Selamat Datang Pada Web Dr. Priyono, MM yang merupakan terobosan baru untuk kelanjaran dan keberlangsungan sebuah proses pembelajaran bagi Mahasiswa UNIPA Surabaya…!!!! Priyono is The Best Lecturers: Bab II

Senin, 20 Februari 2012

Bab II

disajikan beberapa 
materi sebagai beiikut :
  1. BEBERAPA PENDAPAT TENTANG BUDAYA ORGANISASI.
  2. BUDAYA ORGANISASI YANG KUAT DAN YANG LEMAH.
  3. BUDAYA DOMINAN DAN SUB BUDAYA
  4. PENDAPAT-PENDAPAT MENGENAI PENELITIAN.
 
1.      BEBERAPA PENDAPAT TENTANG BUDAYA ORGANISASI.
Merupakan mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Budaya organisasi dapat membantu karyawan sebagai anggota organisasi untuk memberikan batasan-batasan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Budaya organisasi membantu anggota organisasi dalam mengkonsep, menjelaskan, menganalisis, serta menyusun pemecahan masalah-masalah organisasi yang mereka hadapi.
Budaya organisasi memberikan kontribusi kepada kesuksesan organisasi melalui kemampuannya dalam memberikan rasa aman kepada anggotanya serta menjadi sumber penting bagi stabilitas dan kontinuitas organisasi. Budaya organisasi mampu memberikan identitas bagi anggota organisasi, bahkan dapat menjadi pendorong semangat anggota organisasi untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaannya. Davis dan Newstrom (1993:58-59) menyatakan budaya organisasi juga dapat memberikan gambaran suasana atau keadaan yang terlihat sulit atau membingungkan bagi anggota-anggota baru organisasi. Artinya budaya organisasi dapat memberikan gambaran tentang suasana/situasi/kondisi
dipahami oleh para anggota-anggota organisasi yang masih baru.
Susanto (1997:19-20) menerangkan manfaat yang dapat diperoleh bila budaya organisasi dipahami oleh seluruh lapisan sumberdaya manusia yang ada didalam organisasi yang meliputi manfaat bagi sumberdaya manusia maupun bagi organisasi. Artinya budaya organisasi berguna, baik bagi individu sebagai anggota organisasi maupun organisasi itu sendiri dalam pencapaian tujuannya.
Manfaat budaya organisasi bagi sumberdaya manusia adalah (Susanto,1997 :19) :
1.      Memberikan arah atau pedoman berperilaku didalam organisasi. Dalam hal ini sumberdaya manusia tidak dapat semena-mena bertindak atau berperilaku sekehendak hati, melainkan harus menyesuaikan diri dengan siapa dan dimana mereka berada.
2.      Mempunyai kesamaan langkah dan visi didalam melakukan tugas dan tanggung jawab, masing-masing individu dapat meningkatkan fungsinya dan mengembangkan tingkat interdependensi antar individu atau bagian karena antar individu atau bagian yang lain saling melengkapi dalam kegiatan usaha perusahaan.
3.      Mendorong sumberdaya manusia selalu mencapai prestasi kerja atau produktivitas yang lebih baik. Hal ini dapat dicapai apabila proses sosialisasi dapat dijalankan dengan tepat kepada sasarannya.
4.      Mengetahui secara pasti tentang karirnya di organisasi sehingga mendorong mereka untuk konsisten dengan tugas dan tanggung jawab.
Manfaat budaya organisasi bagi perusahaan adalah (Susanto, 1997:20) :
1.      Sebagai salah satu unsur yang dapat menekan tingkat perpindahan karyawan. Ini dapat dicapai karena perusahaan mendorong sumberdaya manusia memutuskan untuk tetap berkembang bersama perusahaan.
2.      Sebagai pedoman didalam menentukan kebijakan yang berkenaan dengan ruang lingkup kegiatan internal perusahaan seperti tata tertib administrasi, hubungan antara bagian, penghargaan prestasi sumber daya manusia, penilaian kerja dan lain-lain.
3.      Untuk menunjukkan pada pihak eksternal perusahaan tentang keberadaan perusahaan dari ciri khas yang dimiliki, ditengah-tengah perusahaan yang ada di masyarakat.
4.      Sebagai acuan dalam penyusunan perencanaan perusahaan (corporate planning) yang meliputi pembentukan perencanaan pemasaran (marketing planning), penentuan segmentasi pasar yang akan dikuasai dan penentuan posisi (positioning) perusahaan yang akan dikuasai.
5.      Dapat membuat program-program pengembangan usaha dan pengembangan sumberdaya manusia dengan dukungan penuh dari seluruh jajaran sumberdaya manusia yang ada.
Baik Susanto (1997:16-17) maupun Schein (1992:9) sepakat bahwa memahami dan mengelola budaya organisasi tidak hanya ditujukan untuk mencari penjelasan tentang fenomena keberhasilan organisasi, melainkan juga dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan organisasi menjadi lebih efektif. Artinya budaya organisasi merupakan sebuah pernyataan tujuan manajemen dalam mencoba untuk mempertajam perilaku anggotanya, sehingga mereka akan lebih memegang komitmen terhadap tujuan organisasi.
2.      PENGARUH BUDAYA ORGANISASI YANG KUAT DAN BUDAYA ORGANISASI YANG LEMAH.
Setiap organisasi mempunyai budaya organisasi yang berlaku didalam organisasi tersebut, tetapi tidak semuanya membawa pengaruh yang sesuai bagi anggota organisasi.
Budaya organisasi yang kuat membawa pengaruh yang positif bagi karyawan dan organisasi, dimana anggota organisasi memegang komitmen yang lebih besar pada nilai-nilai yang ditetapkan oleh organisasi. Budaya yang kuat dicirikan oleh nilai inti dari organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik dan dirasakan bersama secara luas. Makin banyak anggota organisasi yang menerima nilai-nilai inti, menyetujui jajaran tingkat kepentingannya dan merasa sangat terikat kepadanya, maka makin kuat budaya tersebut (Robbins, 1996:483-485). Artinya semakin karyawan menerima nilai-nilai utama perusahaan tersebut dan semakin besar keterlibatan mereka dengan nilai-nilai itu, semakin kuatlah budaya tersebut.
Sebaliknya budaya yang lemah dalam organisasi, tidak memberikan batasan-batasan yang jelas pada apa-apa yang harus dikerjakan atau batasan mana yang baik atau tidak seharusnya, sehingga pada organisasi dengan jenis budaya yang demikian ini biasanya berpengaruh dalam menghasilkan komitmen anggota organisasi yang cenderung rendah.
Sementara bagi organisasi, budaya yang kuat akan membantu efektifitas dan kinerja organisasi. Budaya yang kuat dalam organisasi akan menanamkan nilai-nilai dan doktrin organisasi lebih kuat pada anggota organisasi. Budaya yang kuat juga lebih berpotensi dibandingkan kontrol struktural formal manapun karena budaya mengontrol pikiran, jiwa dan jasmani. Makin kuat budaya suatu organisasi, makin kurang manajemen itu perlu memperhatikan pengembangan aturan dan pengaturan formal untuk memandu perilaku karyawan ketika mereka menerima budaya organisasi itu (Tunggal,2001:27). Artinya suatu budaya organisasi yang kuat akan semakin memperingan organisasi dalam melakukan pengarahan dan pengawasan terhadap individu-individu anggota organisasi tersebut.
Dalam kenyataannya, salah satu kajian budaya organisasi menemukan bahwa para karyawan di perusahaan-perusahaan yang budayanya kuat lebih terlibat dengan perusahaan mereka dari pada karyawan-karyawan di perusahaan-perusahaan yang budayanya lemah. Perusahaan-perusahaan dengan budaya kuat juga menggunakan usaha-usaha perekrutan dan praktek-praktek sosialisasi mereka untuk membina keterlibatan karyawan dan suatu kumpulan bukti yang makin banyak, mengemukakan bahwa budaya kuat berkaitan dengan komitmen yang dari komitmen itu menuntut adanya penerapan sehingga diperoleh kinerja organisasi yang tinggi (Tunggal,2001:6). Berarti budaya yang kuat akan menghasilkan komitmen yang kuat dari individu-individu anggota organisasi untuk terciptanya kinerja organisasi yang optimal.
Luthans (1995:564) menerangkan bahwa terdapat dua faktor utama yang menjelaskan kekuatan dari budaya organisasi, yaitu :
1.      Penyebaran (sharedness)
Mengacu pada pengertian derajat penyebaran nilai-nilai inti yang dianut oleh anggota organisasi. Kekuatan dari aspek ini sendiri dipengaruhi oleh dua faktor utama dalam prosesnya, yaitu orientasi dan balas jasa (reward) yang diberikan oleh pihak manajemen pada anggota organisasi dalam memahami nilai-nilai inti dari organisasi. Semakin baik orientasi dan balas jasa yang diberikan sehubungan dengan pemahaman nilai-nilai tersebut maka semakin kuat derajat penyebaran dari budaya organisasi.
2.      Intensitas (intensity)
Mengacu pada derajat komitmen dari anggota organisasi pada nilai-nilai inti. Tingkat kekuatan dari aspek ini juga dinilai dari hasil struktur balas jasa yang diberikan pada anggota organisasi.
Du Brin (1993:574) mengemukakan bahwa budaya yang kuat dalam organisasi akan membawa dampak yang berpengaruh pada perilaku karyawan. Artinya anggota dari organisasi yang memiliki budaya yang kuat akan dengan mudah mengikuti nilai-nilai yang berkembang didalam organisasi. Sebaliknya budaya yang lemah hanya akan menjadi sebuah petunjuk kerja bagi karyawan. Berikut dijelaskan konsekuensi yang dapat dicapai dari penerapan budaya yang kuat dalam organisasi.
1.      Keuntungan kompetitif dan keberhasilan financial (competitive advantage and financial success).
Penerapan budaya yang kuat dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian keunggulan kompetitif dan keunggulan finansial organisasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi yang bersifat partisipatif dapat mendorong anggota organisasi dalam memilki hubungan dengan pencapaian tujuan perusahaan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas (ROI dan tingkat penjualan) secara signifikan.
2.      Produktivitas dan moral (Productivity and morale)
Aplikasi dari budaya organisasi yang kuat dalam organisasi, yaitu jenis budaya yang mampu menghargai martabat karyawan berperan dalam mengembangkan moral dan kepuasan kerja karyawan.
3.      Kecocokan orang-organisasi (Person-organization fit)
Budaya organisasi yang kuat dan sesuai, menciptakan karyawan profesional dengan tingkat komitmen dan kepuasan kerja yang lebih tinggi.
4.      Kecocokan dari penggabungan dan pengambilalihan (Compatibility of mergers and acquisitions)
Dalam beberapa kasus merger, salah satu indikator kesuksesan proses merger tersebut adalah keberhasilan sosialisasi budaya yang dilakukan.
5.      Pedoman untuk manajer–manajer tingkat atas (Guidance for top level managers)
Budaya yang kuat dapat menjadi acuan bagi keseluruhan anggota organisasi, baik dari top managers dan keseluruhan level karyawan. Budaya yang baik adalah budaya yang mampu menciptakan kesesuaian dan ideal bagi keseluruhan organisasi.
3.      BUDAYA DOMINAN DAN SUB-BUDAYA
Tunggal (2001:24) menegaskan bahwa pengakuan terhadap budaya organisasi yang mempunyai sifat-sifat bersama bukan berarti tidak ada sub-budaya didalam setiap budaya yang ada. Berarti kebanyakan organisasi besar mempunyai suatu budaya yang dominan dan sejumlah sub-budaya.
Suatu budaya dominan (dominant culture) mengungkapkan nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh mayoritas anggota organisasi itu. Bila membicarakan mengenai budaya suatu organisasi, maka akan mengacu pada budaya dominannya. Pandangan makro mengenai budaya inilah yang memberi kepada organisasi itu kepribadian yang jelas terbedakan.
Anak budaya (sub-kultur atau sub-culture) cenderung berkembang dalam organisasi besar untuk mencerminkan masalah, situasi, atau pengalaman bersama yang dihadapi oleh para anggotanya. Sub-budaya ini ditentukan oleh rambu-rambu departemen dan pemisahan geografis. Nilai inti pada hakikatnya dipertahankan tetapi dimodifikasi untuk mencerminkan situasi yang jelas terbedakan dari unit yang terpisah itu.
Schein (1992:256-274) memberikan beberapa alasan yang menjadi dasar penyebab terjadinya pembedaan sub-budaya yang satu dengan sub-budaya yang lainnya atau budaya dominan.
Faktor-faktor tersebut adalah :
1.      Pembedaan fungsional (functional differentiation)
Pembedaan fungsional muncul karena adanya komunitas yang terkait dengan bidang pekerjaannya (occupational) dan keberadaan teknologi sebagai dasar dari fungsi yang bersangkutan. Misalnya seorang karyawan yang mengikuti proses rotasi jabatan, dalam setiap posisi yang ditempatinya, karyawan itu tidak hanya akan mempelajari ketrampilan teknis dari jabatannya, melainkan juga perspektif dan asumsi-asumsi yang mendasari proses dari fungsi tersebut.
2.      Pembedaan letak geografis (geographical differentiation)
Salah satu dasar yang paling kuat bagi terciptanya sub-budaya adalah pembentukkan unit-unit kerja geografis. Beberapa tujuan yang hendak dicapai dari pembentukkan ini adalah dengan mendekati basis pelanggan, lokasi tenaga kerja dan bahan baku yang lebih murah, serta permintaan dari pelanggan lokal. Faktor pembeda geografis ini terjadi suatu fenomena dimana masyarakat lokal mempengaruhi sub-budaya yang terbentuk dalam unit kerja geografis.
3.      Pembedaan akibat produk, pasar, atau teknologi (differentation by product, market, or technology)
Seiring dengan perkembangan organisasi, maka organisasi itu sering membedakan diri berdasarkan teknologi yang digunakan, produk yang diciptakan dan jenis-jenis pelanggan yang dituju.
4.      Divisionalisasi (divisionalzation)
Seiring dengan perkembangan organisasi tersebut dalam mewujudkan pasar yang berbeda, maka organisasi sering melakukan divisionalisasi untuk mendesentralisasikan sebagian besar fungsinya agar lebih terfokus pada produk atau unit pasar. Keuntungan yang diperoleh adalah menyatukan fungsi-fungsi yang mendekatkan dan menciptakan lintas sub-budaya fungsional.
5.      Pembedaan akibat adanya tingkat hirarki (differentation by hierarchical level).
Organisasi yang berhasil dan sedang berkembang cepat atau lambat akan menciptakan tingkat-tingkat hirarki agar efektifitas tentang pengendalian tetap terjaga. Interaksi dan proses berbagi pengalaman dari anggota masing-masing tingkat menciptakan kesempatan munculnya asumsi-asumsi dasar. Budaya yang tercipta pada tiap tingkat hirarki umunya dipengaruhi oleh tugas-tugas yang kerjakan pada tiap tingkat hirarki tersebut.
6.      Merger dan akuisisi (mergers and acquisition)
Masalah mengenai budaya dominan dan sub-budaya muncul ketika dua organisasi atau perusahaan melakukan merger atau akuisisi. Pada proses merger, dua budaya yang berbeda digabungkan tanpa harus memperlakukan salah satunya sebagai budaya yang lebih dominan terhadap yang lain. Pada proses akuisisi, perusahaan yang di akuisisi secara otomatis menjadi sub-budaya. Masalah yang timbul pada proses pencampuran budaya dalam konteks kedua kasus tersebut adalah fakta bahwa unit-unit yang bergabung tidak memiliki kesamaan perjalanan sejarah dan adanya unit-unit yang merasa takut, terancam, marah, maupun mempertahankan diri (deffensive).
7.      Join ventura, aliansi strategis, dan bentuk-bentuk penggabungan lainnya (joint ventures, strategic alliances, and other multiorganizational enterprises)
Masalah mengenai budaya makin tampak ketika organisasi melakukan aktivitas-aktivitas seperti join ventura dan aliansi strategis guna menyiasati ketatnya persaingan karena pada proses tersebut terjadi penyatuan budaya yang berbeda. Faktor penting yang mempengatuhi adalah kebijakan organisasi dalam menangani masalah-masalah yang timbul dikemudian hari.
8.      Kelompok oposisi (structural opposition groups)
Dalam organisasi sering ditemui adanya kelompok-kelompok yang menyatakan dirinya sebagai oposisi dari kelompok lain dan dengan sengaja melakukan aktivitas budaya-kontra (counter-cultural), namun tetap menghormati keberadaan budaya dominan. Contoh yang paling umum adalah keberadaan serikat pekerja yang menjadi oposisi bagi manajemen. Sub-budaya yang berorientasi pada sifat oposisi
 (opposition-oriented) juga bisa muncul dari filosofi manajemen yang mendorong timbulnya persaingan internal antara tiap anggota atau kelompok dalam suatu organisasi.
4.  PENDAPAT-PENDAPAT MENGENAI PENELITIAN
Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi keinginan banyak orang untuk mempelajari budaya organisasi. Schein (1992:2-14) menerangkan empat alasan pokok yang mendorong orang memahami budaya organisasi, yaitu:
1.      Analisis budaya menerangkan dinamika sub-budaya dalam organisasi (cultur analysis illuminates sub-cultural dynamics within organization). Konsep budaya menjadi relevan bagi analisis tingkat organisasional dan menambah pengertian mengenai apa yang terjadi dalam organisasi ketika sub-sub budaya berbeda dan kelompok-kelompok yang ada harus bekerja bersama. Masalah-masalah yang muncul sering diterjemahkan sebagai kegagalan komunikasi atau kelemahan tim kerja. Kini pemahaman itu diperjelas menjadi kegagalan dari komunikasi antar budaya.
2.      Analisis budaya merupakan hal yang penting untuk mengetahui teknologi baru yang mempengaruhi organisasi (cultur analysis is necessary if we are to understand how new technologies influence and are influenced by organizations). Teknologi baru umumnya merupakan refleksi dari budaya yang terkait dengan pekerjaan yang terbentuk disekeliling konsep-konsep ilmiah atau industri yang baru dan peralatan-peralatannya. Konsep baru ini akan menjadi bagian dalam organisasi dan bagian luar organisasi seperti para pemasok dan akademis.
3.      Analisis budaya penting bagi manajemen organisasi yang melampaui batas-batas negara dan budaya (cultural analysis is necessary for management across national and etnic boundaries). Konsep budaya menjadi relevan untuk menganalisis segi antar negara dan lintas etnis dalam bentuk joint venture, aliansi strategis, merger dan akuisisi. Masalah yang kerap timbul adalah kesalahpengertian budaya yang justru tidak pernah atau tidak sempat didiskusikan. Kegagalan dari proses-proses join ventura dan lain-lain dijelaskan dengan kegagalan untuk pengertian sejauh mana kesalahpengertian budaya terjadi.
4.      Proses pembelanjaan, pengembangan dan perencanaan dalam organisasi tidak dapat dimengerti tanpa memperhatikan budaya sebagai sumber utama perlawanan terhadap Perubahan (organizational learning, development, and planned change cannot be understood without considering culture as a primary source of resistance to change). Perlawanan terhadap proses pembelajaran dan perubahan merupakan fenomena umum yang sering dibicarakan namun jarang bisa dimengerti. Sebagian besar perubahan dalam organisasi melibatkan perubahan budaya dan bahkan perubahan pada sub-budaya. Jika Manajemen mengerti kesulitan apa yang dihadapi orang-orang pada tingkat sub-budaya ketika mereka harus mengubah sebagian dari asumsi-asumsi mendasar, nilai-nilai dan perilaku, maka manajemen akan lebih simpati pada resistensi mereka dan akan lebih realistis dalam mengelola perubahan.