Selamat Datang Pada Web Dr. Priyono, MM yang merupakan terobosan baru untuk kelanjaran dan keberlangsungan sebuah proses pembelajaran bagi Mahasiswa UNIPA Surabaya…!!!! Priyono is The Best Lecturers: MERUMUSKAN MASALAH-MASALAH KEBIJAKAN

Senin, 20 Februari 2012

MERUMUSKAN MASALAH-MASALAH KEBIJAKAN

SIFAT MASALAH-MASALAH KEBIJAKAN

Masalah-masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai, atau kesempatan-kesempatan yang tidak terealisir tetapi yang dapat dicapai melalui tindakan publik. Sebagaimana yang kita lihat dalam Bab 3, informasi mengenai sifat, cakupan, dan kepelikan/keruwetan suatu masalah dihasilkan dengan menerapkan prosedur analisis-kebijakan dalam memahami masalah. Perumusan masalah, yang merupakan fase penelitian kebijakan di mana para analis menelaah berbagai formulasi masalah yang saling berbeda dari para pelaku kebijakan, tidak dapat dipungkiri merupakan kegiatan yang paling penting dari para analis kebijakan. Perumusan masalah merupakan sistem petunjuk pokok atau mekanisme pendorong yang mempengaruhi keberhasilan semua fase analisis kebijakan dewasa ini. Memahami masalah kebijakan adalah sangat penting, karena para analis kebijakan kelihatannya lebih sering gagal karena mereka memecahkan masalah yang salah daripada karena memperoleh solusi yang salah terhadap masalah yang tepat.
Di luar Perumusan Masalah
Analisis kebijakan sering diterangkan sebagai suatu metodologi pemecahan-masalah. Meskipun hal ini untuk sebagian benar dan para analis berhasil memecahkan masalah-masalah publik—citra pemecahan-masalah dari analis, kebijakan dapat menyesatkan. Citra pemecahan-masalah secara salah menggambarkan bahwa para analis dapat berhasil mengidentifikasi, mengevaluasi, dan membuat rekomen­dasi pemecahan masalah tanpa perlu menghabiskan waktu dan usaha yang berharga untuk merumuskan masalah itu. Dalam kenyataannya, analisis kebijakan adalah proses berjenjang yang dinamis di mana mtode-metode perumusan masalah mendahului metode-metode pemecahan masalah (lihat Gambar 5-1).
Gambar 5-1 memperlihatkan bahwa metode-metode perumusan masalah mendahului dan mengambil prioritas terhadap metode-metode pemecahan masalah dalam analisis kebijakan. Metode-metode pada satu tingkat tidak cukup dan tidak efektif pada tingkat berikutnya, karena pertanyaan-pertanyaannya berbeda pada kedua tingkat tersebut. Sebagai contoh, pertanyaan-pertanyaan yang lebih rendah tingkatnya mengenai keuntungan bersih (keuntungan dikurangi biaya) dari beberapa solusi untuk mengontrol polusi industri telah mengasumsikan bahwa polusi industri adalah merupakan masalahnya. Pada pertanyaan berikutnya yang tingkatnya lebih tinggi yang harus dijawab adalah menyangkut cakupan dan kerumitan polusi, kondisi yang memberi kontribusi pada polusi, dan solusi-solusi yang potensial untuk memindahkan dan menghilangkan polusi. Di sini analis dapat menemukan dengan baik bahwa formulasi yang paling layak terhadap masalah dihubungkan secara dekat dengan kebiasaan mengemudi orang-orang Amerika di mana gas dan bahan bakar lebih murah dan disubsidi secara besar­-besaran oleh pemerintah. Hal ini merupakan pertanyaan tentang rumusan masalah; sementara yang tersebut pertama adalah pertanyaan tentang pemecahan masalah. Pendeknya, adalah merupakan suatu hal yang penting untuk mengenali perbedaan di antara proses yang berhubungan dengan masalah seperti yang dilunjukkan oleh kartu dalam Gambar 5-1:


Gambar 1. Prioritas perumusan amsalah dalam analisis kebijakan



 


·         Pengenalan Masalah vs. Perumusan Masalah. Proses analisis kebijakan tidak berawal dengan masalah yang terartikulasi dengan jelas, tetapi suatu perasaan khawatir yang kacau dan tanda-tanda awal dari stres. Rasa kekhawatiran yang kacau dan tanda-tanda awal dari stres ini bukan masalah, tetapi situasi masalah yang dikenal atau dirasakan oleh para analis kebijakan, pembuat kebijakan, dan pelaku kebijakan. Masalah-­masalah kebijakan "adalah produk pemikiran yang dibuat pada suatu lingkungan, suatu elemen situasi masalah yang diabstraksikan dari situasi ini oleh para analis. Dengan begitu, apa yang kita alami merupakan situasi masalah, bukan masalah itu sendiri, yang seperti atom atau sel, merupakan suatu konstruksi konseptual".
·         Perumusan masalah vs. Pemecahan Masalah. Anahsis kebijakan merupakan proses yang berlapis-lapis yang mencakup metode perumusan masalah pada urutan yang lebih tinggi dan metode pemecahan masalah pada urutan yang lebih rendah. Metode yang lebih tinggi dan pertanyaan­-pertanyaan yang layak adalah apa yang akhir-akhir ini disebut sebagai rancangan kebijakan, atau rancangan ilmu. Metode pemahaman masalah dalam urutan yang lebih tinggi adalah metametode yaitu, metode­-metode "mengenai" dan "ada sebelum" metode pemecahan masalah yang berada pada urutan yang lebih rendah. Ketika para analis menggunakan metode dalam urutan yang lebih rendah untuk memecahkan masalah­-masalah yang rumit, mereka beresiko melakukan kesalahan tipe ketiga yang oleh Raiffa disebut: memecahkan masalah yang salah.
·         Pemecahan Kembali Masalah vs. Pementahan Solusi Masalah dan Pementahan Masalah. Istilah-istilah misaslinya: problem resolving, problem unsolving, dan problem dissolving) menunjuk pada tiga macam proses pengoreksian kesalahan. Meskipun ketiga istilah itu berasal dari sumber yang sama, (Latin: solvere, to solve atau dissolve), proses pengoreksian kesalahan terhadap obyek yang dikoreksi berlangsung pada tingkat yang berbeda (lihat dalam Gambar 5.1). “Pemecahan kembali masalah” (problem resolving) mencakup analisis ulang terhadap masalah yang dipahami secara benar untuk mengurangi kesalahan yang bersifat kalibrasional. Sebagai contoh, mengurangi probabilitas kesalahan tipe I atau tipe II dalam menguji hipotesis nul bahwa suatu kebijakan tidak mempengaruhi hasil kebijakan tertentu. Sebaliknya pementahan solusi masalah (problem unsolving), berupa pembuangan solusi dikarenakan kesalahan dalam perumusan masalah—sebagai contoh, kebijakan perbaikan daerah perkotaan yang diimplementasikan di kota-kota besar selama tahun 1960-an—dan kembali ke perumusan masalah dengan maksud untuk memformulasikan masalah secara tepat. Akhirnya, penientahan masalah (problem dissolving) meliputi pembu­angan masalah yang dirumuskan secara tidak tepat dan kembali kepada perumusan masalah sebelum terjadi suatu usaha untuk memecahkan masalah yang tidak tepat itu.
Ciri-ciri Masalah
Contoh-contoh berikut ini akan membuat kita berhati-hati untuk tidak menerima begatu saja masalah kebijakan, karena pemahaman atau akal sehat sehari-hari acapkali menyesatkan ketika kita berurusan dengan hal-hal rumit seperti masalah-masalah kebijakan. Uraian berikut ini menjelaskan beberapa ciri penting dari masalah kebijakan:
1.      Saling ketergantungan dari masalah kebijakan. Masalah-masalah kebijakan di dalam satu bidang (misalnya, energi) kadang-kadang mempengaruhi masalah-masalah kebijakan di dalam bidang lain (misalnypa, pelayanan kesehatan dan pengangguran). Dalam kenyataan masalah-masalah kebijalan bukan merupakan kesatuan yang berdiri sendiri; mereka merupakan bagian dari seluruh sistem  masalah yang paling baik diterangkan sebagai messes, yaitu, suatu sistem kondisi ekstenal yang menghasilkan ketidakpuasan di antara segmen-segmen masyarakat yang berbeda. Sistem masalah atau messes sulit atau bahkan tidak mungkin dipecahkan dengan menggunakan pendekatan analitis—yaitu, pendekatan yang memecahkan masalah ke dalam elemen-elemen atau bagian-bagian yang menyusunnya—karena jarang masalah-masalah dapat didefinisikan dan dipecahkan secara sendiri-sendiri. Kadang-­kadang merupakan hal yang mudah "untuk memecahkan sepuluh masalah yang saling terkait, daripada memecahkan satu masalah secara sendiri. Sistem masalah yang saling tergantung mengharuskan suatu pendekatan holistik, suatu pendekatan yang memandang bagian-bagian sebagai tak terpisahkan dari keseluruhan sistem yang mengikatnya.
2.      Subyektivitas dari Masalah Kebijakan. Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu permasalahan didefinisikan, diklasifikasikan,  dijelaskan, dan dievaluasi secara selektif. Meskipun terdapatr suatu anggapan bahwa masalah bersifat obyektif—misalnya, polusi udara dapat didefinisikan sebagai tingkat gas dan partikel-partikel di dalam atmosfer—data yang sama mangenai polusi dapat diinterpretasikan secara berbeda. Masalah kebijakan “adalah suatu hasil  pemikiran yang dibuat pada suatu lingkungan tertentu; Masalah tersebut merupakan elemen dari suatu situasi masalah yang diabstrakskan dari situasi tersebut oleh analis. Dengan begitu, apa yang kita alami sesungguhnya adalah merupakan adalah suatu situasi masalah, bukan masalah itu sendiri, seperti halnya atom atau sel, merupakan suatu konstruksi konseptual. Dalam analisis kebijakan merupakan hal yang sangat penting untuk tidak mengacaukan antara situasi masalah dengan masalah kebijakan, karena masalah adalah barang abstrak yang timbul dengan mentransformasikan pengalaman ke dalam penilaian manusia.
3.      Sifat buatan dari masalah. Masalah-masalah kebijakan hanya mungkin  ketika manusia membuat penilaian mengenai keinginan untuk mengubah beberapa situasi masalah. Masalah kebijakan merupakan hasil/produk penilaian subyektif manusia; masalah kebijakan itu juga bisa diterima sebagai definisi-definisi yang sah dari kondisi sosial yang obyektif; dan karenanya, masalah kebijakan dipahami, dipertahankan, dan diubah secara sosial. Masalah tidak berada di luar individu dan kelompok-kelompok yang mendefinisikan, yang berarti bahwa tidak ada keadaan masyarakat yang "alamiah" di mana apa yang ada dalam masyarakat tersebut dengan sendirinya merupakan masalah kebijakan.
4.      Dinamika masalah kebijakan. Terdapat banyak solusi untuk suatu masalah sebagaimana terdapat banyak definisi terhadap masalah tersebut. “Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang konstan; dan karenanya masalah tidak secara konstan terpecahkan.... Solusi terhadap masalah dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum usang."
Sistem masalah (messes) bukan merupakan kesatuan mekanis: melainkan sistem yang bertujuan (teleologis), di mana (1) tidak ada dua anggotanya yang sama persis di dalam semua atau bahkan setiap sifat­-sifat atau perilaku mereka; (2) sifat-sifat dan perilaku setiap anggota mempunyai pengaruh pada sifat-sifat dan perilaku sistem secara keseluruhan; (3) sifat-sifat dan perilaku setiap anggota, dan cara setiap anggota mempengaruhi sistem secara keseluruhan, tergantung pada sifat­-sifat dan perilaku paling tidak dari salah satu anggota system; dan (4) dimungkinkan sub kelompok anggota mempunyai suatu pengaruh yang tidak bebas atau tidak independen pada sistem secara keseluruhan. Hal ini berarti bahwa sistem masalah—kejahatan, kemiskinan, pengangguran, inflasi, energi, polusi, kesehatan—tidak dapat dipecah ke dalam rangkaian yang independen tanpa menimbutkan risiko menghasilkan solusi yang tepat terhadap masalah yang salah.
Kunci karakteristik dari sistem permasalahan adalah bahwa seluruh sistem lebih besar—yaitu, berbeda secara kualitatif—daripada sekedar jumlah dari bagian-bagiannya. Suatu tumpukan batu dapat didefinisikan sebagai jumlah masing-masing batu tetapi tidak sebagai suatu piramida. Demikian juga,
manusia dapat menulis atau berlari, tetapi satu anggota tubuh tidak dapat melakukannya sendiri. Selanjutnya, keanggotaan dalam sistem dapat meningkatkan atau mengurangi kemampuan masing-masing elemen; dan setiap anggota sistem tidak dapat membuat yang lain tidak terpengaruh. Sebagai contoh, otak tanpa ada bagian-bagian tubuh lainnya tidak akan dapat berfungsi. Individu yang merupakan bagian suatu bangsa atau perusahaan dapat mengerjakan sesuatu yang tidak dapat dikerjakan anggota lain, dan dia tidak perlu mengerjakan hal yang dapat dikerjakan orang lain."
Akhirnya, pengakuan terhadap ketergantungan, subyektivitas, sifat buatan dan kedinamisan masalah-masalah kebijakan membuat kita berhati-hati terhadap kemungkinan terjadinya konsekuensi-konsekuensi yang tidak terduga ketika suatu kebijakan dibuat berdasarkan pada pemecahan/solusi yang tepat tetapi terhadap masalah yang salah. Lihat, misalnya, situasi masalah yang dihadapi pemerintah-pemerintah Eropa Barat dalam dasawarsa terakhir ini. Perancis dan Jerman Barat, yang berusaha untuk meluaskan pasokan energi yang tersedia dengan membangun kompleks tenaga nuklir pada Sungai Rhine, mendefinisikan masalah energi dengan berasumsi bahwa tenaga nuklir tidak terkait dengan masalah-masalah lain. Sehingga hubungan antara energi dengan item masalah yang lebih luas tidak masuk ke dalam perumusan masalah. Seorang pengamat, yang menulis di tahun 1970-an, memperingatkan bahwa
malaria akan datang sebagai penyakit menular utama di Eropa di dalam sepuluh tahun mendatang, beruntung ada keputusan pemerintah Jerman dan Perancis untuk membangun generator atom yang memanfaatkan air sungai untuk sistem pendinginnya sehingga suhu air tidak memungkinkan anopeles (nyamuk pembawa malaria) berkembang biak."
Masalah-masalah vs. Isu-isu
Jika masalah-masalah kebijakan benar-benar merupakan keseluruhan dari sistem masalah-masalah, itu berarti bahwa isu-isu kebijakan pasti sama kompleksnya. Isu-isu kebijakan tidak hanya mengandung ketidaksetujuan mengenai serangkaian aksi yang aktual atau potensial; tetapi juga mencerminkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang sifat dari masalah-masalah itu sendiri. Isu kebijakan yang nampak secara jelas-sebagai contoh, apakah pemerintah harus meningkatkan standar kualitas udara di dalam industri-merupakan konsekuensi yang khas dari seperangkat asumsi yang saling bersaing tentang sumber polusi.
1.      Polusi adalah konsekuensi alamiah dari kapitalisme, suatu sistem ekonomi di mana para pemilik industri berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan keuntungan dari investasi mereka. Sejumlah kerusakan pada lingkungan adalah harga yang wajar yang harus dibayar bagi sehatnya ekonomi kapitalis.
2.      Polusi adalah hasil dari kebutuhan akan kekuasaan dan prestise di antara manajer industri yang mencari promosi dalam birokrasi besar yang berorientasi pada karir. Polusi merupakan suatu situasi yang parah di dalam sistem sosialis di mana tidak ada pemilik swasta yang herorientasi pada pencarian laba.
3.      Polusi adalah konsekuensi dari pilihan konsumen dalam masyarakat konsumtif tingkat tinggi. Para manajer dan pemilik perusahaan harus memuaskan konsumen yang menghendaki mesin dan mobil yang berpenampilan menarik.
Kemampuan untuk mengenali perbedaan di antara situasi problematis, masalah kebijakan, dan isu kebijakan adalah penting sekali dalam rangka memahami cara menafsirkan sebuah peristiwa, yang menimbulkan ketidaksetujuan tentang serangkaian tindakan pemerintah yang aktual maupun potensial. Formulasi masalah sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi para pelaku kebijakan yang berbeda-legislator, ad­ministrator, pimpinan-pimpinan bisnis, kelompok-kelompok konsumen-sehingga membawa kepada kondisi permasalahan yang ada. Selanjutnya, formulasi masalah yang berbeda menentukan bagaimana isu-isu kebijakan didefinisikan. Di dalam contoh polusi lingkungan seperti tersebut di atas, asumsi-asumsi mengenai cara kerja ekonomi kapitalis yang sehat sudah barang tentu akan membawa kepada pandangan yang berrsifat negatif menganai perlunya pemerintah menerapkan standar kualitas udara di dalam industri, sementara itu asumsi-asumsi mengenai perilaku manajer perusahaan kelihatannya menghasikan posisi yang bersifat menyetujui. Sebaliknya, asumsi yang ketiga mengenai pilihan konsumen dan kelangsungan perusahaan dapat menghasilkan kesimpulan bahwa regulasi pemerintah terhadap polusi industri bukan merupakan isu, karena pemerintah tidak dapat mengatur permintaan konsumen.
Kompleksitas isu-isu kebijakan dapat diperlihatkan dengan mempertimbangkan jenjang organisasi di mana isu-isu itu diformulasikan (lihat Gambar 5-2). Isu-isu kebijakan dapat diklasifikasikan sesuai dengan hirarki dari tipe: utama, sekunder, fungsional, dan minor. Isu-isu utama (major issues) secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah tertinggi di dalam atau di antara jurisdiksi/wewenang federal, negara bagian, dan lokal. Isu-isu utama secara khusus meliputi pertanyaan tentang misi suatu instansi, yaitu pertanyaan mengenai sifat dan tujuan organisasi-organisasi pemerintah. Isu seperti apakah Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat harus berusaha menghilangkan kondisi yang menimbulkan kemiskinan adalah pertanyaan mengenai misi lembaga. Isu-isu sekunder (secondary issues) adalah isu yang terletak pada tingkat instansi pelaksana program-program di pemerintahan federal, negara bagian, dan lokal. Isu-isu yang kedua ini dapat berisi isu prioritas-prioritas program dan definisi kelompok-kelompok sasaran dan penerima dampak. Isu mengenai bagaimana mendefinisikan kemiskinan keluarga adalah isu yang kedua. Sebaliknya, isu-isu fungsional (functional issues), terletak di antara tingkat program dan proyek, dan memasukkan pertanyaan-pertanyaan seperti anggaran, keuangan, dan usaha untuk memperolehnya. Terakhir, isu-isu minor (minor issues), adalah isu-isu yang ditemukan paling sering pada tingkat proyek-proyek yang spesifik. Isu-isu minor meliputi personal, staff, keuntungan bekerja, waktu liburan, jam kerja, dan petunjuk pelaksanaan serta peraturan.
Gambar 5.2. Hirarki tipe-tipe isu kebijakan



 


Kebijakan Operasional
Bila hirarki isu-isu kebijakan naik, masalah-masalah menjadi saling tergantung, subyektif, artifisial, dan dinamis. Meskipun tingkat­-tingkat ini saling tergantung, beberapa isu memerlukan kebijakan yang strategis, sementara yang lain meminta kebijakan operasional. Suatu kebijakan yang strategis (strategic policy) adalah salah satu kebijakan di mana konsekuensi dan keputusannya secara relatif tidak bisa dibalikkan. Suatu isu seperti apakah AS harus mengirimkan pasukannya ke Teluk Persi, atau apakah pekerja sosial harus diorganisir kembali, memerlukan kebijakan-kebijakan strategis karena konsekuensi dari keputusan-keputusan tidak dapat dibalik ulang untuk beberapa tahun. Sebaliknya, kebijakan operasional (operational policies)—yaitu, kebijakan di mana konsekuensi dari keputusan-keputusan secara relatif dapat dibalik ulang- tidak menimbulkan risiko dan ketidakpastian masa kini pada tingkat yang lebih tinggi. Sementara semua tipe kebijakan adalah saling tergantung—sebagai contoh, realisasi dari misi-misi suatu instansi tergantung sebagian pada kemampuan praktik-praktik personalnya—adalah penting untuk mengetahui bahwa kompleksitas dan tak dapat diulangnya suatu kebijakan akan semakin tinggi seiring dengan meningkatnya hirarki isu-isu kebijakan.
Tiga Kelas Masalah Kebijakan
Terdapat tiga kelas masalah kebijakan, yaitu: masalah yang sederhana (well-structured), masalah yang agak sederhana (moderately-­structured) dan masalah yang rumit (ill-structured). Struktur dari masing-masing kelas ini ditentukan oleh tingkat kompleksitasnya, yaitu, derajat seberapa jauh suatu masalah merupakan sistem permasalahan yang saling tergantung. Perbedaaan di antara masalah-masalah yang sederhana, agak sederhana, dan run-it digambarkan dengan mempertimbangkan variasi di dalam elemen-elemen mereka. (lihat dalam Tabel 5-1).
Table 5-1. Perbedaan dalam struktur dari tiga tipe masalah kebijakan
STRUKTUR MASALAH
ELEMEN
Sederhana
Agak Sederhana
Rumit
Pengambilam ke-putusan
Alternatif
Kegunaan (nilai)
Hasil
Probabilitas
Satu atau beberapa
Tebatas
Konsensus
Pasti atau berisiko
Dapat dihitung
Satu atau beberapa
Terbatas
Konsensus
Tidak pasti
Tak dapat dihitung
Banyak
Tak terbatas
Konflik
Tidak diketahui
Tak dapat dihitung
           
Masalah yang sederhana (well-structured problems) adalah masalah yang melibatkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan seperangkat kecil alternatif-alternatif kebijakan. Kegunaan (nilai) mencerminkan konsensus pada tujuan-tujuan jangka pendek yang secara jelas diurutkan dalam tatanan pilihan pembuat keputusan. Hasil dari masing-masing alternatif diketahui dengan keyakinan yang tinggi (secara deterministik) atau di dalam margin kesalahan yang rnasih dapat diterima (risiko). Prototipe masalah yang sederhana adalah masalah keputusan yang dikomputerkan secara penuh, di mana semua konsekuensi dari semua alternatif kebijakan diprogram. Masalah-masalah operasional yang secara relatif lebih rendah di dalam instansi pemerintah memberi gambaran mengenai masalah yang sederhana. Sebagai contoh, masalah mengganti kendaraan secara relatif adalah masalah yang sederhana yang meliputi pencarian titik optimum pada kendaraan lama yang harus dijual untuk yang baru, diambil ke dalam perhitungan biaya perbaikan rata­-rata bagi kendaraan lama dan pembelian dan harga depriasi bagi kendaraan yang baru.
Masalah yang agak sederhana (Moderately structured problems) adalah masalah-masalah yang melibatkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan sejumlah alternatif yang secara relatif terbatas. Kegunaan (nilai) juga mencerminkan konsensus pada tuiuan-tujuan jangka pendek yang diurutkan secara jelas. Meskipun demikian, hasi1 dari alternatif-­alternatif itu belum tentu meyakinkan (deterministik) ataupun diperhitungkan di dalam margin kesalahan yang diterima (risiko); hasil­-hasil itu tidak meyakinkan/tidak tentu, yang berarti bahwa probabilitas kesalahan tidak dapat diperkirakan sama sekali. Contoh dari masalah yang agak sederhana adalah simulasi atau permainan kehijakan, suatu ilustrasi yang disebut dengan "dilema tahanan." Dalam pernainan ini dua tahanan ditahan dalam ruang tahanan, sel yang terpusat, di mana masing-masing tahanan diinterograsi oleh penuntut, yang harus memperoleh pengakuan dari salah seorang atau kedua tahanan itu untuk menetapkan hukuman. Penuntut yang telah mempunyai cukup bukti untuk menghukum masing-masing tahanan yang melakukan kejahatan ringan itu, mengatakan kepada setiap tahanan, jika tidak ada yang mengaku maka mereka akan dituduh melakukan kejahatan yang ringan dengan tuntutan hukuman yang juga ringan; jika keduanya mengaku melakukan kejahatan yang lebih serius, keduanya akan menerima pengurangan hukuman; tetapi jika hanya salah seorang yang mengaku, tertuduh yang mengaku akan menerima hukuman percobaan, sementara yang lain akan menerima hukuman maksimum. Pilihan "optimal" bagi masing-masing tahanan, dengan asumsi bahwa masing-masing tidak mengetahui keputusan yang diambil pihak lain, adalah untuk mengaku. Dengan begitu masing-masing akan menerima keputusan lima tahun hukuman, karena keduanya kclihatannya berusaha untuk meminimalkan hukuman mereka. Contoh ini tidak hanya menggambarkan kesulitan membuat pilihan ketika hasilnya tidak pasti tetapi juga memperlihatkan bahwa pilihan individu yang "rasional" dapat memberi kontribusi terhadap irasionalitas kolektif dalam kelompok-kelompok kecil, birokrasi pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan.
Masalah yang rumit (Ill-structured problems) adalah masalah-­masalah yang mengikutsertakan banyak pembuat keputusan yang utilitas (nilai)nya tidak diketahui atau tidak mungkin untuk diurutkan secara konsisten. Jika masalah-masalah yang sederhana dan agak sederhana mencerminkan korsensus, maka karakteristik utama dari masalah-­masalah yang rumit adalah konflik di antara tujuan-tujuan yang saling bersaing. Alternatif-alternatif keebijakan dan hasilnya dapat juga tidak diketahui, karena tidak mungkin memperkirakan risiko dan ketidakpastian. Masalah pilihan tidak untuk menentukan hubungan-­hubungan deterministik yang diketahui, tetapi lebih untuk mendefinisikan sifat masalah. Contoh masalah yang rumit adalah masalah keputusan intransitif secara penuh, yaitu, suatu masalah di mana tidak mungkin untuk memilih alternatif kebijakan tunggal yang disukai oleh semua orang. Sementara masalah yang sederhana atau agak sederhana mengandung urutan-urutan pilihan yang transitif-yaitu, jika alternatif A1 lebih disukai daripada alternatif A2, dan alternatif A2 lebih disukai daripada alternatif A3, maka alternatif A1 lebih disukai daripada alternatif A3—masalah yang rumit mempunyai urutan pilihan yang intransitif.
Kebanyakan masalah kebijakan yang paling penting cenderung rumit (ill-structured). Satah satu pelajaran dari ilmu politik, administrasi publik, dan disiplin lainnya adalah bahwa masalah-masalah yang, sederhana atau agak sederhana jarang dijumpai dalam lingkungan pemerintahan yang kompleks.
Sebagai contoh, merupakan hal yang tidak realistis untuk menganggap keberadaan satu atau beberapa pembuat keputusan dengan pilihan (manfaat) yang sama, karena kebijakan-kebijakan publik adalah seperangkat keputusan yang saling berhubungan yang dibuat dan dipengaruhi oleh para pelaku kebijakan di sepanjang periode waktu yang panjang. Konsensus adalah jarang, karena pembuatan kebijakan publik cenderung menimbulkan konflik di antara para pelaku kebijakan yang saling bersaing. Akhirnya, merupakan hal yang hampir tidak mungkin atau jarang untuk dapat mengindentifikasi seluruh alternatif pemecahan masalah, dan hal ini untuk sebagian karena hambatan-hambatan pada perolehan informasi, dan juga karena kadang-kadang sulit untuk mencapai formulasi permasalahan yang memuaskan. Alasan mengapa masalah yang rumit adalah sangat penting bagi analisis kebijakan publik telah diringkaskan sejumlah ilmuwan sosial.
PERUMUSAN MASALAH DALAM ANALISIS KEBIJAKAN
Syarat untuk memecahkan masalah yang rumit adalah tidak sama dengan syarat untuk memecahkan masalah yang sederhana. Masalah yang sederhana memungkinkan analis menggunakan metode-metode konvensional, sementara masalah yang rumit menuntut analis untuk mengambil bagian aktif dalam mendefinisikan hakekat dari masalah itu seradiri. Dalam mendelinisikan secara aktif hakekat suatu masalah, para analis harus tidak hanya menghadapkan diri mereka pada keadaan problematis tetapi iuga harus membuat peniiaian dan pendapat secara kreatit. Hal ini berarti; hahwa analisis kebijakan dibagi ke dalam dua jenis analisis secara seimbang, yaitu perumusan masalah dan pemecahan masalah. Dengan kata lain, pemecahan masalah hanyalah salah satu bagian dari kerja analsis kebijakan:
Gamharan tentang pemecahan masalah bertolak dari pandangan bahwa kerja kebijakan bermula dari masalah-masalah yang sudah terartikulasi dan ada dengan sendirinya. Semestinya, kebijakan bermula ketika masalah-masalah yang diketahui nampak, masalah-masalah yang terhadapnya seseorang dapat membuat hipotesis tentang serangkaian tindakan yang mungkin dan yang terhadapnya seseorang dapat mengartikulasikan tujuan-tujuan bukan masalah-masalah yang jelas, tetapi kekhawatiran yang bercampur aduk, yang nampak. Kelompok-kelompok penekan politik menjadi aktif tidak secbagaimana biasanya, atau kegiatan mereka menjadi lebih terberitakan; indikator-indikator sosial formal dan informal memberi tanda kecenderungan yang tidak dikehendaki, atau kecenderungan-kecenderungan yang dapat diinterpretasikan sebagai titik yang diinginkan. Terdapat tanda-tanda, kemudian masalah, tetapi tidak seorang pun mengetahui apa masalah itu.... Dengan kata lain, keadaanya sedemikian rupa sehingga masalah itu sendiri problematis. Analisis kebijakan mengandung proses untuk mencari dan merumuskan masalah-masalah; mencakup penetapan (perumusan) masalah dengan tujuan untuk menginterpre­tasikan gejala stres yang ada di dalam sistem.
Kreativitas dalam Merumuskan Masalah
Kriteria untuk menentukan keberhasilan perumusan masalah juga berbeda dari yang digunakan untuk menilai keberhasilan dalam memecahkan masalah. Pemecahan masalah yang berhasil mengharuskan para analis memperoleh solusi-solusi teknis yang benar untuk masalah­-masalah yang diformulasikan secara jelas. Sebaliknya, perumusan masalah yang berhasil mengharuskan bahwa para analis mendapatkan solusi-solusi untuk masalah-masalah yang kabur dan sulit didefinisikan. Dalam kenyataannya, kriteria untuk menilai tindakan kreatif secara umum juga terpakai bagi kreatifitas dalam merumuskan suatu masalah. Perumusan masalah bersifat kreatif sepanjang satu atau lebih kondisi berikut ini terpenuhi: (1) produk analisis cukup baru sehingga banyak orang belum pernah mencapai solusi yang sama; (2) proses analisis tidak konvensional yang meliputi modifikasi atau penolakan ide-ide yang pernah ada; (3) proses analisis mengharuskan motivasi dan persistensi yang tinggi sehingga analisis berlangsung dengan intensitas tinggi atau dalam periode waktu yang panjang, (4) produk analis dinyatakan bermanfaat oleh para analis, pembuat kebijakan, dan para pelaksana kebijakan, karena dia memberikaan solusi yang memadai bagi suatu masalah; dan (5) masalah yang pada awalnya dihadapi bersifat tidak jelas, kabur, dan sulit didefinisikan, sehingga sebagian dari tugasnya adalah memformulasikan masalah itu sendiri.
Fase-fase Perumusan Masalah
Sebagaimana yang kita lihat di atas (dalam Gambar 5-1), perumusan masalah mengambil prioritas di atas pemecahan masalah dalam analisis kebijakan. Perumusan masalah dapat dipandang sebagai suatu proses dengan empat fase yang saling tergantung, yaitu: pencarian masalah (problem search), pendefinisian masalah (problem definition), spesifikasi masalah (problem specification), dan pengenalan masalah (problem sensing) (lihat Gambar 5-3). Prasyarat perumusan masalah adalah pengakuan atau "dirasakannya keberadaan" suatu situasi masalah. Untuk pindah dari situasi masalah seorang analis terlibat dalam pencarian masalah. Pada tahap ini tujuan jangka pendeknya bukan penemuan suatu masalah tunggal (misalnya, masalah klien atau - analis itu); melainkan penemuan beberapa reprensentasi masalah dari berbagai pelaku kebijakan. Para analis yang terlatih biasa menghadapi jaringan besar yang kacau dari formulasi-formulasi masalah yang saling bersaing yang dinamis, terbentuk oleh situasi sosial, dan terdistribusi pada seluruh proses pembuatan kebijakan. Akibatnya, para analis dihadapkan pada metaproblem ¾suatu masalah di atas masalah-­masalah yang rumit karena wilayah reprensentasi masalah yang dirniliki oleh para pelaku kehijakan nampak tidak tertata rapi. Tugas utama adalah untuk merumuskan meta-masalah, yaitu, masalah yang dalam urutan kedua yang dapat didefinisikan sebagai kelas dari semua masalah urutan pertama, yang merupakan anggotanya. Kecuali jika kedua tingkat ini dibedakan secara jelas, para analis menghadapi resiko memformulasikan masaiah yang salah dengan mencampur anggota dan kelasnya. Bila gagal membedakan tingkat-tingkat ini, analis melanggar aturan bahwa "apapun yang mencakup keseluruhan pastilah bukan anggota keseluruhan itu.
Dalam perpindahan dari metamasalah ke masalah substantif, analis berusaha,untuk mendefinisikan suatu masalah dalam istilah yang paling mendasar dan umum. Sebagai contoh, analis dapat menentukan apakah masalah itu adalah masalah ekonomi, sosial, atau ilmu politik. Jika masalah substantifnya dikonsepkan sebagai masalah ekonomi, analis akan memperlakukannya dalam ketentuan faktor-faktor yang berhubungan dengan produksi dan distribusi barang dan jasa ¾sebagai contoh, harga pasar menentukan biaya dan manfaat program-program publik. Sebaliknya, jika masalahnya dipandang sebagai masalah politik atau sosiologi, analis akan mendekatinya sebagai distribusi kekuasaan dan pengaruh di antara kelompok-kelompok kepentingan, elit, dan lapisan sosial lainnya yang saling bersaing. Pemilihan sebuah kerangka konseptual sering sama dengan pemilihan sebuah pandangan hidup, ideologi, atau mitos rakyat dan menunjukkan komitmen terhadap suatu cara pandang.
Gambar 5-3. Tahap-tahap perumusan masalah
Untuk menggambarkan pentingnya pandangan dunia, idEologi, dan mitos rakyat dalam mengkonsepkan masalah-masalah substantif, perhatikan bermacam-macam cara dalam mendefinisikan masalah kemiskinan. Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai konsekuensi dari keadaan yang tidak disengaja atau tidak dapat dielakkan dalam masyarakat, dari tindakan-tindakan jahat manusia, atau ketidak­sempurnaan dalam kemiskinan mereka sendiri. Definisi kemiskinan ini mengandung elemen-elemen pandangan dunia, mitos, atau ideologi sebagaimana masing-masing meliputi persepsi yang selektif terhadap elemen-elemen kondisi masalah. Pandangan dunia, ideologi, dan mitos sebagian benar dan sebagian salah, yang berarti bahwa mereka berguna dan pada saat yang sama berbahaya. Dalam contoh ini penjelasan tentang kemiskinan sebagai kecelakaan sejarah atau sesuatu yang tak terelakkan menunjukkan perspektif naturalistik terhadap masalah­masalah sosial yang mendistorsi realitas dengan menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan mengenai distribusi kekayaan adalah tidak ada artinya; tetapi mitos ini dapat pula menggugah analis kepada definisi relatif tentang kemiskinan dengan menunjuk fakta bahwa tidak ada masyarakat yang diketahui telah memecahkan masalah kemiskinan tersebut secara menyeluruh. Mirip dengan itu, penjelasan tentang kemiskinan sebagai akibat dari kaum kapitalis yang jahat atau korup secara moral mendistorsi motivasi yang ada dari kaum miskin tersebut. Perspektif moralistik yang sama, yang menjelaskan kemiskinan sebagai kelemahan moral, juga mengarahkan perhatian terhadap cara-cara pemilik swasta mempromosikan sampah, eksploitasi, dan tidak adanya tanggung jawab sosial. Akhirnya, untuk menyatakan kemiskinan sebagai ketidak sempurnaan di dalam orang miskin sendiri tidak hanya menghasillcan penyalahan korban daripada lembaga sosial yang bertanggung jawab, tetapi juga menunjuk pada fakta bahwa beberapa orang miskin memilih untuk hidup di bawah kondisi yang didefinisikan oIch sebagian besar masyarakat sebagai "miskin." Perspektif lingkungan ini, yang men jelaskan kemiskinan dan masalah-masalah sosial lain dengan karakteristik lingkungan si korban, sering menghasilkan cap kcmanusiaan yang kontradiktif yang dikenal sebagai "menyalahkan korban."
Kaum humanis dapat mengkonsentrasikan keinginan murah hatinya pada kekurangan korban, mengutuk stres sosial dan lingkungan .yang samar-samar yang menghasilkan kekurangan (beberapa waktu yang lalu), dan mengabaikan keberlanjutan pengaruh kekuatan sosial yang mencelakakan (sekarang ini). Hal ini merupakan ideologi yang cemerlang untuk munjustifilcasi bentuk aksi sosial yang ada yang diciptakan untuk mengubah, bukan masyarakat, seperti yang diharapkan, tetapi korban dalam masyarakat itu.
Sekali masalah substantif telah didefinisikan, masalah formal yang lebih rinci dan spesifik dapat dirumuskan. Proses perpindahan dari masalah substantif ke masalah formal dilakukan melalui spesifikasi masalah, yang secara tipikal meliputi pengembangan representasi (model) matematis formal dari masalah substantif. Pada pokok ini kesulitan mungkin terjadi, karena hubungan antara masalah substantif yang rumit dan representasi formal dari masalah itu mungkin lemah/renggang. Kebanyakan metode untuk menspesifikasikan masalah dalam terminologi matematika formal tidak sesuai untuk masalah­-masalah yang sulit didefinisikan, di mana tugas utamanya bukan untuk mendapatkan solusi matematis yang tepat/benar tetapi untuk mendefinisikan sifat dari masalah itu sendiri.
Kesalahan Tipe Ketiga (EIII)
Isu kritis dari perumusan masalah adalah bagaimana masalah­-masalah substantif dan formal secara aktual terkait dengan kondisi masalah yang sebenarnya. Jika sebagian bcsar kondisi masalah ternyata mengandung seluruh sistem masalah atau messes, maka keharusan bagi analisis kebijakan adalah formulasi masalah substantif dan masalah formal yang mampu mencerminkan kompleksitas tersebut. Derajat hubungan antara kondisi masalah yang ada dan masalah substantif ditentukan pada fase definisi masalah. Di sini analis membandingkan karakteristik kondisi masalah dan masalah substantif, yang sering didasarkan pada asumsi-asumsi dan keyakinan implisit mengenai asal ­mula manusia, waktu, dan kemungkinan bagi perubahan sosial melalui tindakan pemerintah. Yang juga penting adalah derajat hubungan antara kondisi masalah dan masalah formal, yang sering dikhususkan dalam bentuk rumus matematis atau seperangkat persamaan.
Dalam hal pertama (pencarian masalah), analis yang gagal dalam pencarian masalah, atau berhenti mencari secara dini, menanggung risiko menetapkan batasan-batasan yang salah dari metaproblem. Aspek-aspek penting dari metaproblem sebagai contoh, formulasi masalah yang dihadapi oleh mereka yang tengah atau akan ditugasi mengim­plementasikan kebijakan dapat dikatakan berada di luar batas-batas metaproblem. Dalam hal kedua (definisi masalah), para analis menanggung risiko memilih pandangan dunia, ideologi, atau mitos yang salah untuk mengkonseptualisasikan kondisi masalah ketika mereka harus memilih salah satu yang tepat. Dalam hal ketiga (spesifikasi masalah), risiko utama adalah memilih representasi formal (model) yang salah dari inasalah substantif ketika representasi formal yang tepat harus dipilih. Dalam setiap hal tersebut di atas, para analis dapat melakukan kesalahan tipe ketiga atau errors ofthe third type (EIII). Kesalahan tipe III telah diterangkan oleh teoritisi keputusan Howard Raiffa dalam kalimat berikut ini:
Salah satu paradigma yang paling populer dalam...matematika menerangkan kasus di dalam mana seorang peneliti harus menerima atau menolak apa yang dikenal dengan hipotesis nol. Pada pelajaran awal statistik mahasiswa belajar bahwa dia harus terns menerus menyeimbangkan antara membuat kesalahan tipe pertama (yaitu, menolak hipotesis nol yang benar) dan kesalahan tipe kedua (yaitu menerima hipotesis nol yang salah) ... sementara para praktisi juga terlalu sering membuat kesalahan tipe ketiga: memecahkan masalah yang salah.
Proses perumusan masalah menimbulkan sejumlah isu penting dalam metodologi analisis kebijakan dan ilmu pada umumnya. Setiap fase perumusan masalah mengharuskan bermacam-macam keahlian metodologis yang berbeda dan diterapkannya standar rasionalitas yang berbeda-beda. Sebagai contoh, bermacam-macam keahlian yang sangat memadai untuk menemukan metaproblems dan mendefinisikan masalah­-masalah substantif juga observasional dan konseptual. Subyek-subyek matematik dan statistik (ekonomi, penefitian operasi, analisis sistem) terutama relevan untuk menspesilikasikan masalah-masalah formal. Penstrukturan masalah juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang arti rasionalitas yang berbeda-beda, karena rasionalitas bukan sekedar persoalan mencari representasi formal yang tepat tentang kondisi masalah. Inilah definisi teknis baku tentang rasionalitas yang dikritik atas penyederhanaan formalnya yang berlebihan terhadap proses yang kompleks. Rasionalitas dapat didefinisikan pada tingkat yang lebih mendasar, di mana pilihan yang tidak disadari dan tidak kritis tentang suatu pandangan dunia, ideologi, atau mitus dapat mengacaukan secara serius konseptualisasi masalah substantif dan solusi-solusinya yang potensial. Dalam kasus ini, analisis kebijakan mungkin merupakan ideologi tersamar. Terakhir, pencarian metamasalah didasarkan pada proses tanya-jawab yang iebih baik disebut rasionalitas erotetik (erotetic rationality).
TIPE-TIPE MODEL KEBIJAKAN
Model Kebijakan (Policy models) adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu. Persis sepeti masalah-masalah kebijakan yang merupakan bangunan mental yang berdasarkan pada konseptualisasi dan spesifikasi elemen-elemen kondisi masalah, model­-model kebijakan merupakan rekonstruksi artifisial dari realitas dalam wilayah yang merentang dari energi dan lingkungan sampai ke kemiskinan, kesejahteraan, dan kejahatan. Model kebijakan dapat dinyatakan sebagai konsep, diagram, grafik, atau persamaan mate­matika. Mereka dapat digunakan tidak hanya untuk menerangkan, menjelaskan, dan memprediksikan elemen-elemen suatu kondisi masalah melainkan juga untuk memperbaikinya dengan merekomendasikan serangkaian tindakan untuk memecahkan masalah-masalah tertentu. Model kebijakan tidak pernah merupakan deskripsi literal tentang situasi masalah. Seperti halnya masalah kebijakan, model kebijakan merupakan alat artifisial untuk menyusun secara imajinatif dan menginterpretasikan pengalaman kita tentang situasi masalah.
Model kebijakan bermanfaat dan bahkan harus ada. Model kebijakan merupakan penyederhanaan sistem masalah (messes) dengan membantu mengurangi kompleksitas dan menjadikannya dapat dikelola oleh para analis kebijakan.
Model-model kebijakan dapat membantu membedakan hal-hal yang esensial dan yang tidak esensial dari situasi masalah, mempertegas hubungan di antara faktor-faktor atau variabel-variabel penting, dan membantu menjelaskan dan memprediksikan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Model-model kebijakan juga dapat memainkan peran kreatif dan kritis di dalam analisis kebijakan dengan mendorong para analis untuk membuat asumsi-asumsi eksplisit mereka sendiri dan untuk menantang ide-ide konvensional maupun metode­-metode analisis. Terakhir, penggunaan model-model kebijakan bukanlah masalah pilihan, karena setiap orang menggunakan beberapa model. Dikatakan oleh pembuat model kebijakan Jay Forrester:
Setiap orang menggunakan model secara konstan. Setiap orang dalamb kehidupan pribadinya dan bisnisnya secara naluriah menggunakan model-model untuk membuat keputusan. Citra mental tentang dunia di sekeliling anda yang anda bawa ke dalam pikiran adalah model. Seseorang tidak mempunyai kota atau pemerintah atau negara di dalam kepalanya. Dia hanya mempunyai konsep yang terseleksi dan hubungan yang dia gunakan untuk menampilkan sistem nyata. Citra mental merupakan suatu model. Semua keputusan kita diambil atas dasar model. Persoalannya bukanlah menggunakan atau mengabaikan model. Persoalannya hanyalah memilih di antara banyak alternatif.
Dengan menyederhanakan situasi masalah, model tak terelakkan menyumbang distorsi selektif atas realitas. Model sendiri tidak dapat memberi tahu kita bagaimana membedakan pertanyaan-pertanyaan yang esensial dari yang tidak esensial; juga tidak dapat menjelaskan, memprediksi, mengevaluasi, atau merekomendasikan, karena penilaian­penilaian ini berada di luar model dan bukan merupakan bagian dari model itu. Sementara itu model dapat membantu kita untuk melakukan tugas-tugas analitis, kata kuncinya ada pada "kita," untuk itu kita dan bukan model yang menyediakan asumsi-asumsi yang diperlukan untuk menginterpretasikan gambaran realitas yang diterapkan oleh suatu model. Akhirnya, model-model kebijakan -khususnya yang diekspresikan dalam bentuk matematika- kadang-kadang sulit dikomunikasikan kepada para pembuat dan pelaku kebijakan, yang untuk merekalah model diciptakan guna membantu membuat keputusan yang lebih baik.
Model Deskriptif
Model-model kebijakan dapat dibandingkan dan dikontraskan dari berbagai dimensi, yang paling penting diantaranya adalah membantu membedakan tujuan, bentuk ekspresi dan fungsi metodologis dari model. Dua bentuk utama model kebijakan adalah deskriptif dan normatif. Tujuan model deskriptif adalah menjelaskan dan/atau memprediksikan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Model deskriptif digunakan untuk memantau hasil-hasil dari aksi-aksi kebijakan-sebagai contoh, daftar tahunan dari indikator sosial yang dipublikasikan oleh Kantor Managemen dan Anggaran-maupun untuk meramalkan kinerja ekonomi. Sebagai contoh, Dewan Penasehat Ekonomi mempersiapkan ramalan ekonomi tahunan untuk dimasukkan dalam Laporan Ekonomi Presiden.
Model Normatif
Sebaliknya, tujuan model normatif bukan hanya untuk menjelas­kan dan/atau memprediksi tetapi juga memberikan dalil dan rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas (nilai). Di antara beberapa jenis model normatif yang digunakan oleh para analis kebijakan adalah model normatif yang membantu menentukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum (model antri), waktu pelayanan dan perbaikan yang optimum (model penggantian), pengaturan volume dan waktu yang optimum (model inventaris) dan keuntungan yang optimum pada investasi publik (model biaya-manfaat). Masalah-masalah keputusan normatif biasanya dalam bentuk: mencari nilai-nilai variabel yang terkontrol (kebijakan) yang akan menghasilkan manfaat yang terbesar (nilai), sebagaimana terukur dalam variabel keluaran yang hendak diubah oleh para pembuat kebijakan.
Salah satu model normatif yang paling sederhana dan paling biasa adalah melipatgandakan bunga. Seringkali dalam kehidupannya orang menggunakan beberapa variabel dari model ini untuk mencari manfaat dari variabel-variabel kebijakan (misalnya, bank berhadapan dengan asosiasi penabung dan peminjam) yang akan menghasilkan bunga pendapatan yang paling besar (kegunaan) pada tabungan seperti yang diukur dengan jumlah uang yang dapat diharapkan setelah beberapa tahun (nilai dari variabel hasil yang diharapkan seseorang untuk berubah). Model analitis untuk melipatkagandakan adalah
Sn = (l+r)n So
di mana Sn adalah jumlah di mana tabungan bertambah dalam tahun tertentu (n), So adalah permulaan tabungan, dan (l+r)n adalah pengembalian konstan atas investasi (1) ditambah suku bunga (r) dalam periode waktu tertentu (n). Jika seseorang (pembuat kebijakan) mengetahui suku bunga dari institusi-institusi tabungan yang berbeda dan berharap untuk mengoptimalkan pengembalian pada tabungannya, model normatif sederhana ini memungkinkan pilihan yang jelas dari institusi yang menawarkan suku bunga yang tertinggi, dengan asumsi bahwa tidak ada pertimbangan lain yang penting (sebagai contoh, keamanan deposito atau hak-hak istimewa yang khusus bagi para pemuka) yang harus dipertimbangkan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa model normatif ini juga memprediksi akumulasi tabungan di bawah alternatif-alternatif yang berbeda, sedemikian rupa sehingga menunjuk pada karakteristik semua model normatif: Model normatif itu tidak hanya memungkinkan kita memperkirakan nilai-nilai masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang dari variabel-variabel hasil melainkan juga memungkinkan kita mengoptimalkan, pencapaian suatu nilai.
Model Verbal
Model kebijakan, baik deskriptif maupun normatif, dapat juga dibedakan menurut bentuk ekspresinya. Model-model normatif dan deskriptif dapat diekspresikan di dalam tiga bentuk utama, yaitu: verbal, simbol, dan prosedura1. Model Verbal (Verbal models) diekspresikan dalam bahasa sehari-hari, bukannya bahasa logika simbolis dan matematika, dan mirip dengan yang kita terangkan sebelumnya sebagai masalah-masalah substantif. Dalam menggunakan model verbal, analis bersandar pada penilaian nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan rekomendasi. Penilaian nalar menghasilkan argumen kebijakan, bukannya dalam bentuk nilai-nilai angka pasti. Model verbal secara relatif mudah dikomunikasikan di antara para ahli dan orang awanI, dan biayanya murah. Keterbatasan model verbal adalah bahwa masalah­masalah yang dipakai untuk memberikan prediksi dan rekomendasi bersifat implisit atau tersembunyi, sehingga sulit untuk memahami dan memeriksa secara kritis argumen-argumen tersebut sebagai keseluruhan. Argumen yang mendukung dan menentang blokade angkatan laut Uni Soviet selama Krisis Misil Kuba pada tahun 1962 adalah contoh yang baik mengenai model kebijakan verbal. Model verbal Presiden Kennedy sendiri mengenai krisis tersebut berpendapat bahwa blokade itu adalah satu-satunya pilihan nyata AS:
Di atas semuanya, untuk mempertahankan kepentingan vital kita sendiri, kekuatan-kekuatan nuklir harus mencegah konfrontasi tersebut yang membawa pihak lawan kepada sebuah pilihan untuk mundur dengan terhina atau perang nuklir. Mengadopsi tindakan seperti itu dalam abad nuklir akan menjadi bukti kebangkrutan kebijakan kita-­kebijakan tentang kematian kolektif yang akan menimpa seluruh dunia.
Model Simbolis
Model simbolis menggunakan simbol-simbol matematis untuk tnenerangkan hubungan di antara variabel-variabel kunci yang dipercaya mencirii suatu masalah. Prediksi atau solusi yang optimal diperoleh dari model-model simbolis dangan meminjam metode-metode matematika, statistika, dan logika. Model-model simbolis sulit untuk dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para pembuat kebijakan, dan bahkan di antara para ahli pembuat model sering terjadi kesalahpahaman tentang elemen-elemen dasar dari model .
Biaya model simbolis mungkin tidak lebih besar daripada model verbal, memungkinkan seseorang memperhitungkan waktu dan usaha sangat besar yang dicurahkan pada debat publik, sarana utama untuk mengekspresikan model-model verbal. Kelemahan praktis model simbolis adalah hasilnya mungkin tidak mudah diinterpretasikan, bahkan di antara para spesialis, karena asumsi-asumsinya mungkin tidak dinyatakan secara memadai. Model-model simbolis dapat memperbaiki keputusan­keputusan kebijakan, tetapi hanya jika
premis-premis sebagai pijakan menyusun model dibuat eksplisit ... Terlalu sering yang pokok isinya menjadi model yang berdasarkan pada teori dan bukti tidak lebih dari prekonsepsi dan prasangka ilmuwan yang terselubung dalam kekuatan ilmiah dan dihiasi dengan simulasi komputer yang ekstensif. Tanpa verihkasi empiris hanya ada sedikit jaminan bahwa hasil dari praktik semacan itu dapat diandalkan, atau bahwa hasil itu dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan kebijakan normatif.
Meskipun kita telah membahas model simbolis yang sederhana yang diciptakan untuk tujuan-tujuan normatif (melipatgandakan bunga), ada banyak model simbolis yang tujuan utamanya adalah deskriptif. Model simbolis yang paling sering digunakan adalah persamaan linear yang sederhana
Y = a + bX
adalah variabel kebijakan yang dapat dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan. Hubungan antara X dan Y dikenal sebagai fungsi linear, yang berarti bahwa hubungan antara X dan Y akan membentuk garis lurus jika digambar pada sebuah grafik (lihat Gambar 5-4). Dalam model ini simbol b menunjukkan jumlah perubahan dalam Y sehingga akibat dari perubahan di dalam X, yang tergambarkan oleh kemiringan garis lurus dalam gambar (semakin curam kemiringannya, semakin besar pengaruh X pada Y). Simbol a (yang disebut intercept constant) menunjukkan titik di mana garis lurus memotong sumbu vertikal atau Y atau X adalah nol. Dalam Gambar 5-4 semua nilai Y adalah setengah nilai X di sepanjang garis putus-putus (yaitu, y = 0 + 0,5X), sementara di sepanjang garis penuh semua sama (yaitu, y = 1,OX). Model linear ini memungkinkan analis menentukan berapa besar perubahan dalam variabel kebijakan (X) yang diperlukan untuk menghasilkan nilai tertentu dari variabel hasil
(Y).


Gambar 5.4. Model Simbolik



 
Model Prosedural
Model prosedural (Prosedural models) menampilkan hubungan yang dinamis di antara variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan. Prediksi-prediksi dan solusi-solusi optimal diperoleh dengan mensimulasikan dan meneliti seperangkat hubungan yang mungkin ¾sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi, konsumsi energi, dan suplai makanan dalam tahun-tahun mendatang¾ yang tidak dapat diterangkan secara baik karena data-data yang diperlukan tidak tersedia. Prosedur simulasi dan penelitian pada umumnya (meskipun tidak harus) diperoleh dengan bantuan sebuah komputer, yang diprogram untuk menghasilkan prediksi-prediksi alternatif di bawah serangkaian asumsi yang berbeda-beda.
Gambar 5.5. Model Simulasi








( )


 


Keputusan kunci dianalisis                     Probabilitas akibat









 


Titik akibat                                              Titik keputusan masa datang yang
                                                                mungkin
Model prosedural, harus dicatat, juga memanfaatkan model ekspresi yang simbolis. Perbedaan utama antara model simbolis dan prosedural adalah bahwa model simbolis menggunakan data aktual untuk memperkirakan hubungan di antara variabel-variabel kebijakan dan hasil, sedangkan model prosedural mengasumsikan (mensimulasikan) hubungan diantara variabel-variabel tersebut. Biaya model prosedural relatif tinggi jika dibanding dengan model-model verbal dan simbolis, sebagian besar karena waktu yang diperlukan untuk mengembangkan dan menjalankan program-program komputer. Bersamaan dengan itu, model prosedural dapat ditulis dalam bahasa nonteknis yang terpahami, sehingga memperlancar komunikasi di antara orang-orang awam. Sementara kelebihan model prosedural adalah bahwa model ini memungkinkan simulasi dan penelitian yang kreatif, kelemahannya adalah bahwa model ini sering mengalami kesulitan untuk mencari data atau argumen yang memperkuat asumsi-asumsinya.
Salah, satu bentuk model prosedural yang paling sederhana adalah pohon keputusan, yang dibuat dengan memproyeksikan keputusan­keputusan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensinya yang mungkin pada masa mendatang. Gambar 5-5 melukiskan sebuah pohon keputusan sederhana yang memperkirakan probabilitas bahwa beberapa alternatif kebijakan akan mengurangi polusi.43 Pohon-pohon keputusan berguna untuk membandingkan perkiraan subyektif atas konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari bermacam-macam pilihan kebijakan di bawah kondisi di mana sulit untuk menghitung risiko dan ketidakpastian atas dasar data yang tersedia.