buatan dari masalah. Masalah-masalah kebijakan
hanya mungkin ketika manusia membuat penilaian
mengenai keinginan untuk mengubah beberapa situasi masalah. Masalah kebijakan
merupakan hasil/produk penilaian subyektif manusia; masalah kebijakan itu juga
bisa diterima sebagai definisi-definisi yang sah dari kondisi sosial yang obyektif;
dan karenanya, masalah kebijakan dipahami, dipertahankan, dan diubah secara
sosial. Masalah tidak berada di luar individu dan kelompok-kelompok yang
mendefinisikan, yang berarti bahwa tidak ada keadaan masyarakat yang
"alamiah" di mana apa yang ada dalam masyarakat tersebut dengan
sendirinya merupakan masalah kebijakan.
4.
Dinamika masalah kebijakan. Terdapat banyak
solusi untuk suatu masalah sebagaimana terdapat banyak definisi terhadap
masalah tersebut. “Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang
konstan; dan karenanya masalah tidak secara konstan terpecahkan.... Solusi
terhadap masalah dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri
belum usang."
Sistem masalah (messes) bukan merupakan kesatuan mekanis:
melainkan sistem yang bertujuan (teleologis), di mana (1) tidak ada dua
anggotanya yang sama persis di dalam semua atau bahkan setiap sifat-sifat atau
perilaku mereka; (2) sifat-sifat dan perilaku setiap anggota mempunyai pengaruh
pada sifat-sifat dan perilaku sistem secara keseluruhan; (3) sifat-sifat dan
perilaku setiap anggota, dan cara setiap anggota mempengaruhi sistem secara
keseluruhan, tergantung pada sifat-sifat dan perilaku paling tidak dari salah
satu anggota system; dan (4) dimungkinkan sub kelompok anggota mempunyai suatu
pengaruh yang tidak bebas atau tidak independen pada sistem secara keseluruhan.
Hal ini berarti bahwa sistem masalah—kejahatan, kemiskinan, pengangguran, inflasi,
energi, polusi, kesehatan—tidak dapat dipecah ke dalam rangkaian yang
independen tanpa menimbutkan risiko menghasilkan solusi yang tepat terhadap
masalah yang salah.
Kunci karakteristik dari sistem permasalahan adalah bahwa seluruh sistem lebih
besar—yaitu, berbeda secara kualitatif—daripada sekedar jumlah dari
bagian-bagiannya. Suatu tumpukan batu dapat didefinisikan sebagai jumlah
masing-masing batu tetapi tidak sebagai suatu piramida. Demikian juga,
manusia dapat
menulis atau berlari, tetapi satu anggota tubuh tidak dapat melakukannya
sendiri. Selanjutnya, keanggotaan dalam sistem dapat meningkatkan atau
mengurangi kemampuan masing-masing elemen; dan setiap anggota sistem tidak
dapat membuat yang lain tidak terpengaruh. Sebagai contoh, otak tanpa ada
bagian-bagian tubuh lainnya tidak akan dapat berfungsi. Individu yang merupakan
bagian suatu bangsa atau perusahaan dapat mengerjakan sesuatu yang tidak dapat
dikerjakan anggota lain, dan dia tidak perlu mengerjakan hal yang dapat
dikerjakan orang lain."
Akhirnya, pengakuan terhadap ketergantungan, subyektivitas, sifat buatan
dan kedinamisan masalah-masalah kebijakan membuat kita berhati-hati terhadap
kemungkinan terjadinya konsekuensi-konsekuensi yang tidak terduga ketika
suatu kebijakan dibuat berdasarkan pada pemecahan/solusi yang tepat tetapi
terhadap masalah yang salah. Lihat, misalnya, situasi masalah yang dihadapi
pemerintah-pemerintah Eropa Barat dalam dasawarsa terakhir ini. Perancis dan
Jerman Barat, yang berusaha untuk meluaskan pasokan energi yang tersedia dengan
membangun kompleks tenaga nuklir pada Sungai Rhine, mendefinisikan masalah
energi dengan berasumsi bahwa tenaga nuklir tidak terkait dengan
masalah-masalah lain. Sehingga hubungan antara energi dengan item masalah yang
lebih luas tidak masuk ke dalam perumusan masalah. Seorang pengamat, yang
menulis di tahun 1970-an, memperingatkan bahwa
malaria akan
datang sebagai penyakit menular utama di Eropa di dalam sepuluh tahun
mendatang, beruntung ada keputusan pemerintah Jerman dan Perancis untuk membangun
generator atom yang memanfaatkan air sungai untuk sistem pendinginnya sehingga
suhu air tidak memungkinkan anopeles (nyamuk pembawa malaria) berkembang
biak."
Masalah-masalah
vs. Isu-isu
Jika masalah-masalah kebijakan benar-benar merupakan keseluruhan dari
sistem masalah-masalah, itu berarti bahwa isu-isu kebijakan pasti sama
kompleksnya. Isu-isu kebijakan tidak hanya mengandung ketidaksetujuan mengenai
serangkaian aksi yang aktual atau potensial; tetapi juga mencerminkan
pandangan-pandangan yang berbeda tentang sifat dari masalah-masalah itu
sendiri. Isu kebijakan yang nampak secara jelas-sebagai contoh, apakah
pemerintah harus meningkatkan standar kualitas udara di dalam
industri-merupakan konsekuensi yang khas dari seperangkat asumsi yang saling bersaing
tentang sumber polusi.
1.
Polusi adalah konsekuensi alamiah dari kapitalisme,
suatu sistem ekonomi di mana para pemilik industri berusaha untuk
mempertahankan dan meningkatkan keuntungan dari investasi mereka. Sejumlah
kerusakan pada lingkungan adalah harga yang wajar yang harus dibayar bagi
sehatnya ekonomi kapitalis.
2.
Polusi adalah hasil dari kebutuhan akan kekuasaan dan
prestise di antara manajer industri yang mencari promosi dalam birokrasi besar
yang berorientasi pada karir. Polusi merupakan suatu situasi yang parah di
dalam sistem sosialis di mana tidak ada pemilik swasta yang herorientasi pada
pencarian laba.
3.
Polusi adalah konsekuensi dari pilihan konsumen dalam
masyarakat konsumtif tingkat tinggi. Para manajer dan pemilik perusahaan harus memuaskan
konsumen yang menghendaki mesin dan mobil yang berpenampilan menarik.
Kemampuan untuk mengenali perbedaan di antara situasi problematis,
masalah kebijakan, dan isu kebijakan adalah penting sekali dalam rangka
memahami cara menafsirkan sebuah peristiwa, yang menimbulkan ketidaksetujuan
tentang serangkaian tindakan pemerintah yang aktual maupun potensial. Formulasi
masalah sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi para pelaku kebijakan yang
berbeda-legislator, administrator, pimpinan-pimpinan bisnis, kelompok-kelompok
konsumen-sehingga membawa kepada kondisi permasalahan yang ada. Selanjutnya,
formulasi masalah yang berbeda menentukan bagaimana isu-isu kebijakan didefinisikan.
Di dalam contoh polusi lingkungan seperti tersebut di atas, asumsi-asumsi
mengenai cara kerja ekonomi kapitalis yang sehat sudah barang tentu akan membawa
kepada pandangan yang berrsifat negatif menganai perlunya pemerintah menerapkan
standar kualitas udara di dalam industri, sementara itu asumsi-asumsi mengenai
perilaku manajer perusahaan kelihatannya menghasikan posisi yang bersifat
menyetujui. Sebaliknya, asumsi yang ketiga mengenai pilihan konsumen dan
kelangsungan perusahaan dapat menghasilkan kesimpulan bahwa regulasi pemerintah
terhadap polusi industri bukan merupakan isu, karena pemerintah tidak dapat
mengatur permintaan konsumen.
Kompleksitas isu-isu kebijakan dapat diperlihatkan dengan
mempertimbangkan jenjang organisasi di mana isu-isu itu diformulasikan (lihat
Gambar 5-2). Isu-isu kebijakan dapat diklasifikasikan sesuai dengan hirarki
dari tipe: utama, sekunder, fungsional, dan minor. Isu-isu utama (major
issues) secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah tertinggi di dalam
atau di antara jurisdiksi/wewenang federal, negara bagian, dan lokal. Isu-isu
utama secara khusus meliputi pertanyaan tentang misi suatu instansi, yaitu
pertanyaan mengenai sifat dan tujuan organisasi-organisasi pemerintah. Isu
seperti apakah Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat harus berusaha
menghilangkan kondisi yang menimbulkan kemiskinan adalah pertanyaan mengenai
misi lembaga. Isu-isu sekunder (secondary issues) adalah isu yang
terletak pada tingkat instansi pelaksana program-program di pemerintahan
federal, negara bagian, dan lokal. Isu-isu yang kedua ini dapat berisi isu prioritas-prioritas
program dan definisi kelompok-kelompok sasaran dan penerima dampak. Isu
mengenai bagaimana mendefinisikan kemiskinan keluarga adalah isu yang kedua.
Sebaliknya, isu-isu fungsional (functional issues), terletak di
antara tingkat program dan proyek, dan memasukkan pertanyaan-pertanyaan seperti
anggaran, keuangan, dan usaha untuk memperolehnya. Terakhir, isu-isu minor (minor
issues), adalah isu-isu yang ditemukan paling sering pada tingkat proyek-proyek
yang spesifik. Isu-isu minor meliputi personal, staff, keuntungan bekerja, waktu
liburan, jam kerja, dan petunjuk pelaksanaan serta peraturan.
Gambar 5.2. Hirarki
tipe-tipe isu kebijakan
Kebijakan
Operasional
Bila hirarki isu-isu kebijakan naik, masalah-masalah menjadi saling
tergantung, subyektif, artifisial, dan dinamis. Meskipun tingkat-tingkat ini
saling tergantung, beberapa isu memerlukan kebijakan yang strategis, sementara
yang lain meminta kebijakan operasional. Suatu kebijakan yang strategis (strategic
policy) adalah salah satu kebijakan di mana konsekuensi dan keputusannya
secara relatif tidak bisa dibalikkan. Suatu isu seperti apakah AS harus
mengirimkan pasukannya ke Teluk Persi, atau apakah pekerja sosial harus
diorganisir kembali, memerlukan kebijakan-kebijakan strategis karena
konsekuensi dari keputusan-keputusan tidak dapat dibalik ulang untuk beberapa
tahun. Sebaliknya, kebijakan operasional (operational policies)—yaitu,
kebijakan di mana konsekuensi dari keputusan-keputusan secara relatif dapat
dibalik ulang- tidak menimbulkan risiko dan ketidakpastian masa kini pada
tingkat yang lebih tinggi. Sementara semua tipe kebijakan adalah saling
tergantung—sebagai contoh, realisasi dari misi-misi suatu instansi tergantung
sebagian pada kemampuan praktik-praktik personalnya—adalah penting untuk
mengetahui bahwa kompleksitas dan tak dapat diulangnya suatu kebijakan akan
semakin tinggi seiring dengan meningkatnya hirarki isu-isu kebijakan.
Tiga Kelas
Masalah Kebijakan
Terdapat tiga kelas masalah kebijakan, yaitu: masalah yang sederhana (well-structured),
masalah yang agak sederhana (moderately-structured) dan masalah yang
rumit (ill-structured). Struktur dari masing-masing kelas ini ditentukan
oleh tingkat kompleksitasnya, yaitu, derajat seberapa jauh suatu masalah
merupakan sistem permasalahan yang saling tergantung. Perbedaaan di antara
masalah-masalah yang sederhana, agak sederhana, dan run-it digambarkan dengan
mempertimbangkan variasi di dalam elemen-elemen mereka. (lihat dalam Tabel
5-1).
Table 5-1.
Perbedaan dalam struktur dari tiga tipe masalah kebijakan
STRUKTUR MASALAH
|
|||
ELEMEN
|
Sederhana
|
Agak Sederhana
|
Rumit
|
Pengambilam
ke-putusan
Alternatif
Kegunaan (nilai)
Hasil
Probabilitas
|
Satu atau beberapa
Tebatas
Konsensus
Pasti atau berisiko
Dapat dihitung
|
Satu atau beberapa
Terbatas
Konsensus
Tidak pasti
Tak dapat dihitung
|
Banyak
Tak terbatas
Konflik
Tidak diketahui
Tak dapat dihitung
|
Masalah yang sederhana (well-structured problems) adalah masalah
yang melibatkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan seperangkat kecil
alternatif-alternatif kebijakan. Kegunaan (nilai) mencerminkan konsensus pada tujuan-tujuan
jangka pendek yang secara jelas diurutkan dalam tatanan pilihan pembuat keputusan.
Hasil dari masing-masing alternatif diketahui dengan keyakinan yang tinggi
(secara deterministik) atau di dalam margin kesalahan yang rnasih dapat
diterima (risiko). Prototipe masalah yang sederhana adalah masalah keputusan
yang dikomputerkan secara penuh, di mana semua konsekuensi dari semua
alternatif kebijakan diprogram. Masalah-masalah operasional yang secara relatif
lebih rendah di dalam instansi pemerintah memberi gambaran mengenai masalah
yang sederhana. Sebagai contoh, masalah mengganti kendaraan secara relatif
adalah masalah yang sederhana yang meliputi pencarian titik optimum pada
kendaraan lama yang harus dijual untuk yang baru, diambil ke dalam perhitungan
biaya perbaikan rata-rata bagi kendaraan lama dan pembelian dan harga depriasi
bagi kendaraan yang baru.
Masalah yang agak sederhana (Moderately structured problems)
adalah masalah-masalah yang melibatkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan
sejumlah alternatif yang secara relatif terbatas. Kegunaan (nilai) juga
mencerminkan konsensus pada tuiuan-tujuan jangka pendek yang diurutkan secara
jelas. Meskipun demikian, hasi1 dari alternatif-alternatif itu belum tentu
meyakinkan (deterministik) ataupun diperhitungkan di dalam margin kesalahan
yang diterima (risiko); hasil-hasil itu tidak meyakinkan/tidak tentu, yang
berarti bahwa probabilitas kesalahan tidak dapat diperkirakan sama sekali.
Contoh dari masalah yang agak sederhana adalah simulasi atau permainan
kehijakan, suatu ilustrasi yang disebut dengan "dilema tahanan." Dalam
pernainan ini dua tahanan ditahan dalam ruang tahanan, sel yang terpusat, di
mana masing-masing tahanan diinterograsi oleh penuntut, yang harus memperoleh
pengakuan dari salah seorang atau kedua tahanan itu untuk menetapkan hukuman.
Penuntut yang telah mempunyai cukup bukti untuk menghukum masing-masing tahanan
yang melakukan kejahatan ringan itu, mengatakan kepada setiap tahanan, jika
tidak ada yang mengaku maka mereka akan dituduh melakukan kejahatan yang ringan
dengan tuntutan hukuman yang juga ringan; jika keduanya mengaku melakukan
kejahatan yang lebih serius, keduanya akan menerima pengurangan hukuman; tetapi
jika hanya salah seorang yang mengaku, tertuduh yang mengaku akan menerima
hukuman percobaan, sementara yang lain akan menerima hukuman maksimum. Pilihan
"optimal" bagi masing-masing tahanan, dengan asumsi bahwa
masing-masing tidak mengetahui keputusan yang diambil pihak lain, adalah untuk
mengaku. Dengan begitu masing-masing akan menerima keputusan lima tahun
hukuman, karena keduanya kclihatannya berusaha untuk meminimalkan hukuman
mereka. Contoh ini tidak hanya menggambarkan kesulitan membuat pilihan ketika hasilnya
tidak pasti tetapi juga memperlihatkan bahwa pilihan individu yang
"rasional" dapat memberi kontribusi terhadap irasionalitas kolektif
dalam kelompok-kelompok kecil, birokrasi pemerintah dan masyarakat secara
keseluruhan.
Masalah yang rumit (Ill-structured problems) adalah masalah-masalah
yang mengikutsertakan banyak pembuat keputusan yang utilitas (nilai)nya tidak
diketahui atau tidak mungkin untuk diurutkan secara konsisten. Jika
masalah-masalah yang sederhana dan agak sederhana mencerminkan korsensus, maka
karakteristik utama dari masalah-masalah yang rumit adalah konflik di antara
tujuan-tujuan yang saling bersaing. Alternatif-alternatif keebijakan dan
hasilnya dapat juga tidak diketahui, karena tidak mungkin memperkirakan risiko
dan ketidakpastian. Masalah pilihan tidak untuk menentukan hubungan-hubungan
deterministik yang diketahui, tetapi lebih untuk mendefinisikan sifat masalah.
Contoh masalah yang rumit adalah masalah keputusan intransitif secara penuh,
yaitu, suatu masalah di mana tidak mungkin untuk memilih alternatif kebijakan
tunggal yang disukai oleh semua orang. Sementara masalah yang sederhana atau
agak sederhana mengandung urutan-urutan pilihan yang transitif-yaitu, jika
alternatif A1 lebih disukai daripada alternatif A2, dan
alternatif A2 lebih disukai daripada alternatif A3, maka
alternatif A1 lebih disukai daripada alternatif A3—masalah
yang rumit mempunyai urutan pilihan yang intransitif.
Kebanyakan masalah kebijakan yang paling penting cenderung rumit (ill-structured).
Satah satu pelajaran dari ilmu politik, administrasi publik, dan disiplin lainnya
adalah bahwa masalah-masalah yang, sederhana atau agak sederhana jarang
dijumpai dalam lingkungan pemerintahan yang kompleks.
Sebagai contoh, merupakan hal yang tidak realistis untuk menganggap
keberadaan satu atau beberapa pembuat keputusan dengan pilihan (manfaat) yang
sama, karena kebijakan-kebijakan publik adalah seperangkat keputusan yang
saling berhubungan yang dibuat dan dipengaruhi oleh para pelaku kebijakan di
sepanjang periode waktu yang panjang. Konsensus adalah jarang, karena pembuatan
kebijakan publik cenderung menimbulkan konflik di antara para pelaku kebijakan
yang saling bersaing. Akhirnya, merupakan hal yang hampir tidak mungkin atau
jarang untuk dapat mengindentifikasi seluruh alternatif pemecahan masalah, dan
hal ini untuk sebagian karena hambatan-hambatan pada perolehan informasi, dan
juga karena kadang-kadang sulit untuk mencapai formulasi permasalahan yang
memuaskan. Alasan mengapa masalah yang rumit adalah sangat penting bagi
analisis kebijakan publik telah diringkaskan sejumlah ilmuwan sosial.
PERUMUSAN
MASALAH DALAM ANALISIS KEBIJAKAN
Syarat untuk memecahkan masalah yang rumit adalah tidak sama dengan
syarat untuk memecahkan masalah yang sederhana. Masalah yang sederhana
memungkinkan analis menggunakan metode-metode konvensional, sementara masalah
yang rumit menuntut analis untuk mengambil bagian aktif dalam mendefinisikan
hakekat dari masalah itu seradiri. Dalam mendelinisikan secara aktif
hakekat suatu masalah, para analis harus tidak hanya menghadapkan diri mereka
pada keadaan problematis tetapi iuga harus membuat peniiaian dan pendapat secara
kreatit. Hal ini berarti; hahwa analisis kebijakan dibagi ke dalam dua jenis
analisis secara seimbang, yaitu perumusan masalah dan pemecahan masalah. Dengan
kata lain, pemecahan masalah hanyalah salah satu bagian dari kerja analsis
kebijakan:
Gamharan tentang
pemecahan masalah bertolak dari pandangan bahwa kerja kebijakan bermula dari
masalah-masalah yang sudah terartikulasi dan ada dengan sendirinya. Semestinya,
kebijakan bermula ketika masalah-masalah yang diketahui nampak, masalah-masalah
yang terhadapnya seseorang dapat membuat hipotesis tentang serangkaian tindakan
yang mungkin dan yang terhadapnya seseorang dapat mengartikulasikan tujuan-tujuan
bukan masalah-masalah yang jelas, tetapi kekhawatiran yang bercampur aduk, yang
nampak. Kelompok-kelompok penekan politik menjadi aktif tidak secbagaimana
biasanya, atau kegiatan mereka menjadi lebih terberitakan; indikator-indikator
sosial formal dan informal memberi tanda kecenderungan yang tidak dikehendaki,
atau kecenderungan-kecenderungan yang dapat diinterpretasikan sebagai titik
yang diinginkan. Terdapat tanda-tanda, kemudian masalah, tetapi tidak seorang
pun mengetahui apa masalah itu.... Dengan kata lain, keadaanya sedemikian rupa
sehingga masalah itu sendiri problematis. Analisis kebijakan mengandung proses
untuk mencari dan merumuskan masalah-masalah; mencakup penetapan (perumusan)
masalah dengan tujuan untuk menginterpretasikan gejala stres yang ada di dalam
sistem.
Kreativitas
dalam Merumuskan Masalah
Kriteria untuk menentukan keberhasilan perumusan masalah juga berbeda dari
yang digunakan untuk menilai keberhasilan dalam memecahkan masalah. Pemecahan
masalah yang berhasil mengharuskan para analis memperoleh solusi-solusi teknis
yang benar untuk masalah-masalah yang diformulasikan secara jelas. Sebaliknya,
perumusan masalah yang berhasil mengharuskan bahwa para analis mendapatkan
solusi-solusi untuk masalah-masalah yang kabur dan sulit didefinisikan. Dalam
kenyataannya, kriteria untuk menilai tindakan kreatif secara umum juga terpakai
bagi kreatifitas dalam merumuskan suatu masalah. Perumusan masalah bersifat
kreatif sepanjang satu atau lebih kondisi berikut ini terpenuhi: (1) produk
analisis cukup baru sehingga banyak orang belum pernah mencapai solusi yang
sama; (2) proses analisis tidak konvensional yang meliputi modifikasi atau
penolakan ide-ide yang pernah ada; (3) proses analisis mengharuskan motivasi
dan persistensi yang tinggi sehingga analisis berlangsung dengan intensitas
tinggi atau dalam periode waktu yang panjang, (4) produk analis dinyatakan
bermanfaat oleh para analis, pembuat kebijakan, dan para pelaksana kebijakan,
karena dia memberikaan solusi yang memadai bagi suatu masalah; dan (5) masalah
yang pada awalnya dihadapi bersifat tidak jelas, kabur, dan sulit didefinisikan,
sehingga sebagian dari tugasnya adalah memformulasikan masalah itu sendiri.
Fase-fase
Perumusan Masalah
Sebagaimana yang
kita lihat di atas (dalam Gambar 5-1), perumusan masalah mengambil prioritas di
atas pemecahan masalah dalam analisis kebijakan. Perumusan masalah dapat
dipandang sebagai suatu proses dengan empat fase yang saling tergantung, yaitu:
pencarian masalah (problem search), pendefinisian masalah (problem
definition), spesifikasi masalah (problem specification), dan
pengenalan masalah (problem sensing) (lihat Gambar 5-3). Prasyarat
perumusan masalah adalah pengakuan atau "dirasakannya keberadaan"
suatu situasi masalah. Untuk pindah dari situasi masalah seorang analis
terlibat dalam pencarian masalah. Pada tahap ini tujuan jangka pendeknya bukan
penemuan suatu masalah tunggal (misalnya, masalah klien atau - analis itu);
melainkan penemuan beberapa reprensentasi masalah dari berbagai pelaku
kebijakan. Para analis yang terlatih biasa menghadapi jaringan besar yang kacau
dari formulasi-formulasi masalah yang saling bersaing yang dinamis, terbentuk
oleh situasi sosial, dan terdistribusi pada seluruh proses pembuatan kebijakan.
Akibatnya, para analis dihadapkan pada metaproblem ¾suatu
masalah di atas masalah-masalah yang rumit karena wilayah reprensentasi
masalah yang dirniliki oleh para pelaku kehijakan nampak tidak tertata rapi.
Tugas utama adalah untuk merumuskan meta-masalah, yaitu, masalah yang dalam
urutan kedua yang dapat didefinisikan sebagai kelas dari semua masalah urutan
pertama, yang merupakan anggotanya. Kecuali jika kedua tingkat ini dibedakan
secara jelas, para analis menghadapi resiko memformulasikan masaiah yang salah
dengan mencampur anggota dan kelasnya. Bila gagal membedakan tingkat-tingkat ini,
analis melanggar aturan bahwa "apapun yang mencakup keseluruhan pastilah
bukan anggota keseluruhan itu.
Dalam perpindahan dari metamasalah ke masalah substantif, analis
berusaha,untuk mendefinisikan suatu masalah dalam istilah yang paling mendasar
dan umum. Sebagai contoh, analis dapat menentukan apakah masalah itu adalah
masalah ekonomi, sosial, atau ilmu politik. Jika masalah substantifnya
dikonsepkan sebagai masalah ekonomi, analis akan memperlakukannya dalam
ketentuan faktor-faktor yang berhubungan dengan produksi dan distribusi barang
dan jasa ¾sebagai
contoh, harga pasar menentukan biaya dan manfaat program-program publik.
Sebaliknya, jika masalahnya dipandang sebagai masalah politik atau sosiologi,
analis akan mendekatinya sebagai distribusi kekuasaan dan pengaruh di antara
kelompok-kelompok kepentingan, elit, dan lapisan sosial lainnya yang saling
bersaing. Pemilihan sebuah kerangka konseptual sering sama dengan pemilihan
sebuah pandangan hidup, ideologi, atau mitos rakyat dan menunjukkan komitmen
terhadap suatu cara pandang.
Gambar
5-3. Tahap-tahap perumusan masalah
Untuk menggambarkan pentingnya pandangan dunia, idEologi, dan mitos
rakyat dalam mengkonsepkan masalah-masalah substantif, perhatikan
bermacam-macam cara dalam mendefinisikan masalah kemiskinan. Kemiskinan dapat
didefinisikan sebagai konsekuensi dari keadaan yang tidak disengaja atau tidak
dapat dielakkan dalam masyarakat, dari tindakan-tindakan jahat manusia, atau
ketidaksempurnaan dalam kemiskinan mereka sendiri. Definisi kemiskinan ini
mengandung elemen-elemen pandangan dunia, mitos, atau ideologi sebagaimana
masing-masing meliputi persepsi yang selektif terhadap elemen-elemen kondisi
masalah. Pandangan dunia, ideologi, dan mitos sebagian benar dan sebagian
salah, yang berarti bahwa mereka berguna dan pada saat yang sama berbahaya.
Dalam contoh ini penjelasan tentang kemiskinan sebagai kecelakaan sejarah atau
sesuatu yang tak terelakkan menunjukkan perspektif naturalistik terhadap
masalahmasalah sosial yang mendistorsi realitas dengan menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan
mengenai distribusi kekayaan adalah tidak ada artinya; tetapi mitos ini dapat
pula menggugah analis kepada definisi relatif tentang kemiskinan dengan
menunjuk fakta bahwa tidak ada masyarakat yang diketahui telah memecahkan
masalah kemiskinan tersebut secara menyeluruh. Mirip dengan itu, penjelasan
tentang kemiskinan sebagai akibat dari kaum kapitalis yang jahat atau korup secara
moral mendistorsi motivasi yang ada dari kaum miskin tersebut. Perspektif
moralistik yang sama, yang menjelaskan kemiskinan sebagai kelemahan
moral, juga mengarahkan perhatian terhadap cara-cara pemilik swasta
mempromosikan sampah, eksploitasi, dan tidak adanya tanggung jawab sosial.
Akhirnya, untuk menyatakan kemiskinan sebagai ketidak sempurnaan di dalam orang
miskin sendiri tidak hanya menghasillcan penyalahan korban daripada lembaga
sosial yang bertanggung jawab, tetapi juga menunjuk pada fakta bahwa beberapa
orang miskin memilih untuk hidup di bawah kondisi yang didefinisikan oIch
sebagian besar masyarakat sebagai "miskin." Perspektif lingkungan
ini, yang men jelaskan kemiskinan dan masalah-masalah sosial lain dengan
karakteristik lingkungan si korban, sering menghasilkan cap kcmanusiaan yang
kontradiktif yang dikenal sebagai "menyalahkan korban."
Kaum humanis dapat mengkonsentrasikan keinginan murah hatinya pada
kekurangan korban, mengutuk stres sosial dan lingkungan .yang samar-samar yang
menghasilkan kekurangan (beberapa waktu yang lalu), dan mengabaikan
keberlanjutan pengaruh kekuatan sosial yang mencelakakan (sekarang ini). Hal
ini merupakan ideologi yang cemerlang untuk munjustifilcasi bentuk aksi sosial
yang ada yang diciptakan untuk mengubah, bukan masyarakat, seperti yang
diharapkan, tetapi korban dalam masyarakat itu.
Sekali masalah substantif telah didefinisikan, masalah formal yang lebih
rinci dan spesifik dapat dirumuskan. Proses perpindahan dari masalah substantif
ke masalah formal dilakukan melalui spesifikasi masalah, yang secara tipikal
meliputi pengembangan representasi (model) matematis formal dari masalah
substantif. Pada pokok ini kesulitan mungkin terjadi, karena hubungan antara
masalah substantif yang rumit dan representasi formal dari masalah itu mungkin
lemah/renggang. Kebanyakan metode untuk menspesifikasikan masalah dalam
terminologi matematika formal tidak sesuai untuk masalah-masalah yang sulit
didefinisikan, di mana tugas utamanya bukan untuk mendapatkan solusi matematis
yang tepat/benar tetapi untuk mendefinisikan sifat dari masalah itu sendiri.
Kesalahan
Tipe Ketiga (EIII)
Isu kritis dari perumusan masalah adalah bagaimana masalah-masalah
substantif dan formal secara aktual terkait dengan kondisi masalah yang
sebenarnya. Jika sebagian bcsar kondisi masalah ternyata mengandung seluruh
sistem masalah atau messes, maka keharusan bagi analisis kebijakan
adalah formulasi masalah substantif dan masalah formal yang mampu mencerminkan
kompleksitas tersebut. Derajat hubungan antara kondisi masalah yang ada dan
masalah substantif ditentukan pada fase definisi masalah. Di sini analis
membandingkan karakteristik kondisi masalah dan masalah substantif, yang sering
didasarkan pada asumsi-asumsi dan keyakinan implisit mengenai asal mula
manusia, waktu, dan kemungkinan bagi perubahan sosial melalui tindakan
pemerintah. Yang juga penting adalah derajat hubungan antara kondisi masalah dan
masalah formal, yang sering dikhususkan dalam bentuk rumus matematis atau
seperangkat persamaan.
Dalam hal pertama (pencarian masalah), analis yang gagal dalam pencarian
masalah, atau berhenti mencari secara dini, menanggung risiko menetapkan
batasan-batasan yang salah dari metaproblem. Aspek-aspek penting dari metaproblem
sebagai contoh, formulasi masalah yang dihadapi oleh mereka yang tengah atau
akan ditugasi mengimplementasikan kebijakan dapat dikatakan berada di luar
batas-batas metaproblem. Dalam hal kedua (definisi masalah), para analis
menanggung risiko memilih pandangan dunia, ideologi, atau mitos yang salah
untuk mengkonseptualisasikan kondisi masalah ketika mereka harus memilih salah
satu yang tepat. Dalam hal ketiga (spesifikasi masalah), risiko utama adalah
memilih representasi formal (model) yang salah dari inasalah substantif ketika
representasi formal yang tepat harus dipilih. Dalam setiap hal tersebut di
atas, para analis dapat melakukan kesalahan tipe ketiga atau errors ofthe
third type (EIII). Kesalahan tipe III telah diterangkan oleh
teoritisi keputusan Howard Raiffa dalam kalimat berikut ini:
Salah satu
paradigma yang paling populer dalam...matematika menerangkan kasus di dalam
mana seorang peneliti harus menerima atau menolak apa yang dikenal dengan
hipotesis nol. Pada pelajaran awal statistik mahasiswa belajar bahwa dia harus
terns menerus menyeimbangkan antara membuat kesalahan tipe pertama (yaitu,
menolak hipotesis nol yang benar) dan kesalahan tipe kedua (yaitu menerima
hipotesis nol yang salah) ... sementara para praktisi juga terlalu sering membuat
kesalahan tipe ketiga: memecahkan masalah yang salah.
Proses perumusan masalah menimbulkan sejumlah isu penting dalam
metodologi analisis kebijakan dan ilmu pada umumnya. Setiap fase perumusan
masalah mengharuskan bermacam-macam keahlian metodologis yang berbeda dan
diterapkannya standar rasionalitas yang berbeda-beda. Sebagai contoh, bermacam-macam
keahlian yang sangat memadai untuk menemukan metaproblems dan
mendefinisikan masalah-masalah substantif juga observasional dan konseptual.
Subyek-subyek matematik dan statistik (ekonomi, penefitian operasi, analisis
sistem) terutama relevan untuk menspesilikasikan masalah-masalah formal.
Penstrukturan masalah juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang arti
rasionalitas yang berbeda-beda, karena rasionalitas bukan sekedar persoalan
mencari representasi formal yang tepat tentang kondisi masalah. Inilah definisi
teknis baku tentang rasionalitas yang dikritik atas penyederhanaan formalnya yang
berlebihan terhadap proses yang kompleks. Rasionalitas dapat didefinisikan pada
tingkat yang lebih mendasar, di mana pilihan yang tidak disadari dan tidak
kritis tentang suatu pandangan dunia, ideologi, atau mitus dapat mengacaukan
secara serius konseptualisasi masalah substantif dan solusi-solusinya yang
potensial. Dalam kasus ini, analisis kebijakan mungkin merupakan ideologi
tersamar. Terakhir, pencarian metamasalah didasarkan pada proses tanya-jawab
yang iebih baik disebut rasionalitas erotetik (erotetic rationality).
TIPE-TIPE
MODEL KEBIJAKAN
Model Kebijakan (Policy models) adalah representasi sederhana
mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun
untuk tujuan-tujuan tertentu. Persis sepeti masalah-masalah kebijakan yang
merupakan bangunan mental yang berdasarkan pada konseptualisasi dan spesifikasi
elemen-elemen kondisi masalah, model-model kebijakan merupakan rekonstruksi
artifisial dari realitas dalam wilayah yang merentang dari energi dan
lingkungan sampai ke kemiskinan, kesejahteraan, dan kejahatan. Model kebijakan
dapat dinyatakan sebagai konsep, diagram, grafik, atau persamaan matematika.
Mereka dapat digunakan tidak hanya untuk menerangkan, menjelaskan, dan
memprediksikan elemen-elemen suatu kondisi masalah melainkan juga untuk
memperbaikinya dengan merekomendasikan serangkaian tindakan untuk memecahkan
masalah-masalah tertentu. Model kebijakan tidak pernah merupakan deskripsi
literal tentang situasi masalah. Seperti halnya masalah kebijakan, model
kebijakan merupakan alat artifisial untuk menyusun secara imajinatif dan
menginterpretasikan pengalaman kita tentang situasi masalah.
Model kebijakan bermanfaat dan bahkan harus ada. Model kebijakan
merupakan penyederhanaan sistem masalah (messes) dengan membantu mengurangi
kompleksitas dan menjadikannya dapat dikelola oleh para analis kebijakan.
Model-model kebijakan dapat membantu membedakan hal-hal yang esensial dan
yang tidak esensial dari situasi masalah, mempertegas hubungan di antara
faktor-faktor atau variabel-variabel penting, dan membantu menjelaskan dan
memprediksikan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan.
Model-model kebijakan juga dapat memainkan peran kreatif dan kritis di dalam
analisis kebijakan dengan mendorong para analis untuk membuat asumsi-asumsi
eksplisit mereka sendiri dan untuk menantang ide-ide konvensional maupun metode-metode
analisis. Terakhir, penggunaan model-model kebijakan bukanlah masalah pilihan,
karena setiap orang menggunakan beberapa model. Dikatakan oleh pembuat model
kebijakan Jay Forrester:
Setiap orang
menggunakan model secara konstan. Setiap orang dalamb kehidupan pribadinya dan
bisnisnya secara naluriah menggunakan model-model untuk membuat keputusan.
Citra mental tentang dunia di sekeliling anda yang anda bawa ke dalam pikiran
adalah model. Seseorang tidak mempunyai kota atau pemerintah atau negara di
dalam kepalanya. Dia hanya mempunyai konsep yang terseleksi dan hubungan yang
dia gunakan untuk menampilkan sistem nyata. Citra mental merupakan suatu model.
Semua keputusan kita diambil atas dasar model. Persoalannya bukanlah
menggunakan atau mengabaikan model. Persoalannya hanyalah memilih di antara
banyak alternatif.
Dengan menyederhanakan situasi masalah, model tak terelakkan menyumbang
distorsi selektif atas realitas. Model sendiri tidak dapat memberi tahu kita
bagaimana membedakan pertanyaan-pertanyaan yang esensial dari yang tidak
esensial; juga tidak dapat menjelaskan, memprediksi, mengevaluasi, atau
merekomendasikan, karena penilaianpenilaian ini berada di luar model dan bukan
merupakan bagian dari model itu. Sementara itu model dapat membantu kita untuk
melakukan tugas-tugas analitis, kata kuncinya ada pada "kita," untuk
itu kita dan bukan model yang menyediakan asumsi-asumsi yang diperlukan untuk
menginterpretasikan gambaran realitas yang diterapkan oleh suatu model.
Akhirnya, model-model kebijakan -khususnya yang diekspresikan dalam bentuk matematika-
kadang-kadang sulit dikomunikasikan kepada para pembuat dan pelaku kebijakan,
yang untuk merekalah model diciptakan guna membantu membuat keputusan yang
lebih baik.
Model
Deskriptif
Model-model kebijakan dapat dibandingkan dan dikontraskan dari berbagai
dimensi, yang paling penting diantaranya adalah membantu membedakan tujuan,
bentuk ekspresi dan fungsi metodologis dari model. Dua bentuk utama model
kebijakan adalah deskriptif dan normatif. Tujuan model deskriptif adalah
menjelaskan dan/atau memprediksikan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi
dari pilihan-pilihan kebijakan. Model deskriptif digunakan untuk memantau
hasil-hasil dari aksi-aksi kebijakan-sebagai contoh, daftar tahunan dari
indikator sosial yang dipublikasikan oleh Kantor Managemen dan Anggaran-maupun
untuk meramalkan kinerja ekonomi. Sebagai contoh, Dewan Penasehat Ekonomi
mempersiapkan ramalan ekonomi tahunan untuk dimasukkan dalam Laporan Ekonomi
Presiden.
Model
Normatif
Sebaliknya, tujuan model normatif bukan hanya untuk menjelaskan dan/atau
memprediksi tetapi juga memberikan dalil dan rekomendasi untuk mengoptimalkan
pencapaian beberapa utilitas (nilai). Di antara beberapa jenis model normatif
yang digunakan oleh para analis kebijakan adalah model normatif yang membantu
menentukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum (model antri), waktu
pelayanan dan perbaikan yang optimum (model penggantian), pengaturan volume dan
waktu yang optimum (model inventaris) dan keuntungan yang optimum pada
investasi publik (model biaya-manfaat). Masalah-masalah keputusan normatif
biasanya dalam bentuk: mencari nilai-nilai variabel yang terkontrol (kebijakan)
yang akan menghasilkan manfaat yang terbesar (nilai), sebagaimana terukur dalam
variabel keluaran yang hendak diubah oleh para pembuat kebijakan.
Salah satu model normatif yang paling sederhana dan paling biasa adalah
melipatgandakan bunga. Seringkali dalam kehidupannya orang menggunakan beberapa
variabel dari model ini untuk mencari manfaat dari variabel-variabel kebijakan
(misalnya, bank berhadapan dengan asosiasi penabung dan peminjam) yang akan
menghasilkan bunga pendapatan yang paling besar (kegunaan) pada tabungan
seperti yang diukur dengan jumlah uang yang dapat diharapkan setelah beberapa
tahun (nilai dari variabel hasil yang diharapkan seseorang untuk berubah).
Model analitis untuk melipatkagandakan adalah
Sn =
(l+r)n So
di mana Sn
adalah jumlah di mana tabungan bertambah dalam tahun tertentu (n), So
adalah permulaan tabungan, dan (l+r)n adalah pengembalian konstan
atas investasi (1) ditambah suku bunga (r) dalam periode waktu tertentu (n).
Jika seseorang (pembuat kebijakan) mengetahui suku bunga dari
institusi-institusi tabungan yang berbeda dan berharap untuk mengoptimalkan
pengembalian pada tabungannya, model normatif sederhana ini memungkinkan
pilihan yang jelas dari institusi yang menawarkan suku bunga yang tertinggi,
dengan asumsi bahwa tidak ada pertimbangan lain yang penting (sebagai contoh,
keamanan deposito atau hak-hak istimewa yang khusus bagi para pemuka) yang
harus dipertimbangkan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa model normatif ini
juga memprediksi akumulasi tabungan di bawah alternatif-alternatif yang
berbeda, sedemikian rupa sehingga menunjuk pada karakteristik semua model
normatif: Model normatif itu tidak hanya memungkinkan kita memperkirakan
nilai-nilai masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang dari
variabel-variabel hasil melainkan juga memungkinkan kita mengoptimalkan,
pencapaian suatu nilai.
Model Verbal
Model kebijakan, baik deskriptif maupun normatif, dapat juga dibedakan
menurut bentuk ekspresinya. Model-model normatif dan deskriptif dapat
diekspresikan di dalam tiga bentuk utama, yaitu: verbal, simbol, dan
prosedura1. Model Verbal (Verbal models) diekspresikan dalam bahasa
sehari-hari, bukannya bahasa logika simbolis dan matematika, dan mirip dengan
yang kita terangkan sebelumnya sebagai masalah-masalah substantif. Dalam
menggunakan model verbal, analis bersandar pada penilaian nalar untuk membuat
prediksi dan menawarkan rekomendasi. Penilaian nalar menghasilkan argumen
kebijakan, bukannya dalam bentuk nilai-nilai angka pasti. Model verbal secara
relatif mudah dikomunikasikan di antara para ahli dan orang awanI, dan biayanya
murah. Keterbatasan model verbal adalah bahwa masalahmasalah yang dipakai
untuk memberikan prediksi dan rekomendasi bersifat implisit atau tersembunyi,
sehingga sulit untuk memahami dan memeriksa secara kritis argumen-argumen
tersebut sebagai keseluruhan. Argumen yang mendukung dan menentang blokade
angkatan laut Uni Soviet selama Krisis Misil Kuba pada tahun 1962 adalah contoh
yang baik mengenai model kebijakan verbal. Model verbal Presiden Kennedy
sendiri mengenai krisis tersebut berpendapat bahwa blokade itu adalah
satu-satunya pilihan nyata AS:
Di atas
semuanya, untuk mempertahankan kepentingan vital kita sendiri,
kekuatan-kekuatan nuklir harus mencegah konfrontasi tersebut yang membawa pihak
lawan kepada sebuah pilihan untuk mundur dengan terhina atau perang nuklir.
Mengadopsi tindakan seperti itu dalam abad nuklir akan menjadi bukti kebangkrutan
kebijakan kita-kebijakan tentang kematian kolektif yang akan menimpa seluruh
dunia.
Model
Simbolis
Model simbolis menggunakan simbol-simbol matematis untuk tnenerangkan
hubungan di antara variabel-variabel kunci yang dipercaya mencirii suatu
masalah. Prediksi atau solusi yang optimal diperoleh dari model-model simbolis
dangan meminjam metode-metode matematika, statistika, dan logika. Model-model
simbolis sulit untuk dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para
pembuat kebijakan, dan bahkan di antara para ahli pembuat model sering terjadi
kesalahpahaman tentang elemen-elemen dasar dari model .
Biaya model simbolis mungkin tidak lebih besar daripada model verbal,
memungkinkan seseorang memperhitungkan waktu dan usaha sangat besar yang
dicurahkan pada debat publik, sarana utama untuk mengekspresikan model-model
verbal. Kelemahan praktis model simbolis adalah hasilnya mungkin tidak mudah
diinterpretasikan, bahkan di antara para spesialis, karena asumsi-asumsinya
mungkin tidak dinyatakan secara memadai. Model-model simbolis dapat memperbaiki
keputusankeputusan kebijakan, tetapi hanya jika
premis-premis
sebagai pijakan menyusun model dibuat eksplisit ... Terlalu sering yang pokok
isinya menjadi model yang berdasarkan pada teori dan bukti tidak lebih dari
prekonsepsi dan prasangka ilmuwan yang terselubung dalam kekuatan ilmiah dan
dihiasi dengan simulasi komputer yang ekstensif. Tanpa verihkasi empiris hanya
ada sedikit jaminan bahwa hasil dari praktik semacan itu dapat diandalkan, atau
bahwa hasil itu dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan kebijakan normatif.
Meskipun kita telah membahas model simbolis yang sederhana yang
diciptakan untuk tujuan-tujuan normatif (melipatgandakan bunga), ada banyak
model simbolis yang tujuan utamanya adalah deskriptif. Model simbolis yang
paling sering digunakan adalah persamaan linear yang sederhana
Y =
a + bX
adalah variabel
kebijakan yang dapat dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan. Hubungan antara
X dan Y dikenal sebagai fungsi linear, yang berarti bahwa hubungan antara X dan
Y akan membentuk garis lurus jika digambar pada sebuah grafik (lihat Gambar
5-4). Dalam model ini simbol b menunjukkan jumlah perubahan dalam Y sehingga
akibat dari perubahan di dalam X, yang tergambarkan oleh kemiringan garis lurus
dalam gambar (semakin curam kemiringannya, semakin besar pengaruh X pada Y).
Simbol a (yang disebut intercept constant) menunjukkan titik di mana
garis lurus memotong sumbu vertikal atau Y atau X adalah nol. Dalam Gambar 5-4
semua nilai Y adalah setengah nilai X di sepanjang garis putus-putus (yaitu, y
= 0 + 0,5X), sementara di sepanjang garis penuh semua sama (yaitu, y = 1,OX).
Model linear ini memungkinkan analis menentukan berapa besar perubahan dalam
variabel kebijakan (X) yang diperlukan untuk menghasilkan nilai tertentu dari
variabel hasil
(Y).
Gambar 5.4. Model
Simbolik
Model
Prosedural
Model prosedural (Prosedural models) menampilkan hubungan yang
dinamis di antara variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah
kebijakan. Prediksi-prediksi dan solusi-solusi optimal diperoleh dengan
mensimulasikan dan meneliti seperangkat hubungan yang mungkin ¾sebagai
contoh, pertumbuhan ekonomi, konsumsi energi, dan suplai makanan dalam
tahun-tahun mendatang¾ yang tidak dapat diterangkan secara baik karena
data-data yang diperlukan tidak tersedia. Prosedur simulasi dan penelitian pada
umumnya (meskipun tidak harus) diperoleh dengan bantuan sebuah komputer, yang
diprogram untuk menghasilkan prediksi-prediksi alternatif di bawah serangkaian
asumsi yang berbeda-beda.
Gambar
5.5. Model Simulasi
|
||||
Keputusan kunci dianalisis Probabilitas
akibat
Titik akibat Titik
keputusan masa datang yang
mungkin
Model prosedural, harus dicatat, juga memanfaatkan model ekspresi yang
simbolis. Perbedaan utama antara model simbolis dan prosedural adalah bahwa
model simbolis menggunakan data aktual untuk memperkirakan hubungan di antara
variabel-variabel kebijakan dan hasil, sedangkan model prosedural mengasumsikan
(mensimulasikan) hubungan diantara variabel-variabel tersebut. Biaya model
prosedural relatif tinggi jika dibanding dengan model-model verbal dan
simbolis, sebagian besar karena waktu yang diperlukan untuk mengembangkan dan
menjalankan program-program komputer. Bersamaan dengan itu, model prosedural
dapat ditulis dalam bahasa nonteknis yang terpahami, sehingga memperlancar
komunikasi di antara orang-orang awam. Sementara kelebihan model prosedural
adalah bahwa model ini memungkinkan simulasi dan penelitian yang kreatif,
kelemahannya adalah bahwa model ini sering mengalami kesulitan untuk mencari
data atau argumen yang memperkuat asumsi-asumsinya.
Salah, satu bentuk model prosedural yang paling sederhana adalah pohon
keputusan, yang dibuat dengan memproyeksikan keputusankeputusan kebijakan dan
konsekuensi-konsekuensinya yang mungkin pada masa mendatang. Gambar 5-5
melukiskan sebuah pohon keputusan sederhana yang memperkirakan probabilitas
bahwa beberapa alternatif kebijakan akan mengurangi polusi.43 Pohon-pohon
keputusan berguna untuk membandingkan perkiraan subyektif atas
konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari bermacam-macam pilihan kebijakan di
bawah kondisi di mana sulit untuk menghitung risiko dan ketidakpastian atas
dasar data yang tersedia.